PUISI SEBAGAI KATA HATI (2)

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Konon, salah satu fungsi sastra adalah menjadikannya semacam katarsis: pelepasan emosi ketika berbagai masalah melimpah, bertumpuk-tumpuk, membebani, dan menghimpit segala gerak pikir dan gerak rasa kita. Sastra dapat melepaskan sebagian dari segala beban itu. Di samping itu, sastra ?dengan atau tanpa pretensi? sering juga dipandang sebagai ungkapan jujur dari perasaan yang terdalam. Bagi kaum romantik, sastra (: puisi) adalah limpahan perasaan yang meluap yang timbul dari renungan dalam ketenangan ?atau juga dalam kegelisahan. Mereka mengusung semangat pengungkapan perasaan yang terdalam, luapan emosi yang spontan, dan ketulusan hati dalam mengangkat nilai-nilai kemanusiaan.

Bahwa di dalamnya ada campuran bahan lain yang bernama imajinasi, tidaklah serta-merta karya itu membalikkan kejujuran. Ia tetap menduduki posisinya sebagai refleksi evaluatif: mengungkapkan peristiwa dan memaknainya untuk dirinya sendiri atau untuk kepentingan masyarakatnya. Jadi, sebuah potret keseharian Kang Sarta atau Sukri, misalnya, tak berarti merupakan kisah hidup Kang Sarta atau Sukri an sich. Ia mungkin tidak mewakili keseluruhan hidupnya, tetapi sekaligus juga sangat mungkin merepresentasikan keseluruhan hidup orang-orang kecil yang bernasib sama dengan sosok Kang Sarta atau Sukri. Di situlah sastra (: puisi) yang coba mengangkat salah satu sisi kehidupan orang per orang menjadi sangat khas dan unik, dan sekaligus juga berlaku universal, karena orang-orang macam Kang Sarta atau Sukri, tersebar di mana-mana, di belahan bumi ini.

Seperti para guru sufi yang tak berpretensi menjadi penyair, Memed Gunawan niscaya juga tidak berniatan demikian. Jika para guru sufi itu mengungkapkan cintanya kepada Sang Khalik lewat simbol-simbol sufistik, Gunawan sekadar menumpahkan secebis kepedulian atau keberpihakannya dalam bentuk rangkaian galau yang seakan ditujukan kepada dirinya sendiri. Sangat mungkin ia tak berpikir tentang popularitas atau apa pun. Ia sekadar menumpahkan galaunya yang meresahkan. Itu saja. Seolah-olah selepas itu, urusannya selesai sudah sampai di sana. Justru di situlah problemnya. Ketika segala perenungannya dipublikasikan, serempak duduk perkaranya menjadi lain. Karyanya seketika menjadi bagian dari milik masyarakat. Dengan demikian, masyarakat mempunyai hak untuk memberi apresiasi dan mengungkapkan penilaian terhadapnya.

Itulah risiko publikasi. Meski demikian, di balik itu, ada juga dampak lain yang mungkin jauh lebih dahsyat dari sekadar risiko. Masyarakat memperoleh sesuatu, boleh jadi juga menemukan banyak makna, dan memperoleh gambaran tentang potret zaman.

Ketika karya itu ditulis, dibaca sendiri, dan disimpan rapi dalam lemari besi, ia abadi menjadi artefak beku tak bermakna. Sebaliknya, ketika karya itu dipublikasikan dan kemudian menjadi milik masyarakat, seketika ia siap memasuki segenap ruang publik: terombang-ambing dalam tas sekolah, dilantunkan dalam sebuah panggung, menjadi bahan perdebatan, atau berjejer terjepit di antara deretan buku di perpustakaan. Suatu saat kelak, ia akan keluar dari himpitan itu dan digauli mesra oleh pembaca yang entah siapa. Itulah kekuatan publikasi. Ia seakan-akan sekadar heboh sesaat. Padahal, di sepanjang waktu, ia abadi menjadi dokumen sosial yang mengungkapkan semangat zaman.
***

Memed Gunawan mungkin tak berpikir sampai ke sana. Ia sekadar melihat sebuah peristiwa yang menarik empatinya dan kemudian mengeluarkannya sebagai unek-unek, kegelisahan emosi, luapan kata hati, dan tumpah dalam bentuk puisi. Itulah yang rupanya dilakukannya dalam menyikapi lilitan gurita birokrasi yang menjeratnya. Ia memilih puisi sebagai saluran yang menawarkan alternatif lain. Maka, kita akan melihat serangkaian refleksi nurani yang begitu jujur, tanpa kesan pretensius. Ia sekadar mengungkapkan apa yang dilihat dan dirasakannya. Itulah yang kemudian terjadi: ada kisah tentang petani lugu, ada kecintaan yang mendalam, ada gugatan yang tak berjawab, ada pula keberpihakan yang disadarinya tak dapat menyelesaikan masalah. Sebuah panorama kehidupan petani dan kaum terhimpit yang diejawantahkan dalam sejumlah puisi. Dengan tema-tema yang unik dan terasa masih asing, kita seperti diingatkan bahwa semua itu adalah bagian dari kehidupan kita: dunia petani dan orang-orang pinggiran, dengan berbagai problemnya yang tak terpahami, harapannya yang kandas, dan kegetirannya yang tak terucapkan.

Periksa saja, dari 37 puisi yang terhimpun dalam buku Sajak Resah Petani di atas Awan: Ladang Berselimut Kabut ini, nyaris semuanya mengangkat sisi buram, agak kelabu, dan pekat-kelam sosok petani dan kaum yang tersisih. Meski begitu, harus diakui, Gunawan cenderung bertindak sebagai pengamat. Ia memotret, mencatat, dan coba menelusuri nuraninya. Jadi, di satu pihak, kumpulan puisi ini mewujud sebagai representasi kegelisahannya, refleksi jujur kata hati, dan di lain pihak, ia menjadi semacam potret tentang keluguan, kebersahajaan, dan ketersisihan mereka, atau tentang kontras antara mewah?melarat, reputasi dan martabat manusia yang tercampakan di bak sampah.

Lihatlah potret tentang ?Hari-Hari Kang Sarta?. Meski kita dapat menangkap keberpihakannya, kesan sebagai pengamat rupanya tak dapat ia sembunyikan. Ada jarak tipis antara subjek dan objek. Maka, kegetiran dan perjuangan panjang Kang Sarta, cukuplah digambarkan dengan Hatinya sepi/Tatapannya datar/Punggung bungkuk keriput ? Atau sebagaimana yang terungkap dalam bait terakhir: Dia ada, hidup dan nyata/Dia bicara dan merasa/Dia lelah dan tua// Ada getir mendalam, ada hati yang pecah, dan kita dibawanya berpihak pada empatinya itu.

Simaklah juga paradoks yang sering luput dari perhatian kita. Panen Raya yang mestinya menjadi suka cita petani ?warga desa, kini telah berubah bukan lagi milik mereka. Panen Raya menjelma pentas aktor pejabat, dan ?? orang-orang desa menonton saja.? Atau dalam bahasa yang lebih eksplisit: ?Petani masih barang jualan di makalah? (?Program?). Dari mana datangnya ekspresi itu jika tidak dari empati yang mendalam? Kepedulian itu ternyata tidak berhenti di sana. Di jalanan ketika berhadapan dengan ?Pedagang Asongan? yang berkeringat di tengah terik/Tertatih mengintip? Sementara kita sejuk bersandar nyaman tidak peduli//. Bukankah itu merupakan pemandangan sehari-hari yang menusuk mata kita di setiap pelosok jalanan kota di negeri ini? Pastilah kita tak mungkin berujar: ?kesian deh lu.? Itu bagian dari tanggung jawab sosial. Kewajiban negara sebagaimana tertuang dalam undang-undang. Ekspresi kepedulian itu ternyata dibawanya pula sampai ke Den Haag saat ia makan pagi. ?Aku bergelimang dalam kelebihan yang tak biasa kualami? sementara mereka (wong cilik yang berbekal cangkul), ??makan sisa dan seadanya.? (?Bayangan Lewat Saat Makan Pagi di Den Haag?).
***

Begitulah, Memed Gunawan dalam antologi puisi Sajak Resah Petani di atas Awan: Ladang Berselimut Kabut yang diberi Kata Pengantar Taufiq Ismail ini, seperti hendak menggugat siapa saja, termasuk dirinya sendiri. Meski di sana-sini, menyembul nada optimistik, antologi ini ?sadar atau tidak?membawa kita pada dunia yang selama ini menjadi bagian dari diri kita, tetapi kerap luput dari perhatian. Atau kita memang telah sekian lama lalai memperhatikan mereka?
***

Masih dengan style yang sama, yaitu bermain dalam persajakan dalam larik, dengan narasi yang mengalir tanpa berkesan pretensius, dalam antologi puisinya yang kedua, Memed Gunawan mengusung kembali refleksi evaluatifnya atas berbagai problem di seputar lingkungan kerja, kehidupan wong cilik, catatan perjalanan, renungan untuk keluarga, nostalgia masa lalu tentang Bogor, Tenaga Kerja Indonesia, sampai renungan tentang bencana Tsunami. Ada 38 puisi dalam antologi yang keduanya ini yang nadanya terasa agak berbeda dengan antologi pertamanya.

Kali ini, Gunawan terkadang lepas kendali, dan cenderung menyajikan suara hatinya tanpa perenungan yang lebih intens. Akibatnya, empati atas kepedihan dan derita kehidupan kaum pinggiran itu, tidak lagi reflektif, melainkan reaktif. Ia lalu menjelma pernyataan, dan bukan narasi yang justru menjadi kekuatannya memancarkan pesona puitik. Bagaimanapun, ketika puisi digunakan sebagai alat ekspresi, usaha menyapa dan menyentuh hati nurani, cenderung efektif jika bangunan estetika menyatu dalam keseluruhannya. Di sinilah limpahan perasaan dan luapan emosi yang spontan, perlu dievaluasi kembali dan dimaknai selepas melewati proses perenungan.

Perhatikanlah beberapa larik awal puisi yang berjudul ?Engkau Lari, Sawit pun Busuk dan Mati? berikut ini: Engkau adalah anjing di negeri asing/Engkau adalah kuda tunggang penyakitan/Engkau tak juga bayangan karena kau tak pernah ada/Engkau adalah budak ketika dunia teriak/?Hak Asasi Manusia? ? Empati yang kemudian berubah menjadi kemarahan ini bercerita tentang derita Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia. Meski nada marah tampak di larik-larik awal, secara perlahan narasi yang dibangunnya lebih menyentuh ketika dihadirkan narasi tentang istri dan anak-anak yang menunggu di rumah. Puisi ini kemudian ditutup lewat sebuah harapan romantik: Pulanglah anak Pertiwi/Bunda menanti/Seluruh anak negeri/Memanggilmu kembali//

Dalam sejumlah puisinya yang lain, sebutlah beberapa di antaranya, ?Bogor 1968?2005? yang menghadirkan sebuah paradoks masa lalu dan masa kini, ?Jembatan Timbang Losarang? yang mencatat tradisi pungli di sana, ?Makan Siang Buat Sang Anak? yang bercerita tentang harapan wong cilik pada masa depan anaknya, atau ?Ragu Menggantung di Depan Pintu-Mu? yang mengungkapkan kegamangan seseorang yang rindu pada Sang Kekasih (Tuhan), kita merasakan adanya intensitas perenungan yang mendalam. Kita ikut hanyut dalam kontemplasi yang disajikannya. Dalam beberapa puisi yang disebutkan tadi, kecuali puisi ?Ragu Menggantung di Depan Pintu-Mu?, potret sosial yang diangkatnya seperti mengalir begitu saja. Tak terlihat empati dan kepedihan si aku lirik menjelma kemarahan. Dengan demikian, sentuhan pada hati nurani kita pun jadi terasa lebih kuat, seolah-olah kisah itu menjadi bagian dari kehidupan keseharian kita.
***

Demikianlah, kehadiran dua antologi karya Memed Gunawan ini, bagaimanapun juga, penting artinya dalam memperkaya khazanah tema perpuisian Indonesia. Ketika ia berbicara tentang petani, sawah, birokrasi pertanian, ternak, proyek, subsidi, TKI, dan kepeduliannya terhadap kehidupan kaum pinggiran, ia jadi terasa khas lantaran ia dihadirkan oleh pejabat penting di departemennya. Mengingat puisi-puisinya disajikan dengan kejujuran kata hati, yang segera muncul ke permukaan adalah sebuah citra yang sama sekali berbeda dengan pandangan masyarakat terhadap sosok seorang pejabat pemerintah. Sebagian besar puisinya dalam kedua antologi itu seperti merepresentasikan sosok pemegang amanah yang menyadari bahwa kekuasaannya sekadar kepercayaan, amanah. Ia harus mempertanggungjawabkan segalanya kepada hati nuraninya, keluarga, rakyat, bangsa, dan Tuhan. Sebuah teladan yang mengingatkan saya pada sosok Umar bin Khatab. Terlepas dari semua itu, seperti kata Taufiq Ismail, ?Betapa dahsyatnya jika Sekjen (: para pejabat dan pemimpin bangsa ini) menulis kumpulan puisi dalam bidangnya masing-masing.? Bukankah puisi (: sastra) merupakan representasi kebudayaan sebuah bangsa. Maka, barang siapa yang mencintai sastra, ia mencintai kebudayaan bangsanya.

*) Pensyarah, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *