Rafika

Arie MP Tamba
jurnalnasional.com

Rafika adalah tipikal jalinan cerita dan teknik penggarapan sinetron-sinetron kita. Di dalamnya ada kisah balas dendam seorang pria (Abadi/Fadli) terhadap pria (Gunawan/Mathias Muchus) yang dianggap merebut calon istrinya, meskipun yang terjadi sebenarnya adalah perjodohan yang dipaksakan.

Gunawan mendapatkan seorang istri yang dicintainya, dan tidak mengetahui bahwa sang istri sebelumnya sudah disukai Abadi. Karena kecewa, Abadi kemudian menghancurkan bisnis Gunawan, mencelakakannya, yang memakan korban kematian istrinya, dan membuat Gunawan masuk penjara karena tuduhan membunuh istri.

Lalu permusuhan dan balas dendam ternyata belum selesai, tapi berlanjut ke keturunan. Agak mengada-ngada (ini juga ciri khas sinetron kita), Abadi ingin menolong putranya (Ruby/Wingki Wirawan) yang baru saja bercerai dengan mencarikannya seorang istri baru (Rafika/Carissa Putri). Digambarkan: Ruby sudah kehilangan kepercayaan kepada wanita. Dan menurut Abadi, Rafika adalah wanita kuat dan baik hati yang akan dapat menyembuhkan Ruby.

Dan ajaib, plot cerita sedemikian bermurah hati, atau dibuat demikian gampang. Ibu angkat Rafika yang penjudi (Andari/Debby Sahertian), bersedia menjual Rafika (Carissa Putri) seharga 300 juta rupiah kepada Abadi. Rafika pun mengorbankan cinta pertamanya bersama Elang (Aditya Hertavi) demi sebuah perkawinan jual beli.

Dan yang terjadi sungguh mengejutkan: Rafika begitu mudahnya melupakan cinta pertamanya, dan menerima posisi sebagai istri yang dibeli, tapi kemudian langsung menghormati sang suami; meski berbagai teror dari ipar dan mertua terus menjadi siksaan baginya. Rafika, seperti harapan Abadi, memang seorang wanita yang kuat, tapi agak susah dipertanggungjawabkan sebagai karakter. Kecuali ia sedikit bodoh dan hanya bertugas untuk menangis di setiap episode!

Begitulah kisah awal Rafika, yang kemudian dilanjutkan dengan jejalan teror, konflik, hasutan, jual-beli yang berulang, caci-maki, fitnah, dusta, pura-pura baik, serapah, bersanding dengan tangisan, air mata, air mata, dan maaf: berkali-kali menyajikan kebodohan karakter cerita seolah kejujuran, dan melapisi kelemahan karakter cerita dengan keculasan atau kejahatan!

Pembebalan penonton! Itulah ungkapan kemarahan yang disampaikan pengamat film dan sinetron Indonesia, N Syamsuddin Ch Haesy, di harian ini (Jurnal Nasional, 8 Februari 2009), tentang gaya sinetron model Rafika ini. Haesy menyebutkan dua judul sinetron: Cinta Fitri dan Cucu Menantu, sebagai contoh pembebalan penonton tersebut. Dua judul sinetron saja, dari belasan sinetron lain yang mendapatkan jam tayang istimewa di berbagai channel televisi swasta kita, seperti halnya Rafika.

Namun pembebalan penonton ini sebenarnya sudah berlangsung lama, sejak televisi kita dengan gembira memasarkan Dynasty dari Amerika dan Return to Eden dari Australia puluhan tahun silam. Dua tayangan sinetron global yang laku di berbagai negara itu, bahkan secara langsung pernah dianggap menghidupkan lagi pertelevisian dunia, yang sempat mengalami penjenuhan karena ditinggalkan pemirsa.

Setelah Dynasty dan Return to Eden, tidak lama kemudian, berbagai channel televisi kita pun diramaikan oleh telenovela dari Amerika Latin, yang juga menjual resep cerita dan teknik penggarapan sama. Air mata, konflik mengada-ngada, karakter ringan, cerita tak terduga dan menguras perhatian, bersama tumpukan close-up wajah-wajah cantik, tampan, yang tersenyum, meringis, mencaci, dan menangis. Nama-nama Maria Marcedes, Rosalinda, dll, sempat mengangkasa di gelombang pertelevisian kita.

Setelah itu, barulah para pengusaha sinetron Indonesia mendapatkan contoh barang yang bisa direproduksi dengan mudah, murah, cepat, namun sangat laku. Maka, kita pun pernah mendengar bagaimana sinetron Tersanjung sampai tujuh edisi tayang. Bila satu edisi terdiri dari 50-an episode, maka tujuh edisi tayang berarti sampai 350-an episode. Tujuh tahun!

Tentu saja ini menjadi lahan bisnis menjanjikan bagi para produser, sutradara, aktris, dan berbagai item produksi lainnya, seperti industri kaset, pakaian, gadget, iklan, majalah, dll. Belum lagi promosi yang menggerakkan hampir semua lini: below the line (pendukung: poster, spanduk, dll) dan above the line (utama: majalah, televisi, dll). Bidang-bidang bisnis yang akhir-akhir ini, dimasukkan sebagai bagian dari industri kreatif.

Namun, pertanyaan dan tantangan yang kemudian mengejar adalah, apa yang digelisahkan Haesy. Ketika kita ingin mengembangkan industri kreatif secara maksimal, tidak layakkah kita mengkritisi risiko-risiko pembebalan yang dibawanya?

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *