http://www2.kompas.com/
Alienasi perempuan semua orang
Kisut bibirmu menggambar selaput cahaya, mengelupas
dari sekujur laut pasang, hitamkan seluruh tanda.
Tangan-tangan lelaki menulis surat cinta
di pesisir basah dengan huruf-huruf besar.
Di dahan bakau kau gantung gaunmu, menyelam
bersama kura-kura, tenggelamkan debar jantung
meletuskan isyarat tak diharapkan.
Seperti laut, surat cinta melulu menunggu,
kalimat-kalimat aneh di sepanjang pesisir,
sebelum digerus arus.
Kau mengerti, cinta cuma ilusi yang diagungkan.
Dan seperti laut, tak ingin pasrah pada celetuk kecil
rasa sepi, juga hasrat iseng berbagi: lalu kembali
seperti laut, kehilangan jejak kering di pantai kemarin.
Warna bibirmu tak berubah, asingkan debar jantung.
Ratusan senja berlewatan
mereka terus menulis surat cinta, seperti arus,
dan percaya: mungkin tak singkat, kelak
isyarat lain tertinggal di sebutir pasir…
Jakarta, 2001
Roman Pelarian
Tak ada di sini gugup jantungmu
hanya kecut tubuh membekas di dinding
dan pekat jelaga pertarungan di batas kota.
Kau hitungkah pedih hidup-mati
saat api kertas puisi membakar jemari
dan sebelum tenda malam-malam kau robohkan diam-diam
seperti srigala mengunci lolongan untuk malam yang lain?
Guncangan besar membuat kau debu ringkih di pojokan.
Siulmu lemah dalam rimbun daunan jati
yang rontok awal pagi.
Jantan secangkir kopi dan getir tembakau
cuma ilusi gagah di senggang hari.
“Harap tenang, hidup tak ditulis untuk kalah-menang,”
pekikmu di perempatan kota dan tengkukmu hitam dendam.
Musykilkah semua kisah cuma kebetulan?
Terkenang obrolan lama, menjelma surga dingin
penggelitik senyum kecilmu di tanah asing.
Nasib tak terduga, menghunus belati
dan birahi bidadari.
Otot jantungmu akrab semua itu.
Jakarta, 2001
ZS
Kerut peta menjepit pekarangan kecil
berserak sobekan kertas dan jejak cemas.
Dari batas daratan berpasir
kau semat bijian gulma dan tanda angkuh
menjarah sari tubuhmu
mengering di pusat kota termangu.
“Tak akan pulang sampai kota bersih
dari nama-nama besar yang gusar.
Di puncak malam, memohon doa penghangus
rambati langit bersih
menggelegar dan jatuh di alun-alun kota,”
kataku di sebuah minggu pagi yang rapuh.
Matamu pancarkan sajak tak bertidur malam
berkilat merah seperti mata hantu
kangen bidadari usiran.
Di taman kota miris menatap langit
membaca garis takdir dan firasat yang khawatir.
“Mungkin batas itu suatu isyarat arif
lembut dan mengejutkan
saat seluruh kota sedih
dan satu barisan panjang lewati sisi teluk dan tanjung
mengenang sajak-sajak lama dengan duka,”
kataku menjelang minggu terakhir.
Jakarta, 2001
Cerita Luar Kota
Tanganku gemuruh menyentuh selarik sajak
mengiris diam-diam di balik kubah malam.
Jajaran tribune sembunyikan rembetan cemas
menatapi pertunjukan
terguncang dering sebuah perbatasan.
Cinta tak sepenuhnya kelakar
juga getar percuma di sebuah luar kota.
Kau tahu, tak setiap orang lepas jangkar
di bandar-bandar, sebab laut
larutkan iseng yang menyergap di luar maut.
Di dinding kapal, rindu tumpul dan aus
loncati amukan ombak di ujung geladak
lalu mampus!
Jakarta, 2001.