Sajak-Sajak TS Pinang

cetak.kompas.com
Doa Lupa Kami

suram, suram
mentari yang merana
leram, leram
leram murka dahana
kami beriman pada kemarau, musim di mana kering mengesatkan lidah. dan api yang
mewarnai bunga-bunga, menjadi pelepas kami punya dahaga. kami, kaki kanan dan kiri
melangkah mendaki. kadang kami tak sepakat, kadang kami sehati, kadang kami berhenti.
desau angin dan terik hari tak selalu memudahkan arah di peta kami. relief yang terjal tak
rata, batuan yang memendam fosil sejarah kami, pohon-pohon yang setua kota kami semakin
remang oleh jingga senja yang tumbang. malam kami kadang membara, sedangkan bulan
memuncak di ujung kepala.
wung, wung, gung
sirnalah kutuk sirnalah bala
o, suwung yang agung
hisap kami penuh segala
dan kami nyala, kami nyala. sebiru nyala balok parafin di tungku lipat kami, merebus malam
kemarau yang berdebu agar kami segera jalan kembali, mendaki kembali gunung kami yang
terlupa. dan kami nyala, kami nyala. rambut kami berkibar, meninggalkan kepala.
o, kembang trirupa
tiga nama tuhan kami sebutkan
o, tembang sari lupa
hapuskan nama kami, kebutkan
singkirkan langit, laut, api dari mata kami. singkirkan gunung, sungai, batu dari mata kami. singkirkan senja, malam, pagi dari mata kami. singkirkan lalu, kini, nanti dari mata kami.

Merebus Kesedihan

kami berpuasa dari sukacita, kami berpantang tertawa. kami membangun mimpi dari rasa
cemas dan rasa takut yang akut. kami berpuasa agar kuat menanggung semua rasa airmata.
asin, pedih, panas, pengap, pepat, nyeri, ngilu. kami berpuasa agar dapat belajar dari ketel
yang menjerit menjelang subuh, merebus kesedihan yang memasygulkan malam. kami
berpuasa dari hiruk-pikuk keinginan yang tak terbeli oleh cinta, oleh pelukan, oleh cium lekat
hangat bibir kami.
kami berpuasa, tak ingin menjolok bulan seribu, atau merobek langit dengan zikir
semalaman. tak ingin menggerus neraka dengan tadarus hingga pedih mata, hingga habis
suara. kami puasa, hanya untuk merebus kesedihan dalam ketel penuh air doa dari sumur di
belakang rumah kami.

Membuat Kota

siapkan selembar peta wajah bumi, lalu bacalah puisi di setiap kerut tanahnya. di sana kami
membangun mesin dari lempengan rasa lapar. tiada pilihan lain kecuali menciptakan pilihan
kami sendiri. lalu kami pun menetek pada pabrik-pabrik, pada zigzag jarum di mesin-mesin
jahit, membordir mulut kami yang selalu sobek terbuka.
gambarlah garis-garis di mana bisa kau letakkan angka-angka. semua menari merayakan
hasrat manusia. dan di hiruk-pikuk semacam itu kami teringat burung-burung dan pepohonan
di sajak-sajak kami sebelum ini. di buku-buku, para penghitung laba, penggali bumi, juga
para perambah tanah begitu gairah mencari cara membuat kota, mesin penggemuk juga
pemangsa manusia. dan di wajah setiap kota kami, terpasang senyum pahit sakit hati.
sementara di pojok peta, kami lupa waktu. terlalu asyik merancang sebuah kota yang seluruh bangunannya terbuat dari sirih rambat, daun bayam, bambu jalar, dan kembang mawar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *