Sastra dan Perang Aceh

Judul buku: Hikajat Prang Sabi: Mendjiwai Perang Atjeh Lawan Belanda
Penyusun: A Hasjmy
Penerbit: Firma Pustaka Faraby, Banda Aceh (1971)
Tebal: 253 halaman
Peresensi: Nova Christina
kompas.com

TANGGAL 8 November 1999. Sekitar dua juta warga Aceh dari berbagai wilayah datang memadati halaman Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, untuk menuntut referendum. Dalam aksi tersebut, massa tidak hanya meneriakkan tuntutan referendum, tetapi juga membacakan syair-syair yang diambil dari sebuah hikayat yang terkenal di Aceh, Hikayat Perang Sabil.

SELAMA 40 tahun berlangsung perang di Aceh (melawan Belanda), pada tahun 1873-1913, syair-syair dalam hikayat karya sastrawan klasik melayu Haji Muhammad Pantekulu atau Teungku Cik Pantekulu ini disebut-sebut telah menjadi pembangkit semangat dan keberanian rakyat dalam perang sabil menghadapi tentara Belanda.

Salah satu buku yang tidak hanya memuat isi Hikayat Perang Sabil, tapi juga membahasnya dari aspek, adalah Hikajat Prang Sabi: Mendjiwai Perang Atjeh Lawan Belanda yang disusun oleh Ali Hasjmy. Profesor Ali Hasjmy dikenal sebagai sastrawan angkatan Pujangga Baru dan tercatat sebagai salah satu tokoh dalam penyelesaian sengketa Aceh dan Jakarta di tahun 1950-an.

Salah satu bagian paling penting dari Hikajat Prang Sabi adalah pendahuluan atau mukadimah. Bagian yang juga berbentuk syair ini menunjukkan secara jelas tujuan ditulisnya Hikajat Prang Sabi, dalam hubungannya dengan perang melawan Belanda. Setelah diawali dengan puji-pujian kepada Allah pencipta semesta alam, syair-syair pada mukadimah berlanjut pada seruan untuk perang sabil. Juga disebutkan satu pahala yang dapat diperoleh bagi mereka yang berjihad dalam perang sabil (jalan Allah-Red). Salah satu pahala yang akan diterima mereka yang mati syahid dalam perang tersebut adalah akan bertemu dengan dara-dara dari surga. Salah satu bait (yang diterjemahkan oleh penyusun) menyebutkan, “Menurut kata Pesuruh Allah: //tubuhmu yang tertembak berlumuran darah, //tidak akan terkapar rebah, //kecuali dalam pangkuan Ainul Mardliyah.”

Kemudian, empat bagian selanjutnya dalam Hikajat Prang Sabi berisikan empat kisah, yaitu: Kisah Ainul Mardliyah, Kisah Pasukan Gajah, Kisah Said Salmy, dan Kisah Budak Mati Hidup Kembali. Dari seluruh kisah yang ada, hanya satu cerita, Kisah Pasukan Gajah, yang disebut Hasjmy bersumber dari sejarah keislaman, yang lain adalah fiktif. Namun, terlepas dari kefiktifan tersebut, yang penting dari Hikajat Prang Sabi adalah pesan empat kisah tersebut. Kisah-kisah itu memberi contoh betapa penting dan berpahalanya kesyahidan seseorang dalam peperangan melawan musuh kafir, yang tak lain adalah Belanda.

Seperti telah diungkap pada mukadimah hikayat, kisah tentang Ainul Mardliyah berkaitan dengan penyambutan ratu bidadari surgawi bagi mereka yang mati syahid. Dikisahkan, seorang pemuda yang disebut Muda Belia, pada suatu malam menjelang maju perang, tersentak bangun, menangis tersedu-sedu sambil mengucapkan nama “Ainul Mardliyah”. Rupa-rupanya, Muda Belia bermimpi berjalan di surga dan bertemu ratu bidadari surgawi bernama Ainul Mardliyah. Muda Belia sangat sedih karena sang ratu menolak cintanya dengan alasan dirinya hanya berhak dimiliki oleh pemuda yang mati syahid di medan perang melawan kafir. Setelah itu, sang Muda Belia tak gentar terjun ke medan perang. Ia pun mati syahid dan disambut Ainul Mardliyah di surga.

Kisah kedua bertutur tentang kegagalan serangan sebuah pasukan besar untuk menghancurkan Kabah di Mekkah. Peristiwa ini disebutkan terjadi pada tahun 570 M. Dikisahkan, kedudukan Mekkah yang terkenal tidak disukai oleh Kerajaan Habsjah dan Kerajaan Parsia Majusi. Kedua kerajaan ini membangun Mekkah tandingan di Yaman dan Hira, namun tetap Mekkah tak tertandingi. Kemudian, Kerajaan Habsyah dan sekutu-sekutunya menyerang Mekkah dengan pasukan berkendaraan gajah. Namun, ketika sampai di Kabah, tiba-tiba datang wabah penyakit menyerang dan melumpuhkan pasukan gajah tersebut.

Dua kisah selanjutnya tak ubah seperti Kisah Ainul Mardliyah, bertutur soal mati syahid dan pahala. Pada Kisah Said Salmy diceritakan, seorang pemuda buruk rupa yang mati syahid dapat mempersunting seorang putri bangsawan cantik jelita. Namun dalam peperangan, Said Salmy, sang pemuda, mati syahid. Setelah mati, tiba-tiba pada suatu malam ia muncul dalam sosok pemuda tampan menemui sang istri. Ternyata, Allah memperbolehkannya “hidup” kembali dan muncul setiap malam untuk menemui sang istri. Terakhir, Kisah Budak Mati Hidup Kembali bercerita tentang pahala yang diterima seorang mujahid yang kembali dari perang. Allah menghidupkan kembali anak yang dipertaruhkan sebelum sang mujahid berangkat ke medan perang.

Ali Hasjmy menyusun buku Hikajat Prang Sabi berdasarkan dua naskah berhuruf Arab yang kemudian disalin dalam huruf latin. Sebagai naskah tulisan, yang telah beberapa kali disalin, terdapat perbedaan-perbedaan pada syair-syair Hikajat Prang Sabi. Dalam pengantar, Hasjmy menyebutkan hal ini sebagai salah satu kesulitan yang dihadapi.

Sebelum memuat kisah dalam Hikajat Prang Sabi, pada bagian pertama buku, Hasjmy membuat ulasan tentang sejarah Perang Aceh, perdebatan pengarang, dan penyebab keberhasilan kisah berbentuk syair tersebut. Mengenai pengarang Hikajat Prang Sabi, disebutkan terdapat dua dugaan. Dugaan pertama, Hikajat Prang Sabi dikarang oleh Teungku Cik di Tiro, pemimpin Angkatan Perang Sabil, pada tahun 1873-1913.

Kalangan lain menduga hikayat ini adalah karya Teungku Cik Pantekulu. Hasjmy menyebutkan, memang belum terbukti siapa penulis sesungguhnya, namun dari informasi para pelaku sejarah dan pengikut Teungku Cik di Tiro, Teungku Cik Pantekulu memang diakui sebagai penggubah Hikajat Prang Sabi. Untuk memperkuat dugaannya, Hasjmy mengutip tulisan ahli sejarah dari Australia, Anthony Reid, dalam The Contest for North yang juga mencantumkan perihal pengarang hikayat tersebut. “? Meskipun Teungku Cik Pantekulu, dari Dayah dekat daerah Tiro, dianggap di Aceh mengarang Hikayat Perang Sabil dalam perjalanan pulang dari Mekkah pada tahun 1880, hikayat ini dipopulerkan oleh Teungku Syekh Saman untuk mengobarkan semangat keagamaan dalam perang?”. Syekh Saman atau Muhammad Saman adalah nama Cik di Tiro sebelum bergelar Teungku. Hikayat ini juga disebutkan khusus dipersembahkan Teungku Cik Pantekulu kepada Teungku Cik di Tiro dengan Perang Sabil-nya.

***

Leave a Reply

Bahasa ยป