Taufiq Ismail Ajak Bangsa Indonesia Perangi “GSM”

Endang Kusumastuti
suarakarya-online.com

Budayawan Taufiq Ismail mengajak bangsa Indonesia memerangi “gerakan syahwat merdeka” (GSM). Gerakan ini tidak berorganisasi resmi, tapi bekerja sama bahu-membahu melalui jaringan mendunia dengan kapital raksasa yang mendanainya, ideologi gabungan yang melandasinya, dan media cetak serta elektronik yang menjadi pengeras suaranya.

Menurut Taufik Ismail, ada sepuluh komponen gerakan ini, antara lain praktisi yang sehari-hari kehidupan pribadi dan sekelompok dalam perilaku seks bebas, hetero dan homo. Kedua, penerbit majalah dan media mesum. Ketiga, produser, penulis skrip, dan pengiklan acara televisi syahwat. Keempat adalah 4,2 juta situs porno dunia, 100 ribu situs porno Indonesia, serta penulis, penerbit, dan propaganda buku syahwat.

“Ciri kolektif seluruh komponen gerakan syahwat merdeka ini adalah budaya malu yang telah terkikis nyaris habis dari susunan saraf pusat dan rohani mereka,” ujar Taufiq Ismail di hadapan mahasiswa Solo dalam acara rembuk nasional dengan tema “Penguatan Nilai-Nilai dan Budaya Luhur dalam Peningkatan Akhlaqul Karimah pada Pendidikan Tinggi” di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Solo, Sabtu lalu.

Padahal untuk mengembalikan lagi rasa malu kedalam budaya dan perilaku merupakan tugas yang sangat berat. Sehingga tidak heran jika Taufiq Ismail menyebut gerakan syahwat merdeka ini sebagai maling dan garong genitalia, berserikat dengan alcohol, nikotin dan narkoba, menjadi perantara kejahatan, mencecerkan HIV/AIDS, prostitusi dan aborsi serta bersuluh bukan dan matahari.

Akibat sosial semacam itu tidak pernah difikirkan oleh penulis cerpen, puisi dan novel erotis. Pasca reformasi banyak cerpen dan novel yang sudh mendekati kepada VCD/DVD porno tertulis. Menurut Taufiq para penulis itu tidak pernah membayangkan bahwa ratusan bahkan ribuan pembaca cerpen itu akan meniru melakukan apa yang disebutkan dalam alinea-alinea yang ditulisnya. “Situasi saat ini di Indonesia merupakan riak-riak gelombang dari jauh itu, semuanya selalu membeo dan meniru apa yang berasal dari Amerika itu. Termasuk budaya ulang tahun,” ujarnya lagi. Budaya ini adalah budaya Belanda dan Amerika dengan upacara tiup lilin dan kado. Saya tidak ingin anak-anak bangsa ini membeo dan meniru budaya mereka, lanjutnya.

Dalam kesempatan itu, Taufiq Ismail juga membacakan karyanya berjudul Seorang Anak Perempuan Yang Berulang Tahun. “Dimana yang berulang tahun mengharapkan kado dari orang tuanya. Seharusnya sebaliknya, yang dilakukan seorang anak yang berulang tahun adalah memberikan kado kepada orang tuanya,” ujarnya.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *