(4) angkatan sesudah 2000 – dunia tanda yang membelah diri

Hudan Hidayat

Permainan Tafsir

Kita kembali kepada topik esai ini, yakni soal pengarang perempuan mutakhir: relijiusitas atau profan, yang saya coba luaskan dengan bandingan kepada pengarang lelaki juga.

Dalam pandangan taufiq ismail, pengarang yang tergabung dalam forum lingkar pena, rumah dunia atau bahkan organisasi nir laba yang menamakan dirinya sebagai boemiputera (wowok hesty prabowo, dan saut situmorang sebagai eksponen penting), berbekal ayat ayat suci formal, terutama taufiq ismail, pengarang forum lingkar pena atau rumah dunia (golagong), jelas akan mengatakan bahwa karya tentang perempuan yang mengungkapkan hatinya melalui jalan tubuhnya seperti yang telah saya uraikan, masuk ke dalam label karya “sastra pornografi”.

Dalam sastra buku (serta media maya juga), buku sastra yang dihasilkan oleh pengarang perempuan Indonesia mutakhir, maka karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang pengarang seperti asma nadia, afifah afra, mila duchlun, ines dikara, inggit putria marga, wa adoe wulan, kirana kejora, labibah zain, ratih eliza v handayani, aqidah gauzillah, abidah el khaliqie dan dianing widya yudistira, ratih kumala, dewi sartika – sekedar menyebut beberapa – jelas akan dimasukkan ke dalam label “sastra agama”. Sementara itu nama nama seperti djenar mahesa ayu, herlinatiens, mariana amiruddin, lanfang, dinar rahayu, dewi lestari, ayu utami, dorothea rosa herliany, erna hernandith, atisatya arifin, weni suryandari, novieta tourisia, heni purnamasari, linda christanty, maya wulan, nova ryanti yusuf, Miranda Harlan, stevani hid. akan diberi label “sastra pornografi”.

Novel De Winst, karya novelis Afifah Afra, yang disebut redaktur budaya Koran republika sebagai novel yang dibanggakan oleh anggota forum lingkar pena, memang membuat sebuah keterangan di bawah judul, dengan kalimat: novel pembangkit idealisme. Kata kata yang seolah berseberangan dengan buku cerpen djenar mahesa ayu jangan main main dengan kelaminmu, yang di pojok atas buku pembaca dipalang dengan “bacaan khusus dewasa”. Terbitan forum lingkar pena sendiri pun, yang mengambil judul catatan hati di setiap sujudku, dari cover sudah memperlihatkan betapa kehendak untuk meletakkan sastra sebagai medium agama sudah tergerai. Di atas judul itu terbaca: Allah. Bersama-Mu tak ada jalan buntu. Lalu dua keeping jendela terbuka, dan dari balik kaca mengintip dua buah mesjid.

Sedang di bawah judul tertulis kata kata: Buku yang membangkitkan harapan, menuntun keluar dari keputusasaan, inspiratif dan menyentuh. Dan kalau kita membaca sebuah pengantar yang diberikan taufiq ismail di dalam novel eliza handayani, area x, ada dua hal yang menarik dalam kata pengantar penyair yang begitu dahsyat membombarir “sastra pornografi” ini. Yakni kutipannya tentang pendapat seorang guru yang menceritakan pengalaman membaca yang dialami siswanya.

“ibu guru ini bercerita, ada dari siswanya mengatakan bahwa, saya bukannya tak suka membaca, tapi kalau bacaan yang begitu begitu saja temanya, bagi saya membosankan. Saya ingin membaca sastra yang ada sainsnya, yang ada ilmu eksaktanya, ada tehnologinya. Pokoknya, sastra yang pinter. Jangan yang abstrak abstrak, yang cinta cinta saja, seks seks melulu. Membosankan?” Lalu masih dalam catatan yang sama, penyair taufiq ismail menulis:

Suatu kesegaran baru yang bertiup dalam penulisan cerpen dan novel Indonesia tahun tahun belakangan ini, adalah gelombang bermunculannya pengarang pengarang perempuan kita. taufiq ismail menyebut nyebut dua novel yakni garis tepi seorang lesbi karya herlinatiens dan ode untuk Leopold van masoch karya dinar rahayu dua, karya yang jelas jelas menjadikan novelnya sebagai sebuah tema dari pola hubungan yang menyimpang di dunia lelaki dan dunia perempuan.

Bagi saya catatan semacam itu mengherankan. Sebab di tahun 2007, adalah taufiq ismail juga yang telah menembakkan peluru peluru tajam dengan stigma gerakan syahwat merdeka atau fiksi alat kelamin. Maka apakah taufiq ismail telah bergeser dari pandangannya dalam catatan bertahun 2003 itu, saat di tahun 2007 dia menyerang dengan stigma fiksi alat kelamin (fak) dalam esainya yang terbit di harian jawa pos dengan judul provokatif:

“Hudan Hidayat dan gerakan syahwat merdeka?”

Adalah maksud saya memaparkan persoalan seperti ini dengan agak terinci, untuk membuat sebuah pembedaan yang tegas tentang pandangan kesusastraan yang dimiliki oleh sastrawan Indonesia dewasa ini.

Seperti pilihan dan pemihakan yang tegas yang dilakukan oleh taufiq ismail, forum lingkar pena, rumah dunia dan bumiputera. Yang jelas jelas dengan amat tegas, bahkan mengutuk, akan eksistensi fiksi alat kelamin sebagai perusak moral bangsa (yang dioposisikan dengan cover dan subjudul fiksi yang telah saya sebut di atas, sebagai fiksi pembangkit jiwa bangsa).

Bahkan kelompok ini pun mengutuk bahwa gerakan syahwat merdeka itu adalah bagian dari gelombang “gerakan syahwat dunia” bernama neo imperialisme yang menerjang negeri negeri dunia ketiga. Kutukan yang membawa fatal dari taufiq ismail yang menyerbu para pembuat fiksi yang menurutnya adalah fiksi alat kelamin semata atau hh dengan gerakan syahwat merdeka itu. Atau serbuan bumiputera yang terasa brutal dan tak masuk akal kepada kelompok budaya bernama tuk, yang diindikasikan sebagai markas dari neo imperialis di negeri ini.

Tetapi seorang kritikus sastra faruk ht, dalam tanggapannya atas note asep samboja di facebook tentang peperangan bumiputera vs tuk malah berkata, moralitas seperti taufiq ismail lebih banyak mudaratnya, katanya. Faruk tidak menjelaskan lebih jauh soal ?lebih banyak mudaratnya? itu.

Tetapi bagaimana dengan substansi sastra itu sendiri, dari kedua aliran sastra yang disebut bertentangan secara diametral? Terbaca di dalam novel, misalnya, mahadewa mahadewi nova riyanti yusuf: kedua anak manusia itu terhempas di ranjang yang beralaskan sprei berwarna ungu. Warna itu pilihan mereka berdua. Kedua anak manusia itu saling melemparkan senyum, senyum kepuasan, senyum kenikmatan. Salah satu dari anak manusia itu meraih tangan partner tidurnya malam itu.

“did I make you happy?”

“kamu membahagiakan saya malam ini. Kamu hebat sekali bisa membuat saya berkali kali orgasme. Tetapi, apakah kamu akan menemui saya lagi? Atau seperti biasa, ini akan menjadi one night stand?”

“kalau memang tuhan mengijinkan kita bertemu lagi, kenapa tidak?”

“Tuhan?”

“iya. Kamu dan aku ada di dunia karena tuhan. Dan jika kita bertemu lagi, itu juga atas kehendak tuhan.”

“What? Kamu bicara tuhan Were sinners. We dont mention god in this lifetime.”

“kamu ateis?”

“Bukan. Saya manusia. Manusia biasa. Pendosa. Tidak berhak menyebut tuhan.”

Atau sebuah puisi Miranda Harlan yang bisa kita baca di facebook-nya: dabir dan kisah tentang lelaki. Saya turunkan penuh puisi yang bernuansa relijiusitas dengan benda benda alam ini, tetapi memuat unsur unsur pornografi karena tidak jelas status tokoh tokoh dalam puisi kalau diletakkan pada nilai nilai formal sebuah agama. Ada relasi yang galau di sana, hubungan yang resah dari sebuah relasional yang dimainkan aku lirik, yang membuat asosiasi dengan semesta dan karena itu terasa begitu relijius.

“Masih tak bisa kulupakan malam, yang mengigau dan risau di tepi telingaku.”

Begitu bunyi lariknya. Apakah malam itu? Dan apa pula matahari di sana? Mengapa sang aku di sana berkata,

“Lihatlah matahari, sebab kamu akan merindukannya.”

Nasib manusia seperti malam yang tak terduga dan mengharapkan benderang seperti terang matahari, terasa membayangi hubungan perempuan dan lelaki dalam puisi.

“lihat”, kata sang perempuan kepada lelakinya, “Padamu telah kujahitkan kemeja bulan, supaya jika kamu rindu kamu bisa menatapnya dan menemukanku di padang bintang. Jika rindumu tak menghabis, pakai saja kemejamu dan kita menjadi dekat: aku bintang kamu bulan di langit yang infinit”.

Begitulah kehendak sang manusia untuk sebuah harapan, yang begitu menemukan keindahan sebuah bahasa puisi dari puisi miranda harlan ini: kemeja bulan yang dijahitkan ke badan lelaki. Begitu simbolik dan begitu syahdu. Begitu relijius. Tapi ketidakjelasan nasib mengambang juga di sana. Nasib yang sudah diceritakan dengan getir dalam puisi. Tapi terasa indah.

“Jika kau takut hangus, tanggalkan saja kemeja bulanmu dan lipat yang rapi dalam lemari. Paling tidak, sekuku janji sudah kusematkan di lipatan saku, dan kamu tak perlu berpura-pura jadi pijar atau aku bersandiwara mencuri cahaya. Paling tidak.”

Miranda harlan:

“dabir dan kisah tentang lelaki”
: lelaki 1
Bukankah kita pernah mengenal malam? Ketika pagi bening datang, kamu duduk di tepi ranjang dan menepuk bahu telanjangku. “Lihatlah matahari, sebab kamu akan merindukannya,” kata kamu sambil berjaga, kalau-kalau seekor serigala lapar menyerbu daging tubuhku. Aku yang tak peduli mengenang dalu lewat jelaga di tubir jendela. Menghalau jarak dan matahari, sebab keduanya terkadang membuatku lupa pada berada dan kegelapan. Kamu beranjak demi secangkir kopi pahit. Kita berjeda. Masih tak bisa kulupakan malam, yang mengigau dan risau di tepi telingaku. Tetapi kamu bersiul tentang siang garang; lagu gembira yang didendangkan para pemburu. “Dor!” mulutmu melecut bunyi senapan; satu, tiga, tujuh kali berturut-turut. Di tepi ranjang, aku duduk dan tersentak. Berdada telanjang, terbius tanya ragu-ragu: siapa kelak merindukan matahari?

: lelaki 2
Lihat. Padamu telah kujahitkan kemeja bulan, supaya jika kamu rindu kamu bisa menatapnya dan menemukanku di padang bintang. Jika rindumu tak menghabis, pakai saja kemejamu dan kita menjadi dekat: aku bintang kamu bulan di langit yang infinit. Maka kamu tahu pula kalau kita dua yang tak sama: aku pijar kamu pencuri cahaya pada orbit tak bersinggungan. Barangkali kamu dan aku akan saling memandang dalam jarak. Tetapi sudah kuabaikan sisa parut di wajahmu, dan kamu tak perlu lagi berpaling karena malu. Dan sudah kusimpan spirit dalam tubuhku bagi sebuah supernova. Jika kau takut hangus, tanggalkan saja kemeja bulanmu dan lipat yang rapi dalam lemari. Paling tidak, sekuku janji sudah kusematkan di lipatan saku, dan kamu tak perlu berpura-pura jadi pijar atau aku bersandiwara mencuri cahaya. Paling tidak.

: lelaki 3
sebab kamu adalah gunung berapi. Dan aku sebutir pasir yang merindukan asal-usulku.

Bagaimana dengan sebuah cerpen linda christanty berjudul makan malam dalam bukunya kuda terbang maria pinto, sebuah cerita ibu dan anak yang beribu pelacur, di mana kerap mereka makan pagi bersama sambil mengisap ganja. Benar tidak ada penggambaran adegan hot di sana. Tapi moral cerita yang datang dari narasi linda jelas adalah sebuah fiksi pornografi dalam kaca mata taufiq, forum lingkar pena atau komunitas bumiputera.

“Rumah kami juga pernah kedatangan lelaki, dua kali. Tapi itu bukan ayah. Dua kali untuk dua pria. Itu kunjungan yang kuketahui. Teman temanku malah berkata, ibu sering pergi ke hotel dengan sepuluh pria, berganti ganti.”

Tapi pembaca yang jeli akan melihat sebuah konteks di sana, konteks yang dalam cerpen diceritakan menjadi kilasan tentang sebuah keributan besar dan sang ayah terbuang sampai ke negeri orang. Ada kesedihan mengendap di situ, ketika sang aku prosais menceritakan riwayat keluarganya yang malang, dalam sebuah cerita dewasa yang matang dalam cerpen.

“dulu ayahmu suka menembang, kata ibu. Suaranya merdu. Di malam hari ketika ibu mengandung aku, ayah suka menembang. Suaranya jernih. Aku pernah dinina bobokkan ayah dan itu membuat perasaanku tenteram. Seperti apa wajah ayah, ibu?”

Sudah jelas mahadewa mahadewi, puisi Miranda Harlan atau fiksi linda christanty, adalah sastra pornografi dari pandangan taufiq ismail. Tapi taufiq ismail bukan satu satunya sumbu penilaian, penilaian moral sastra atau penilaian moral bangsa secara umum. Sebab kalau kita melihat di cover belakang buku, terbaca juga di sana pembelaan orang sekaliber almarhum nurcholish madjid:

“tantangan terbesar manusia”, tulis tokoh yang akrab disapa ca nur ini, “adalah mengakui kekurangan dan jujur pada diri sendiri. Lewat karya yang gemilang, novelis muda nova mengajak kita untuk menjadi pemberani memenangkan tantangan itu. Rangkaian kata yang lugas dan berisi dari novel itu telah memperkaya khasanah kesusastraan Indonesia? teruslah berkarya?”

Bagaimana sosok yang sangat dihormati di Indonesia ini bisa berkata demikian terhadap novel yang dihujat sebagai sastra bagian dari gerakan syahwat merdeka ala taufiq ismail? Karena novel ini, seperti di dalam prolognya, adalah sebuah novel yang “akan menyelami alam pikiran manusia, merasuki alam perasaan manusia”, sekalipun menurut saya, kehendak itu, tidaklah setajam novel olenka budi darma yang jelas jelas mengandung adegan kelamin yang hot dalam bagian bagian novel.

Atau misalnya kalau kita melakukan perbandingan langsung dengan novel yang dibanggakan sebagai novel pembangun jiwa itu, novel de winst afifah afra, yang masuk jauh ke dalam alam kolonial dengan membangun cerita seorang sarjana ekonomi lulusan belanda dan pribumi, maka kita menemukan spirit kebebasan, atau pencarian individual pada mahadewa mahadewi, sementara pada de winst sebuah cerita berkorelasi, atau bersetting negeri pribumi. Tokoh di dalam novel de winst bukanlah tokoh tokoh menyimpang yang sedang mengembara seperti tokoh tokoh dalam novel mahadewa mahadewi. Pada de winst tidak ada adegan yang disebutkan sebagai sinners dalam novel nova riyanti yusuf itu.

Bahkan saya lebih bisa merasakan rasa berbahasa pada cerita pada novel sintren dianing widya yudhistrira, terbitan grasindo, dan tanpa embel embel sebuah novel “pembangun jiwa”. Atau cerita pendek aqidah menari di atas gunting, yang penjelajahan terhadap ketuhanan nampak bagi saya lebih meyakinkan.

Di sini novel bukan saja dibangun, atau diceritakan dengan bahasa prosa yang memiliki kadar renungan, sesuatu yang agaknya luput dikerjakan oleh afifah, bahwa bahasa dalam penceritaan sebuah karya sastra, sama pentingnya dengan cerita itu sendiri. Sehingga dunia cerita tidak hanya sekedar disuguhi oleh cerita yang hendak dikisahkan kepada pembaca, sekalipun cerita itu adalah sebuah tema penting seperti tema di dalam novel de winst itu. Pada de winst saya melihat cerita yang belum diolah secara bahasa, sehingga novel seolah, sebuah dunia cerita yang seakan rekaman, atau sketsa, sebuah kehidupan. Di mana peristiwa diceritakan tanpa mengambil sudut pandang, tanpa sebuah ruang, sehingga darinya pembaca bisa merenungkan cerita yang sampai kepadanya.

Dalam de winst cerita mengalir sebagai peristiwa, tanpa dilepaskan sebagai peristiwa sehingga cerita menemukan bentuk renungan. Menemukan bobotnya saat peristiwa dalam cerita sudah dilepaskan seolah jiwa yang dilepaskan membumbung mengatasi kehadiran fisik. Sehingga tercipta renungan yang datang dari sebuah ruang kosong, dari keterampilan sang novelis membangun ceritanya. Ruang kosong yang tersisa pada pembaca untuk berdiam di dalamnya. Ruang yang bisa tercipta saat sang novelis telah berhasil mengambil jarak dari apa yang menjadi peristiwa dalam ceritanya. Darimana sang pembaca itu sendiri menjadi aktif dalam cerita yang hendak dan sedang dikisahkan. Apa yang saya katakan ini sebenarnya sudah dijanjikan oleh sang novel pada start ceritanya, yang mengambil setting pada sebuah kapal, saat tokoh cerita pulang kembali ke negeri asalnya. Setelah lama bertualang mencari ilmu di negeri orang.

Begitulah terbaca hal yang menjanjikan itu dalam awal bab de winst novel pembangit jiwa itu. Kita menjumpai kualitas bahasa yang mengandung bobot renungan dalam bahasa. Bahasa novel. Bahasa yang telah melepaskan diri dari peristiwa yang diceritakannya, membawa pembacanya membumbung, melepaskan bobot peritiwa yang dialaminya sebagai sebuah bacaan. Bahasa yang seperti sering kita jumpai dalam novel novel dunia, telah dimulai oleh novel de winst ini. Tapi kemudian menghilang di dalam tubuh novel. Di mana novel terjebak dalam dialog dialog panjang dan berhenti ke dalam peristiwa yang dikatakan. Novel gagal mengangkat peristiwa, melepaskan bobotnya sebagai peristiwa di dalam novel.

Saya kutip awal novel yang saya katakan itu.

Batavia, 1930

Ketika kapal api yang berangkat dari Amsterdam itu berlabuh di pelabuhan tanjung priok, mendadak lelaki muda yang tengah berdiri di geladak itu merasakan debar hati yang tak biasa. Bak gemintang di saat malam beranjak kelam, bangunan pelabuhan itu semakin lama semakin tampak jelas. Tak semegah dan seartistik pelabuhan pelabuhan di kota kota eropa, tapi sungguh aura yang dipancarkankam mampu menghadirkan konser piano Mozart yang memankan eine kleine nachtermusik alergro di hatinya. Meriah, megah. Teja jingga mentari sore yang memantul di bening teluk Jakarta semakin membuncahkan aura yang menawan, seperti lukisan Leonardo da vinci yang terjelmakan dalam taburan warna warna naturalis. Sesaat lelaki itu tersergap serangkaum de javu. Elan tanakh kelahiran merasuk dalam segenap pembuluh darah, membuat sekujur badannya beergetar.

Begitulah saya melihat kedua aliran sastra ini, perbedaan yang terpenting adalah pada “sastra pornografi” itu terdapat kebebasan yang sangat jauh baik pada hubungan badan di luar nikah maupun pada digunakannya imajinasi atau kemauan untuk menyelam ke dalam rahasia hidup. Sedang pada sastra agama kedua hal tersebut seolah hendak ditundukkan, atau diletakkan, kepada kaidah kaidah moral agama. Sehingga sebagai sebuah bahasa seni-seni bahasa baik dalam bentuk novel, cerpen atau puisi. Cerita dan bahasa seolah terkunci. Seolah tertutup kemungkinan dalam bahasa dan cerita untuk melakukan penyimpangan. Bahasa dan cerita kehilangan kemungkinan subersivitasnya.

Apa yang saya sebut itu, dengan jelas sangat terlihat pada cerita pendek asma nadia yang terkumpul ke dalam buku yang sekaligus menjadi judul cerita pendeknya. Yakni catatan hati di setiap sujudku. Di sana pembaca, sebelum masuk ke dalam ceritanya sendiri sudah dihadang oleh pengutipan surat al baqarah ayat 186.

Bismillahirrohmannirrohim

“dan apabila hamba hambaku bertanya kepadamu tentang kau, maka (jawablah) bahwasanya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintahku), agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.

Rupanya ayat tentang doa ini menjadi semacam isyarat apa yang akan terjadi di dalam cerita dan apa kesimpulan yang terjadi di akhir cerita. Dan inilah yang saya maksud dengan cerita dan bahasa yang terkunci itu. Kita disuguhi sebuah cerita tentang seorang bunda, demikian aku prosaik dalam cerita asma nadia itu menyebut dirinya, sebagai seorang ibu (beserta suaminya) sangat cemas melihat dan menunggui anaknya yang masih kecil sakit kritis di rumah sakit. Sang ibu berdegup degup hatinya dan sekujur buku menjadi ajang penyebutan nama allah dan allah di sana dihamparkan secara apa yang kita kenal dalam dakwah dakwah.

Benar itu memang sebuah cerita, cerita pendek, yang beralur jelas dan berkonflik jelas, konflik batin seorang ibu yang cemas menunggui anaknya yang sakit di rumah sakit. Tapi lihatlah di sana bahasa dan cerita kehilangan peluang untuk sebuah kemungkinan kemungkinan lain, saat bahasa dan cerita diletakkan, atau tunduk kepada moral moral agama yang tak memiliki kehendak untuk sebuah tafsir. Tafsir bahasa dan tafsir cerita. Untuk masuk ke daerah daerah perasaan dari tokoh tokohnya. Tidak hanya sekedar berhenti dengan memuja tuhan secara verbal. Cerita yang masuk ke daerah penyimpangan seperti inilah yang memiliki peluang untuk kita menghayati kehidupan secara lebih intens lagi. Tapi denggan Sehingga kita hanya menjumpai sebuah cerita dan bahasa yang seolah dakwah yang disampaikan secara lisan oleh sang pendakwah yang berbekal ajaran ajaran agama formal.

Cerita seakan berkembang dari doa yang dibentangkan oleh sepasang tangan seorang ibu terhadap tuhannya. Cerita seolah menyerah di sana. Seolah pasif dan kehilangan kemungkinan lain sebagai cerita. Terkunci ke dalam kepasrahan hati sang tokoh. Tak berkembang sebagai sebuah cerita yang memiliki kemungkinan kemungkinan yang tak terduga sebagaimana hidup ini sendiri tak terduga dan banyak sekali daerah daerah pengembaraan baru yang menantang, membuat kita hidup dan bisa mendayagunakan segala potensi dalam diri sebagai manusia yang hadir dan mengalami dalam dunia.

Di mana kita sebagai pembaca dengan penceritaan seperti itu ikut berdebar, masuk ke dalam permainan untuk menduga, misalnya, kemana cerita ini akan membawa kita dan bagaimana sang cerita ini akan mengakhir dirinya. Di mana atas dasar cerita itu kita pun mengukur ngukur diri pula, melihat pengalaman pribadi kita dan membandingkan pengalaman sang tokoh ke dalam pengalaman diri sendiri, dari sebuah cerita yang masuk ke dalam diri kita tanpa sebuah paksaan yang datang dari kepastian kepastian ajaran moral agama formal. Seakan kita terlepas dalam mencari hidup dan dalam hidup di daerah di mana kita sebagai manusia berada dalam sebuah ruang nasib yang tak pasti. Ruang di mana segala hal mungkin terjadi.

Cerita seperti ini justru saya temukan dalam majalah Horison edisi pebruari 2008, yakni cerita pendek yang ditulis pengarang muda amat berbakat, seorang yang hidup di dalam dunia pesantren bernama juwairiyah mawardi, dengan cerita pendeknya berjudul Mariah, tokoh perempuan dalam cerpen yang telah membuat sang aku di sana, aku yang tak bernama, seorang lelaki anak tunggal pemilik pesantren, seorang ayah yang telah, tanpa disadari oleh ayahnya sendiri dan tanpa diketahi oleh ibu dari anaknya sendiri, telah merebut Mariah sang pujaan hati sang anak lelaki putra pemilik pesantren itu. Begitulah hati sang anak itu patah, saat suatu hari berita datang kepadanya bahwa sang ayah akan menjadikan

Mariah yang sedang memadu hati dengannya akan menjadi istri muda ayahnya atau madu dari ibunya. Sebagaimana tradisi pesantren hal itu adalah hal yang biasa. Tapi menjadi tidak biasa ketika ia diletakkan kepada sebuah konteks: sang anak diam diam sedang memadu hati kepada sang Mariah yang ingin dan akhirnya diperistri oleh ayahnya itu.

Putusnya komunikasi di sini, telah membuka sebuah ruang permainan perasaan dari ruang nasib yang disodorkan oleh sang cerpenis. Betapa kita menyaksikan kegelisahan sang tokoh, aku itu, dan betapa kita menduga duga apa yang terjadi dengan Mariah, gadis alim, baik hati dan setia itu, sampai akhirnya memutuskan pinangan gurunya sendiri, sambil “mengkhianati” pujaan hatinya yang mengharapkannya untuk suatu hari meminangnya.

Konflik yang keras seperti itu berlangsung terus dalam pesantren itu. Di sang Mariah kita tak tahu nasib hatinya saat berada dalam pelukan sang ayah, dan sang anak dalam rumah yang sama terbakar neraka hatinya sendiri. Sampai sang anak memutuskan untuk belajar di tempat lain, mengungsikan kekalahan dirinya dan mengungsikan sakit hatinya sendiri. Tapi lihatlah nasib itu kembali lagi: sang ayah sakit dan sang anak dipanggil pulang. Anak pun pulang, untuk menyaksikan ayahnya yang sekarat dan untuk merasakan perasaan hatinya yang retak: memaafkan ayahnya atau terus membencinya.

Lalu cerita pun berkembang tak terduga, sejak kematian sang ayah. Anak terbakar rindu dan cerita terus menyisakan lubang: apa yang terjadi dengan Mariah, yang kini malah memakai cadar dan hingga kini pun tak berani mengangkat wajah kepada bekas kekasihnya itu. Hingga suatu hari sang Mariah ini naik ke rumah induk dan bertemu dengan “ibunya”, berkehendak untuk pulang ke kampung. Tapi sang pengarang tak membiarkan itu terjadi, demi sebuah ketegangan dan demi sebuah pertarungan yang berlangsung diam diam. Mariah pun akhirnya sakit dan sang aku naik ke rumahnya. Tapi ditolak -toh bukan muhrimnya. Hingga suatu hari panggilan itu pun datang dengan sendirinya. Panggilan yang sudah seharusnya terjadi di awal bukan di tengah atau diakhir hidup.

Di sinilah Mariah dan sang aku itu bertemu, Mariah yang sudah lemah dan sakit dan merasakan hidupnya akan berakhir. Hanya maaf lagi yang ia mintakan, agar perbuatannya dimaafkan. Tapi sang pengarang tetap tidak memberitahukan apa sebab Mariah mengambil jalan menikah meninggalkan kekasih yang dicintanya dan kekasih yang mencintanya. Tetap menyisakan ruang kosong kepada pembacanya untuk terus bergerak dalam baling baling jiwanya. Tetap menyisakan palu untuk sebuah nasib itu. Sampai akhirnya dia membuka jilbabnya dan sang aku seakan melepaskan tanggul jiwanya yang jebol, memeluk Mariah dan mencium bibirnya. Tapi Mariah telah mati di dalam pelukannya sehingga ia pun menangis lupa diri.

Saya melihat novel legendaris tenggelamnya kapal vanderwijck hidup kembali di dalam cerita juwairiah ini. Nasib yang fatal itu kembali lagi dan kini menghantam sang aku dengan telak. Palu telah menghantam manusia kembali. Kita pembaca terhenyak dan merenung sambil mengintip ngintip cakrawala dan melihat lihat burung burung terbang di sana.

Sama sama beriman. Sama sama menyebut nyebut tuhan. Tapi lihatlah arah arah yang bisa diambil oleh cerita yang tak meletakkan diri ke dalam bahasa formal agama. Tetapi memang kalau memakaikan kaca mata biasa, kaca mata umum, seolah dunia kepengarangan Indonesia mutakhir terbelah ke dalam belahan “sastra pornografi” dan “sastra agama”. Tetapi bagi saya sebenarnya, belahan itu tidak ada. Tentu saja kita harus kembali kepada hakekat apa yang disebut relijiusitas dan profan itu sendiri.

Kaitan dengan relijiusitas dan profan ini, akhirnya harus dikatakan sayap sayapnya bukan hanya sekedar pornografi, sayap yang diambil langsung dari iktibar yang datang dari kitab suci. Tapi juga kekerasan, baik kekerasan secara horizontal maupun kekerasan secara vertikal yang mengacu kepada tuhan.

Tetapi dalam pandangan saya, baik pornografi maupun kekerasan boleh dikisahkan, melihat sekujur tubuh dari kitab suci adalah “penceritaan tentang pornografi” (adam dan yusuf misalnya, atau bahkan kaum luts). Dan penceritaan tentang kekerasan baik yang berlangsung di alam manusia maupun di alam ketuhanan (kisah firaun misalnya, yang menyembelih anak anak kecil dan sampai mati berkata atheis).

Dan kalau argument menolak “sastra pornografi” adalah bahwa sastra porno ini kelak akan merangsang syahwat pembacanya, maka bagaimana dengan imajinasi kita yang bergerak saat kitab suci menggambarkan adam dan hawa menutup tubuhnya dengan pelepah pelepah daun surga?

Keduanya dibolehkan karena keduanya mendapatkan pembenaran dalam kitab suci, yang sendirinya secara indah telah melakukan penceritaan untuk kabar bagi umat manusia. Bahwa penceritaan seperti itu dibenarkan.

Dan kita bisa menangkap pembenaran itu ke dalam sebuah konteks, bahwa di balik cerita itu ada hal lain yang hendak diperjuangkan oleh penulis. Bahwa penulis dengan penceritaan melalui fiksi yang dibuatnya, seperti kitab suci juga, sedang membangun sebuah dunia melalui ceritanya. Dunia yang dialaminya dan dihayatinya. Dunia sebagai tafsir dunia yang memantul kembali ke dalam dunia sebagai tafsir ceritanya. Borokku, kata penulis rini asmoro di facebook nya, yang hendak berkata tentang kusta dan lepra di jiwa kaki manusia haruslah hendaknya diusap bukan saja oleh sebuah doa tapi juga oleh puisi.

Karena itu seperti yang telah diawali oleh esai ini, maka sebenarnya tidaklah dalam kedudukan kita untuk mengatakan sebuah cerita profan atau bermuatan relijiusitas. Sebab baik profan maupun relijiusitas itu adalah takdir dunia yang kita tak tahu apa kesudahannya. Maka menjadi sahlah dan halallah “sastra pornografi” dan “sastra agama” itu.

Hitungannya bukanlah apakah sebuah cerita semacam robohnya surau kami aa navis adalah sebuah cerita yang menghujat tuhan karena tokoh yang alim dan bertekun diam di masjid itu akhirnya bunuh diri, membenamkan belati ke pergelangan tangannya sendiri. Atau cerita semacam langit makin mendung pun, bukanlah kisah yang menghujat tuhan.

Atau puisi sudi ono yang melemparkan tubuh perempuan keluar kereta untuk sesuatu putus asa yang tak jelas, dari seorang ibu pelacur yang sangat mungkin telah terbentur dengan keras dalam hidupnya yang selalu berelasi dengan manusia sebagai ular dalam puisi fitrah anugerah, manusa yang menjelma juga menjadi pasangan kebon sayur dalam puisi tory suryo, yang disayat pelan pelan isi dalamnya oleh penyair kurniawan.

Semuanya adalah at teater, seperti yang disuarakan dengan bagus oleh penyair jeff. Masih belum cukupkah? Ini yang lebih menyayat lagi tentang kisah anak manusia yang ada di bumi, dari penyair samsudin adlawi dalam puisi kesaksian, sebagaimana kesaksian penyair nina yuliana bahwa manusia ini, seolah bisa juga adalah memungut puntung rokok untuk sebuah hisapan kehidupan.

Kesaksian

bila dua bola mata yang kucongkel
belum cukup
akan kugergaji dua kaki ini
jika itu belum cukup
akan kupotong dua tangan ini
jika juga belum cukup
akan kuserahkan hatiku
juga jantungku

Bahkan cerita jaring jaring merah helvi tiana rosa bukanlah sebuah kisah kekerasan dalam ranah sosial politik yang tak boleh diceritakan, karena kelak akan ditakutkan merangsang kekerasan dalam diri pembaca ceritanya, seperti dalam sayap yang dianggap pornografi itu, seperti yang menjadi anggapan oleh mereka yang memegang tafsir agama secara formal.

Juga cerita pendek ahmadun yosi herfanda tentang seorang pelacur yang di dalam masjid mencabik cabik seluruh bajunya hingga tanpa busana, dalam upayanya untuk suci, untuk telanjang, untuk berserah diri kembali kepada tuhannya dalam cerpen yang berjudul pertobatan aryati. Sebuah cerita, ukurannya adalah keindahan dan kedalaman pada dirinya sendiri. Bukan sebuah nilai yang dipaksakan kepadanya.

Sebab begitulah kata dan kesimpulan yang datang dari kitab suci itu sendiri. Dengan segala kisah dan riwayat yang telah dituliskan tuhan dalam kitabnya sendiri.

Maka saya kira perbedaan dalam keyakinan orang menulis fiksi, agaknya haruslah kita hormati. Sebab keragaman sungguh terberi di dalam alam. justriu apa yang nampak aneh bagi saya, misalnya, adalah buku terbaru helvi tiana rosa yang memasang komentar putu wijaya di cover depan: Cerpen, tak sanggup membatalkan helvi tiana rosa, dari seorang penyair.

Padahal kalau mengikuti definisi taufiq ismail atau forum lingkar pena sendiri, jelaslah novel telegeram putu wijaya adalah novel pornografi sebagaimana novel olenka budi darma adalah novel pornografi. Juga sebagian sajak sajak rendra yang berbicara tentang passionnya kepada wanita. Seperti puisi wanitaku wanitaku itu. Tetapi keanehan semacam itu saya letakkan saja ke dalam keragaman pandangan tentang hidup, bahwa betapa begitu sukar meneriakkan mana yang benar dan mana yang salah dalam hidup yang nyata ini. Hidup yang kebenaran dan ketidakbenaran terasa datang sayup sayup dalam diri. Seolah roh yang tertangkap tangan tapi lalu merucut lagi.

Saya akan menyudahi esai ini dengan mengutip herliantiens, seorang novelis yang telah menulis novel garis tepi seorang lesbian, dalam kata pengantar untuk novelnya yang mengguncangkan dunia novel di Indonesia.

“saya percaya segala sesuatu yang ada di dunia ini selalu ada sebab akibatnya yang menyebabkan demam rindu untuk mengenal atasnya. Seperti bulan yang setia mendampingi bumi, seperti tanah yang setia kita pijak. Subhanallah.”

“sebagai catatan, saya seorang muslim, meski untuk sesaat ini saya sempat mangkir dari kewajiban seorang yang beriman, tapi saya masih sangat percaya kepada tuhan. Justru karena saya percaya adanya kuasa tuhanlah, dan cinta saya yang (?) pada tuhan saya, saya menghargai dan menulis tentang semua ini. Saya sempat beberapa kali membaca terjemahan surat an naml juga surat surat lainnya tentunya, (dalam quran) tentang kaum nabi luth, hal ini menimbulkan banyak pertanyaan di benak saya?”

Begitulah hidup dan kita manusia, seperti tersebut dalam sebuah novel yang kehadirannya penuh kontroversi, novel tuan dan nona kosong yang ditulis oleh sepasang pengarang mariana amiruddin dan hudan hidayat, adalah seolah anak anak nakal belaka di mata tuhan.

Seperti demikianlah adanya.

Hudan Hidayat
-Penggagas angkatan sastra sesudah 2000
-Pemimpin redaksi jurnal sastra tuhan hudan di facebook
-Redaktur budaya jurnal perempuan
-Penggagas memo Indonesia bersama fadjroel rachman, mariana amiruddin dan rocky gerung
-Redaktur jurnal cerpen Indonesia
-Mengajar penulisan kreatif di IKJ
-Penulis novel tuan dan nona kosong
-Penulis novel kayu api
-Buku cerpen orang sakit, keluarga gila, dan lelaki ikan
-Penulis buku esai nabi tanpa wahyu dan ziarah kata

Hudan Hidayat: saya penganut sebuah tulisan tak pernah ada selesainya. dan karena itu walau sudah dinyatakan selesai, tulisan ini tetap akan saya bongkar pasang, saya tambah tambahi kritik sastra yang ilmiahnya hihi sesuai dengan kritik batin sastra saya kata saut itu, maka saya mengundang semua teman teman saya di facebook agar sudilah kiranya o o o hehe untuk mengirimi aku fiksi agar bisa kita lihat bersama di mana letak diri kita ini i i i hehe
*
Hudan Hidayat: dan sungguh kulihat grafik menanjak dalam senimu. makin hari makin baik saja bukan malah makin menurun kekuatannya. tapi menurun pun itu wajar dan manusiawi sekali.
*
Fadjroel Rachman: hiduplah sastra sesudah 2000 yang sudah menemukan HB Yasin-nya sendiri: Hudan Hidayat (HB Yasin angkatan sastra sesudah 2000)
*
Relijiusitas yang datang dari dunia profan dalam karya pengarang perempuan “muslimah”

26 Maret 2009 jam 17:46

Relijiusitas yang datang dari dunia profan dalam karya pengarang perempuan “muslimah”
Hudan Hidayat

Dunia profan yang kita luaskan dari pengertian atau klasifikasi sebagai tubuh yang hina, tubuh yang tercemar, tak menaik kepada dunia ketinggian, dunia yang menjadikan semesta sebagai renungan dan kelak akan menggelincirkan diri kepada sang khalik pencipta bumi. Dan itulah saatnya relijiusitas dalam puisi datang dari dunia profan. Dari dunia tubuh dan benda benda yang diaduk sang penyair menjadi peristiwa dalam hidup yang dialami.

Saya membaca dunia puisi kirana kejora dalam bukunya Perempuan dan daun. Sebuah buku puisi yang dicampur sang penyair dengan memasukkan cerita pendek ke dalamnya, serta berhias foto foto pengarangnya yang melibatkan juga fotografer terkenal di negeri ini seperti fotografer darwis triadi.
Selalu penyair mencari lambang untuk dunia puisinya. Kirana memakai lambang perempuan sebagai daun. Dengan angin, tanah, perempuan yang dilambangkan sebagai daun hidup menjadi dunia puisi.

Dalam puisi pembuka dari buku puisinya, kirana memasang puisi berjudul nafas sang daun. Nafas sang daun yang menjadi dunia lambang dari kehidupan perempuan. Apakah suara penyair perempuan di sana?

“Perempuan adalah daun
Lelaki adalah angin”,

begitulah bunyi larik pertama dan larik kedua puisi kirana.

Dengan puisi ini kirana hendak mengidealkan posisi perempuan dalam relasi dengan dunia lelaki. Perempuan sebagai daun yang digoyang goyang angin bukan untuk supaya sang daun jatuh ke bumi. Angin “yang datang tiba tiba” membuai daun, namun ketika angin berlalu, daun itu menguning, terjatuh di tanah??

“Inginku”, kata kirana,
“biarkan daun itu gugur
Karena kehendak alam
Bukan karena
Tiupan kencang sang angin kembara?”

Relijiusitas yang bertiup dalam puisi seperti itu, memang tak datang dari kehendak untuk menarik ayat ayat dari sebuah kitab suci. Tapi dari pengalaman hidup yang dihayati sang penyair. Daun, angin, tanah dan ranting, adalah pengelihatannya terhadap semesta. Dipakainya untuk merenungkan hakekat kehidupan. Relijiusitas semacam itu tak juga menunjuk secara verbal hendak kemana “daun dan angin” itu. Hendak kemana lelaki dan perempuan di atas dunia ini, tak dikotakkan sang penyair kepada katakanlah “dunia khusnul khotimah” yang datang dari “keluarga sakinah mawardah”. Tapi dari realitas sehari hari yang dicernanya dari segenap indera indera tubuhnya yang diberikan oleh tuhannya. Hatinya adalah hati penyair, seseorang yang merespon alam yang diberikan oleh tuhannya juga. Maka relijiusitas datang langsung dipetik dari sang alam. bukan dipetik dari kotak kotak yang termuat sebagai ayat ayat di dalam kitab suci.

Dalam puisi ketiga di buku itu, sang penyair bersurat kepada ilalang dalam puisi yang berjudul “surat kepada ilalangmu”.

Apakah isinya?

“pada ilalang kutawarkan secangkir embun
Buat redam takutku?”

Puisi ini bercerita tentang perempuan yang sendiri. Perempuan yang gagal membangun relasi dengan seorang lelaki yang nampaknya pernah mengisi hidupnya. Melalui ilalang sesuatu yang dalam kosakata sehari hari tak berdaya guna itu, sang penyair memindahkan sebutan dirinya ke fungsi fungsi yang terkait juga.

“aku masih sabit yang terpenggal”, katanya
Yang tak pernah memiliki malam, siang, pagi?

Pada puisi semacam ini, kembali kita diingatkan akan sebuah religiositas yang datang dari alam itu sendiri. Manusia bersatu dengan alamnya untuk menceritakan dirinya. Memakai kosakata perbandingan dengan alam yakni ilalang, sabit, dan setting alam ini mengantar pembaca puisi ke luar menuju semesta yang sunyi tak bertepi. Seakan kita berada di tengah ilalang itu, lalu berdesaulah angin dan berkeriaplah bunyi dan suasana malam. Dan dengan begitulah kita melepaskan benda benda yang profan, atau dengan jalan atau melalui benda benda yang profan, sang penyair mengajak pembacanya menanjak ke religiositas terhadap makna makna hidup.

Adalah penyair Inez dikara yang membuat buku puisi bersama maulana achmad dan dedy t riyadi. Dalam buku puisi tiga serangkai berjudul sepasang sepatu sendiri dalam hujan, sebuah judul yang menurut saya adalah sebuah larik puisi sendiri itu ? larik puisi dari ingatan kita bahwa di dalam sebuah hujan, ada sepasang sepatu yang sendirian di bawah hujan.

Siapakah yang menaruh sepasang sepatu yang sendirian di bawah hujan itu?
Tapi benarkah sepasang sepatu yang sendirian itu berada di bawah hujan tanpa atap atap sebagai penopang, tapi tercagak di sebuah padang misalnya, dan hujan turun membasahi dirinya. Kalaulah ada pemiliknya pastilah sang pemakai sepasang sepatu itu akan ikut keciprat air.

Dalam sebuah angan angan sayu yang datang dari guyuran air hujan, kita bisa menerka nerka darimanakah pemilik sepasang sepatu itu, sampai kuyup di bawah hujan dan hendak kemanakah dia gerangan.

Segeralah terasa dunia puisi adalah dunia asosiasi, di mana pembaca puisi bisa ditarik atau membawa dirinya bersama puisi ke dalam lamunannya. Ke dalam kenangan juga. Seperti penyair Inez dikara dalam buku itu membuat sebuah puisi berjudul yang amat puitik: senja bersandar di jendela kamar. Sebuah larik judul yang mengisyaratkan tubuh puisi hendak dibawa kemana, yang adalah puisi itu sendiri: senja bersandar di jendela kamar, sebuah isyarat akan hidup yang terbentang ke alam alam tak terduga senja, yang akan bergerak ke malam hari, terbuka ke dalam tiap kemungkinannya, seperti jendela itu, terbuka akan tiap pemandangan yang bisa di longok dari baliknya.

Apakah yang dikenang sang penyair berwajah melankolis itu?
Apakah di balik jendela jiwa sang aku lirik itu?

Adalah waktu. Waktu yang mengajarkan religiusitas tentang pergantian jam dari bumi yang berputar, bumi yang didekatkannya seolah ibu, ibu dari tanah yang menumbuhkan kehidupan, dan ibu dari seorang perempuan yang menebarkan kasih dan sayang. Waktu darimana alam bergerak dan seorang ibu bergerak. Dan itulah waktu dari saat sang aku lirik memunguti kenangannya.

“Dada bumi memelukmu hangat
Seperti tangan ibu yang kini jauh
Tangan yang menyuapimu dengan sabar
Lalu menyelimutimu ketika malam datang”

Terbantanglah apa yang di balik bumi. Apa yang di balik ibu. Adalah kehidupan itu sendiri. Kehidupan yang dimamah mamah sang aku lirik dan pembaca kisahnya. Kehidupan yang menerobos dunia benda dan peristiwa, menerobosnya hingga kita sampai ke pertanyaan: duhai, hendak apakah kehidupan ini? Hendak ke manakah “dada bumi” dan hendak ke manakah “tangan ibu” yang “menyuapimu dengan sabar” itu? Hendak kemanakah kamu?

Seorang penyair perempuan muda yang cantik dan berkerudung, nur jehan, adalah seorang penyair yang hemat saya memiliki bakat besar dalam menulis puisi. Lagi lagi saya menemukan bakat bakat besar dalam dunia puisi Indonesia mutakhir ini di media massa bernama facebook, sebuah media maya yang konon sangat popular setelah kemenangan presiden amerika barac obama, yang kemenangannya sebagai presiden pun ditempuh juga melalui kampanye yang gigih melalui facebook.

Jehan selalu, nyaris tiap hari, mengumumkan puisi puisinya di notenya di facebook. Dalam suatu malam chating, ia mengaku menemukan jalan hidup di dalam puisi. Dengan menulis puisi, begitu katanya yang saya kutip dari ingatan, hidupnya menjadi lebih ringan dan lebih berarti. Seakan ada yang menunggu dirinya untuk dikerjakan. Yakni menulis puisi. Dan memang puisi selalu berlahiran dari tangannya.

Salah satu puisinya seolah menjawab dengan telak ke mana hidup ini hendak kita tempuh. Yakni hidup seperti busur angin judul puisinya. Mata panah terlepas dari busur. Tapi yang terlepas dari busur kini bukan mata panah tapi angin. Angin sebagai sesuatu yang tak terduga dan angin sebagai yang hendak kemana dirinya akan bertiup. Hidup sebagai busur angin adalah hidup yang terbuka ke arah arah mana yang ditunjuk oleh hidup itu sendiri. Maka hidup seperti larik larik dalam puisi jehan:

“berjalan ke barat mengarak awan
merangkak ke utara menggiring bintang
tertatih ke timur meninggalkan bulan
melayang ke selatan menjemput kunangkunang”

Setelah arah arah ditempuh, harapan juga yang hendak dijemput yakni harapan yang seolah berlubang kecil di tengah tengah semesta seolah sebuah titik yakni kunang kunang. Awan, bintang dan bulan, seolah patok, seolah peta untuk menjenguk ke balik harapan yakni titik cahaya kecil seolah kunang kunang. Sesuatu yang dijemput oleh sang penyair dengan merekakan dirinya “menyulam petala, saling merajut, lalu mengangkasa”.

Kunang kunang, yang di dalam puisi nirwan dewano jantung lebah ratu, yang memenangkan lomba Khatulistiwa Award, adalah mahluk yang dilahirkan oleh “sebutir telur malam”, yang diberi sang penyair bobot “meninggi, terus meninggi”, sampai pada suatu titik puisi menjadi labirin sekali makna maknanya, sampai ke tangan penyair jehan dibaliknya dengan bobot sederhana sebagai penunjuk jalan jalan harapan dari semesta yang “berbusur angin”.

Maka tampak sebuah relijiusitas dari seorang yang mencari makna hidup dengan mempertanyakan arti langkahnya dengan memakaikan benda benda alam: awan, bintang, bulan, kunang kunang, dalam sebuah upaya yang membumbung sampai ke angkasa. Menghidupan ke dalam puisi kebajikan yang datang dari sebuah kitab: tembuslah langit itu bila kau sanggup menembusnya dan berjalan jalanlah kamu di muka bumi mencari karunia tuhanmu.

Bahkan ketika penyair ini mempertanyakan sisi sisi gelap dari mereka yang menempuh “busur angin”, ke dalam sebuah kisah puisi yang bertolak dari relasi manusia pendosa, dunia kelam dari hubungan lelaki dan perempuan pun dibasuhnya ke dalam semacam dosa samar samar dari sebuah adegan ranjang samar samar, adegan yang menyisakan pilu dan pedih di hati sang aku lirik berjenis kelamin perempuan dalam puisi.

Itulah kisah sang penyair dalam puisi yang berjudul “sajak luka”. Sajak luka yang samar samar mensyiratkan pasangan suami istri yang berbicara tentang luka lama sang istri. Luka lama sang istri di mana sang suami hendak menjahitnya dan memasangkan baju semacam iman baru kepada sang istri.
Dalam puisi sajak luka ini terkuaklah sebuah dialog yang renung dari sebuah ruang yang dikuakkan luka lama, di mana semacam kepasrahan dan keikhlasan yang datang dari rasa kasih dan sayang sang lelaki membuat dialog di antara mereka menjadi semacam menjahit luka yang indah, getir dan pedih tapi indah karena kualitas sang penyair memainkan larik larik dalam puisi seolah puisi atau kisah dalam puisi sampai ke telinga atau diucapkan oleh kedua aku lirik dalam puisi seakan nyanyian.

Nyanyian dari sebuah luka yang terbuka kembali tapi mereka berdua dengan dengan semacam kesedihan terpendam menutupnya perlahan pelahan, dalam dialog yang mengendap di mana kasih di antara mereka seakan membuka dan menutup luka lama dari “sayatan sejarah” itu. Dan segera nampak sebuah kisah “pornografi” dalam puisi dapat menempuh rute rute lain dari rute rute yang telah ditempuh oleh cerpenis lanfang dalam dunia cerpennya misalnya, tapi sebuah rute yang lebih mendekat kepada dunia cerita larunduma dalam cerpen la ode wulan. Saya kutipkan penuh puisi yang menarik ini, puisi dengan kesakitan dan kesalahan yang terasa begitu sublim bermain dan mengendap dalam larik larik puisi.

“luka apa ini?”
“Ah” akhirnya kau lihat juga luka itu
Padahal sudah kututup rapat dengan lemakku?

Sajak Luka

tadi malam dia bertanya padaku “luka apa ini”…ditelanjangku padanya
ah….akhirnya kau lihat juga luka itu
padahal sudah kututup rapat dengan lemakku
aku hidup bersama luka ini, hingga lupa waktu, tak kuingat lagi sakitnya
mencoba berdamai, sia-sia
kuingat si pendosa itu di sisa kopi dan baju kuning kesukaanya

tadi malam…kau raih aku dalam pelukmu, hilang sadarku

pagi ini…kulihat bekas darah di kutang biru pemberianmu
hangatmu sambut sadarku….
bekas jahitan apa….sayatan pisau sejarah
apa yang kau lakukan dengan lukaku sayang?

katamu
“sudah kuhapus luka itu”
“luka dalam masa kelammu”
“sudah kujahit bekas sayatan itu”
“mau kupakaikan baju kuning kesukaanmu”

jawabku
“masih basah bekas jahitmu, biar dulu kering dia”
kau tersenyum
“senyum itu…ingatku pada senyum di wajah pendosa,
malam itu di hotel bintang 3 bernuansa eropa”
“wajah itu….wajah yang membawa ke neraka bersama sejuta gembala cinta’

masih basah bekas jahitmu, biar dulu kering dia
kunikmati lagi kenangan luka ini
dalam memori tak terperi

Puisi jehan ini seperti pornografi yang berwatak kekerasan juga dalam puisi lastri di abad pertengahan penyair krisandi dewi, yang mencuatkan relijiusitas dari nasib akan kematian dan kekerasan di dalam puisinya:

“Tapi Lastri telah mati. Badan rampingnya remuk diamuk tronton tadi pagi.
Sebelah tangannya yang nakal, entah kiri atau kanan,ditemukan tersangkut pada gerobak sapi, di roda belakang.”

Kekerasan yang terbaca sebagai satire dalam puisi helga saat membuat kontemplasi atas ulah media akan musibah yang menimpa penduduk situ gintung ? musibah dari jebolnya sebuah bendungan:

Kepada situ gintung yang tersinggung

Hari Ini Aku Mengetahui Kau Lebih Jauh Lewat Jualan-jualan Media Yang Beramai-ramai Menjelaskan Riasanmu Yang Begitu Menor Yang Membuat Aku Dan Berjuta-juta Penyimak Media Ternganga-nganga

Bibirmu bergincu nyawa dan air mata

Apa yang hendak saya katakan dengan penelisikan intrinsik kepada para pengarang muslimah tersebut adalah bahwa selalu relijiusitas bercabang dua, dari cabang cabang yang diimani oleh para penulis forum lingkar pena, yang menarik relijiusitas dari kosa kata atau idiom idiom langsung dari kitab suci semacam ucapan bismillahirrohmanirrohim, alhamdullilah atau allahu akbar. Seperti misalnya terbaca dengan jelas dalam serial yang diterbitkan penerbit forum lingkar pena.

Dan selalu pada akhirnya relijiusitas pengucapan seperti itu kita akan menghitung dari kedalaman maknanya dan keindahan dunia ceritanya. Seni, seni sastra, agaknya memang terberi untuk kedua aspek itu.

Kalau kita membaca novel cala ibi nukila amal, relijiusitas datang dari pecahan pecahan saat sang novelis menjadikan novelnya ke dalam pengucapan kisah novel berbentuk lambang lambang dari dunia daun.

Saya kutip pembuka novel itu.

“Bapakku anggrek bulan, putih dari hutan. Ibuku mawar merah di taman, dekat pagar pekarangan. Bertemu suatu pagi di pelabuhan. Melahirkankanku. Bayi merah muda kemboja. Bunga kuburan.” Sebuah pembukaan dari dunia prosa yang berwatak puisi. Puisi yang memiliki ciri ciri prosa. Puisi dan prosa yang jelas memiliki dimensi relijiusitas tinggi dalam dirinya.

Saya belum menghitung apakah pembukaan semacam itu semacam pengejut dari dunia novel, atau apakah pembukaan semacam itu akan meresap ke dalam tubuh novel, menjadi sebuah strategi tekstual di mana ia bukan sekedar pengejut bagi pembacanya, tapi sebuah dunia yang memang diniatkan menjadi isi dari novel: dunia perlambang yang hidup terus dan kelak akan menyebar ke pecahan pecahan cerita.

Tapi saya tahu dengan cara seperti itu, novel nukila memang telah meliuk dari, misalnya, cara cara iwan simatupang menancapkan relijiusitas novelnya melalui monolog atau aksi aksi aneh dari tokohnya, tokoh kita dalam ziarah dan tokoh kita dalam merahnya merah.

Dengan mengambil beberapa representasi itu, maka bisalah kita simpulkan bahwa pada pengarang muslimah dewasa ini, relijiusitas dalam karya karya mereka makin menguat dengan beragam ragam pengucapan. Dan nampaknya, pengucapan dominan adalah pengucapan dari mereka yang melakukan penulisan tanpa harus bersandar atau menyandarkan diri ke dalam nilai nilai formal dari sebuah kitab suci. Seperti yang menjadi trend yang nampaknya merupakan strategi literer itu, di dalam mereka yang tergabung dalam forum lingkar pena. Tapi tentu saja tidak semuanya. Seperti helvi tiana rosa sendiri, atau aida yang sudah saya kutip di dalam kertas kerja utama saya itu, melakukan pengucapan yang “cair” juga dari nilai formal kitab suci itu.

***

Leave a Reply

Bahasa ยป