Mohamad Ali Hisyam*
http://www.jawapos.com/
Sambung-sinambung gagasan dalam tulisan Muhidin M. Dahlan, Saatnya Bikin Buku TV (Jawa Pos, 29 Juni 2008) serta esai Azrul Ananda, Newspaper is Dead (Jawa Pos, 1 Juli 2008), menjadi seuntai benang merah dari asumsi mendasar bahwa masa depan dunia cetak, termasuk di dalamnya dunia perbukuan, saat ini sedang berada di persimpangan. Jauh sebelum itu, harian inilah yang pertama kali memperkenalkan kesimpulan bernada ramalan ini ke tengah publik.
Beberapa tahun silam Dahlan Iskan, Chairman Jawa Pos Group, telah meramalkan ihwal meningginya konsumsi kebutuhan manusia modern terhadap teknologi digital bakal berimbas secara signifikan pada menurunnya daya tahan dunia percetakan. Orang sudah demikian dimanjakan oleh peranti teknologi yang mampu menyuguhkan pelbagai keperluan praktis dalam bentuk yang instan secepat kilat. Sementara kian mahalnya biaya operasional percetakan serta menipisnya stok bahan mentah kertas menjadi alasan rasional dari mulai berpalingnya kalangan media dari dunia percetakan. Usia dunia percetakan pun diprediksi akan segera berakhir.
Hasil temuan Johan Gutenberg (mesin cetak) dan Tsai Lun (pengolahan kertas) kini semakin tergilas oleh mobilitas dunia digital yang kian akurat dan supercepat melayani keinginan masyarakat. Walaupun setidaknya dalam beberapa tahun ke depan, peran dan kebutuhan terhadap media cetak semisal koran, majalah, dan buku, masih belum tergantikan secara drastis. Artinya, media-media berbahan dasar kertas sementara waktu masih tetap menjadi penyuplai utama bagi nutrisi informasi dan kudapan ilmu pengetahuan ke hadapan khalayak.
Hal penting yang perlu direnungkan bersama dari realitas semacam ini, apakah lahirnya peranti teknologi berdampak pada tergerusnya dunia literasi? Rasanya kekhawatiran semacam ini serta-merta akan terjawab dengan tandas manakala belantika keilmuan masih setia melahirkan karya. Goresan ide para penulis yang tiada pernah habis akan berkembang beriringan dengan laju teknologi. Tulisan kemudian dikemas dalam bentuk yang lebih simpel dan fleksibel berupa file-file di dunia maya yang tak memakan banyak ruang. Dulu mungkin hampir tak pernah terlintas di bayangan bagaimana berjuta-juta arsip mampu dikemas hanya dalam sekeping mungil flashdisk ataupun sekotak kecil laptop. Tapi mozaik digital dengan cerdas mewujudkan kemustahilan tersebut menjadi kenyataan. Dengan demikian, masyarakat literasi -meminjam istilah Habiburrahman El-Shirazy, penulis novel Ayat-ayat Cinta- rasanya tak perlu cemas berlebihan.
Solusi yang kemudian ditawarkan Muhidin berupa upaya dirintisnya buku TV sebagai hasil kolaborasi kreatif antara jagad kepenulisan dan telekomunikasi, terasa cukup menarik, walaupun tentu masih menyisakan sejumlah tanda tanya penting: antara lain, apakah dalam waktu dekat ini, di tengah hunjaman kapitalisme dunia hiburan, masih adakah pengusaha media yang peduli terhadap keberlangsungan jagad keilmuan (literer) dengan menghibahkan (sebagian) waktu dan dananya untuk membentuk jaringan buku TV? Lebih jauh lagi, butuh digagas secara serius apakah suguhan yang akan dihadirkan oleh kanal semacam ini dalam jangka waktu lama akan bertahan dan berhasil menggaet animo publik yang cenderung lebih gandrung pada aneka tontonan berbau intertainmen dan mistik, yang secara diametral kerap berseberangan dengan ruh keilmuan literer.
Tak dapat dimungkiri bahwa selama ini fasilitas digital masih merupakan barang mahal dan mewah. Hanya sedikit saja kelompok masyarakat yang mampu secara leluasa mengakses langsung ke jantung dunia maya. Walaupun banyak pihak, termasuk pemerintah, sudah berusaha keras untuk memompa semangat dan memperbanyak ruang bagi ketersediaan akses menuju wilayah cyber, antara lain berbentuk pemasangan fasilitas hot-spot di banyak tempat strategis. Belum lagi lumpuhnya kemampuan untuk melek teknologi yang dimiliki masyarakat kita. Bukan sekedar gagap, tapi masih banyak masyarakat yang awam teknologi sehingga kesadaran berteknologi mereka masih belum kunjung beranjak dari titik nol. Memang sempat merebak optimisme ketika beberapa acara TV seperti The Oprah Winfrey Show ataupun Kick Andy berupaya memulihkan kognisi publik untuk berakrab-ria dengan dunia buku, namun hingga sekarang porsi dari acara kreatif itu masih sangat kecil dibandingkan berbuntal-buntal acara yang menyajikan hiburan instan.
Tak ada kelirunya memang kita berandai-andai untuk membangun ”arsitektur” dunia pustaka kita ke depan dengan beragam konsep yang ideal. Hanya saja, berkaca dari fenomena lambatnya dinamika kesadaran literer yang memayungi masyarakat Indonesia tersebut, barangkali yang mutlak harus dilakukan adalah memperluas kesempatan dan mempersegar ruang perbukuan yang selama ini telah perlahan tumbuh dan bergerak. Bila beberapa waktu lampau, di rubrik ini pernah menghangat wacana pentingnya keberadaan para blogger dan milis perbukuan, hal itu perlu terus dipertahankan. Jika perlu dikreasikan secara cerdas dan inovatif.
Sudah saatnya kini para penulis dan praktisi perbukuan untuk go blog, bergegas melangkah ke dunia maya dengan cara sedemikian rupa menciptakan situs pribadi atau komunal bernama blog. Kalau blog serta ruang milis beraroma buku selama ini hanya didominasi para kutu buku dengan serakan resensi serta gumaman kekaguman atau umpatan kekesalan pada buku-buku tertentu, maka telah waktunya penulis buku turut bergerak dalam langkah yang sama, yakni memanfaatkan bilik internet untuk berdialog lebih dekat dengan pembaca.
Di bilik tak bertepi inilah, penulis bisa berpromosi seputar buku barunya, misalnya, atau urun rembug lewat e-mail dengan calon pembaca yang menginginkan sumbang usul perihal kisi-kisi tulisan tanpa intervensi yang berlebihan.(*)
*) Pengajar Universitas Trunojoyo, relawan di Balai Buku Bangkalan.