Benderang dalam Cahaya Asketisme

J. Sumardianta*
http://www.jawapos.com/

Judul buku: Membuka Pintu Bagi Masa Depan (Biografi Sartono Kartodirdjo)
Penulis: M. Nursam
Penerbit: Kompas, Jakarta
Cetakan: Maret 2008
Tebal: xviii + 382 Halaman

”L’uomo misura il tempo e il tempo misura l’oumo (Manusia mengukur waktu dan waktu mengukur manusia)”. Hanya manusia yang dapat memaknai waktu. Waktu pun menakar manusia. Dalam busur waktu manusia membentuk dirinya. Manusia, sebagai penghayat nilai, mampu menimbang perjalanan masa lalunya. Sebuah mata rantai panjang pencapaian makna kebersejarahan. Manusia bergulat dengan nilai-nilai yang dihayati dengan segala konsekuensi dan pengorbanannya. Pun belajar dari pengalaman orang lain bagaimana menjaga mata rantai kebersejarahan tetap di jalur tujuan-tujuan mulia.

Ungkapan bangsa Italia di atas merupakan aforisma yang pas buat mengapresiasi buku biografi almarhum Prof Dr Sartono Kartodirdjo. Mendiang Sartono memang tipe ideal universum humanis yang selalu berkibar dalam merebut makna kekinian dan keakanan kemanusiaan lewat sejarah. M. Nursam, melalui buku Membuka Pintu bagi Masa Depan, mengisahkan kehidupan Sartono Kartodirdjo dalam mengarungi jagat sejarah nan tiada bertepi.

Sartono, begawan sejarah banyak menyaksikan perubahan zaman –dari zaman kolonial, pendudukan Jepang, revolusi kemerdekaan, demokrasi liberal dan terpimpin, Orde Baru, hingga reformasi. Pada 1953, sewaktu bekerja sebagai guru di SMA Ursula Jakarta, diramal Dodemond, Sartono akan banyak melakukan perjalanan, menghadapi sekumpulan orang terkemuka, dan beranak dua. Ramalan orang tua murid itu memang benar adanya.

Biografi ini membabak pergeseran jalan hidup Sartono dalam tiga kisaran. Pertama, Sartono bergeser dari lingkungan sekolah umum HIS di Wonogiri dan MULO di Surakarta ke lingkungan pendidikan klerikal-keagamaan (HIK Bruderan Muntilan). Kedua, mobilitas kehidupan dari kalangan biara-kerohanian ke lingkungan awam sebagai guru TK, SD, SMP, dan SMA di Muntilan, Salatiga, Ambarawa, Jogjakarta, dan Jakarta.

Ketiga, Sartono kuliah di UI, melanjutkan studi master ilmu-ilmu sosial di Yale, AS, dan meraih gelar doktor sejarah petani di Amsterdam Belanda. Sejak 1957, Sartono menyandang profesi sebagai dosen, sejarawan, peneliti, dan ilmuwan.

Sartono berasal dari lingkungan keluarga bersahaja nun di desa pedalaman Wonogiri, Jawa Tengah, menjulang sebagai ilmuwan sosial-humaniora dengan reputasi internasional. Lahir 15 Februari 1921 dari pasangan Tjitro Sarojo dan Satija, kerani Jawatan Pos dan Telekomunikasi di zaman kolonial. Kegemaran membaca dibentuk Pak Puspo. Kegandrungan menulis dibangun Pak Sukoco (ayah almarhum novelis Umar Kayam). Pak Subardi menjadikan Sartono Poste d’Amour (pengantar surat cinta) untuk kekasih gurunya yang mondok di lingkungan keluarga Tjitro Sarojo. Ketiga guru di bangku HIS inilah yang menanamkan kesenangan obsesif pada Sartono untuk kelak berprofesi guru.

Gaya hidup bersahaja dan kepekaan terhadap kehidupan rakyat jelata terasah berkat pengaruh Malaise (1929-1932). Runtuhnya harga saham di Wall Street tidak hanya membuat perekonomian Amerika dan Eropa limbung. Pun menjerat petani gaplek di sekujur Wonogiri dalam depresi ekonomi. Kesulitan ekonomi yang melilit keluarga menyebabkan ibunya menjual perhiasan. Pada usia 12 tahun menjadi piatu ditinggal ibunya wafat dipagut tumor kandungan. Ayahnya menikah lagi sedangkan Sarsini dan Sarsiyem, saudaranya, sudah masuk biara sebagai calon suster di Semarang. Sartono pun di usia sangat belia terbiasa mengalami krisis dan harus belajar hidup mandiri dalam ketergantungan. Ketergantungan kepada sang penyelenggara kehidupan. Buku doa favoritnya Imitatio Christi (Napak Tilas Podo Dalem Gusti) karya Thomas Kempis, rahib pertapa yang hidup di Eropa pada abad pertengahan.

Di HIK Xaverius Muntilan (1936-1941) Sartono seangkatan dengan komponis Cornelis Simanjuntak. Guru-guru di sekolah calon guru ini sangat mahir dalam olah vokal dan orkestra. Sekolah yang dikelola para padri Jesuit dan Bruder dari Maastricht, Belanda, ini menekankan para murid hidup disiplin, rasional, kritis, solidaritas, kesetiakawanan, dan kemandirian. Di sini Sartono mencuci pakaian dan membersihkan tempat tidur sendiri. Kemandirian dan kedisiplinan telah melekat dalam kepribadian Sartono sejak muda.

Di Wonogiri Sartono mendapat pengaruh kuat Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV, yang didendangkan bapaknya dalam tembang macapatan, sebagai dongeng menjelang tidur. Di Muntilan, Sartono terbiasa melahap novel-novel seperti Karl May, Indian Winnetou and the Last Monkeys. Di Muntilan pula, Kartodirdjo, leluhur ibunya dari garis Amangkurat IV, disematkan sebagai nama kedua.

Orang tua mulai sakit-sakitan. Dua adik tiri menanti uluran bantuan. Dua alasan itulah yang membuat Sartono keluar dari biara. Sartono, November 1941, mulai mengajar di HIS swasta di Salatiga. Ketemu Sri Kadaryati, calon istri, pada malam perayaan hari Kartini 1946. Pengantin revolusi ini menikah 6 Mei 1948 di Gereja Muntilan.

Pada 1950, bersama istri dan anak pertama berumur 1 tahun, menumpang kapal laut bertolak ke Jakarta dari Semarang. Oktober 1950 terdaftar sebagai mahasiswa Geschiedenis Richting (jurusan sejarah) UI. Sartono sebatang kara di jurusan sejarah. Sebagai mahasiswa tunggal ia disarankan pindah ke jurusan sosial ekonomi. Kendati tinggal di dekat bioskop Pasar Baru tak sekalipun Sartono pernah nonton film. Ia lebih banyak menyimpan diri di rumah untuk membaca. Kalau ingin membeli buku istrinya diajak dulu ke toko kebaya agar di toko buku Sartono bisa leluasa memuaskan kesenangannya.

Lulus sebagai sarjana sejarah pertama UI dengan skripsi perbandingan masyarakat abad pertengahan dan masyarakat modern Eropa di bawah bimbingan Prof Berling. Hasrat keagamaan Eropa yang memuncak pada abad ke-13 menghasilkan jiwa terbelenggu. Sedangkan kebudayaan modern menghasilkan kehendak bebas jiwa manusia. Titik kisar Sartono selama pendidikan di Muntilan bisa dianalogikan sebagai menjalani kehidupan ”abad pertengahan”. Kehidupan sebagai guru, setelah menikah, kuliah di UI, Yale, dan Amsterdam bisa diibaratkan sebagai ”abad modern”.

Kali pertama ke luar negeri ia mempresentasikan paper Some Problems on the Genesis of Nationalism in Indonesia awal 1961 di Singapura. Di sinilah Sartono bertemu Hari Julien Benda, calon gurunya. Sartono berangkat ke Yale, Amerika, bersama istri pada September 1962 dalam atmosfer kegairahan ilmu-ilmu sosial yang sedang mendidih di Barat. Kedua anaknya dititipkan mertua di Semarang. Beasiswa dari Rockeffeller Foundation hanya untuk biaya hidup suami-istri. Jangankan bawa anak, waktu itu beli kopor saja kesulitan. Sartono sejak awal senantiasa harus berkorban dan mencukupkan diri dalam segala keterbatasan.

Agustus 1964 Sartono ditemani istri pindah sekolah ke Belanda sesudah dua tahun mendalami studi Ilmu-ilmu sosial di Amerika. ”Uripe manungsa pinasti dening pangeran (De mens wikt, God besdhikt)”. Dalam kondisi retina mata sudah mengelupas, praktis sejak 1957 hanya bisa melihat dengan satu mata, Sartono mempertahankan disertasi Pemberontakan Petani Banten 1888 pada 1 November 1966.

Kota Cilegon menjadi dikenal dunia internasional berkat disertasi Sartono. Sesudah 22 tahun promosi doktor, pada 1988, Sartono baru berkesempatan mengunjungi Serang, Banten, menghadiri peringatan satu abad pemberontakan petani Banten. Sartono sangat berkesan dielu-elukan banyak orang, terutama dua cucu KH Wasid, pemimpin pemberontakan itu.

Bermarkas di UGM, Sartono telah menghasilkan murid-murid yang tersebar di pelbagai pelosok Nusantara. Ia adalah hulu balang mazhab Bulak Sumur. Sartono telah membuka jalan bagi para murid mengembangkan karir intelektual. Ia sangat menghargai perbedaan pendapat.

Prof Dr Bambang Purwanto, murid Sartono di UGM, mengatakan, tradisi historiografi Indonesiasentris yang dipelopori Sartono gagal menghadirkan masa lalu rakyat yang optimal, sejarah sehari-hari, sejarah manusiawi, keragaman eksplanasi, dan epistemologi karena tidak mampu lepas dari jerat sejarah politik kolonial. Bahkan, Pemberontakan Petani Banten 1888 belum bisa terbebas dari dominasi kolonial dalam historiografi Indonesia pascakolonial.

Sartono, dalam fase perjalanan hidup, sering dihadapkan pada pelbagai pilihan profesi: birokrat, pegawai Deplu, dan politisi. Tapi Sartono memilih panggilan hidup sebagai guru. Ia pernah menjadi guru dari TK sampai program S3. Karir Sartono benderang dalam cahaya asketisme. Ia menghayati hidup dan profesinya sebagai panggilan untuk melakukan askese (mati raga) intelektual sebagaimana diamanatkan serat Wedhatama Mangkunegara IV –ketekunan, ketabahan, kegigihan, kecermatan, ketuntasan, dan kewaspadaan. Hidupnya dilambari spirit kebersahajan dan ugahari.

Proyek penelitian biografis yang dikerjakan Nursam, alumnus Jurusan Sejarah UGM, telah dimulai sejak tujuh tahun lalu. Biografi ini disusun berdasarkan dokumen perpustakaan Sartono, wawancara mendalam dengan tokoh yang ditulis berikut keluarga dekat dan kolega. Jauh, sebelum wafat pada 7 Desember 2007, mendiang Sartono telah berulang kali menagih terbitnya biografi ini. Memang akan terasa lebih bernilai dan bermakna apabila sebelum mangkat sang begawan sempat membaca buku ini.

Kesalahan ketik yang bertaburan di sekujur bab, akibat ketergesa-gesaan dalam memasak naskah akhir, karena desakan kejar tayang untuk peringatan 40 hari berpulangnya sang begawan, tidak mengurangi bobot refleksi dan kedalaman substansi biografi. Keputusan Sartono memilih Nursam untuk mengerjakan biografinya tepat. Biografi tokoh brilian hanya bisa dikerjakan penulis dahsyat dengan nafas pelari maraton. (*)

*) Guru sosiologi SMA Kolese de Britto Jogjakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *