Berthold Damshauser: Sastra Indonesia Kurang Dikenal

Berthold Damshauser
Pewawancara: Seno Joko Suyono, Ibnu Rusydi
korantempo.com

Ia menjepit rokok dengan telunjuk dan jempol tangan kanan. Di sela-sela kalimat-kalimat Indonesianya yang lancar, ia mengisap kretek A Mild itu dalam-dalam. Berthold Damshauser, 52 tahun, adalah salah satu ahli sastra Indonesia di Jerman yang tersisa. Sejak 1986, dia menerjemahkan sastra Indonesia ke bahasa Jerman dan sebaliknya.

Ia datang lagi ke Jakarta sebagai pendiri Komisi Indonesia-Jerman dalam bidang bahasa dan sastra. Pada Oktober 1996, Kanselir Helmut Kohl berkunjung ke Indonesia. Saat itu disepakati dibentuk komisi bilateral Indonesia-Jerman dalam bidang bahasa dan sastra. Sayangnya, komisi itu bertepuk sebelah tangan. Hingga kini hanya pihak Jerman yang aktif.

Senin sore lalu, wartawan Tempo, Seno Joko Suyono dan Ibnu Rusydi, serta fotografer Panca Syurkani menemui Damshauser. Ia bercerita mengenai betapa sastra Indonesia sesungguhnya marginal di dunia.

Bisa Anda ceritakan Komisi Indonesia-Jerman ini?

Komisi ini dibentuk oleh mantan Kanselir Helmut Kohl dan mantan Presiden Soeharto. Komisi ini bertujuan menyebarkan sastra Jerman di Indonesia dan sastra Indonesia di Jerman. Tapi cuma pihak Jerman yang berupaya mewujudkan cita-cita komisi itu. Indonesia masih pasif. Saya harapkan pihak Indonesia mau bergerak.

Apa produknya?

Saya telah menerjemahkan puisi Paul Celan, Bertold Brecht, dan Goethe. Kini saya sedang menerjemahkan puisi-puisi Nietzche, Zarathustra. Saya kini juga menyiapkan antologi puisi penyair Indonesia periode 1980 hingga 2005. Ada 10 penyair dalam antologi itu. Ini bakal diterbitkan oleh Pusat Bahasa Indonesia.

Tahun depan saya berencana akan membawa delegasi penyair Indonesia ke Jerman. Mungkin ini pertama kali delegasi penyair diutus negara. Perkenalan kebudayaan jangan dengan tarian melulu, tapi dengan aksara. Sudah saatnya Indonesia membuktikan kepada dunia mempunyai budaya modern, khususnya budaya aksara. Saya harap Pusat Bahasa bisa mencarikan sponsor.

Sudah berapa novel Indonesia yang diterjemahkan dalam bahasa Jerman?

Mungkin (total) sekitar 25. Sekitar 6-7 karya Pram (Pramoedya Ananta Toer), Umar Kayam, Ayu Utami, dan Oka Rusmini.

Bagaimana tanggapan masyarakat Jerman atas novel Indonesia?

Harus diketahui bahwa sastra Indonesia di Jerman terbit di penerbit kecil. Buku-bukunya tak muncul di toko-toko. Tirasnya hanya 1.000-2.000, jelas tidak laris dan jarang dibicarakan kritikus terkenal di harian nasional Jerman ternama, seperti Frankfurt Allgemeine Zeitung. Terjemahan novel Ayu Utami, misalnya, belum banyak tanggapan. Bahkan karya Pram tidak diresensi dari segi sastra, tapi lebih kepada dia sebagai korban politik Orde Baru.

Bukankah Pram saat bertemu Gunter Grass mendapat perhatian besar media di sana?

Oh tidak, sama sekali tidak.

Dibanding novelis Afrika atau Asia lain, Indonesia bagaimana?

Cina dan Jepang agresif memperkenalkan sastranya. Juga India dan Korea. Turki dengan sendirinya dilirik karena Orhan Pamuk meraih Nobel. Sastra Amerika Latin bahkan best seller. Dengan Vietnam saja, Indonesia masih kalah.

Bagaimana kajian sastra Indonesia di universitas di Jerman?

Ada perkembangan yang merisaukan. Jurusan-jurusan itu digeser program studi baru, yaitu studi kawasan. Akibatnya, pengkaji sastra Indonesia berkurang, diganti oleh ahli etnologi, antropologi, dan ekonomi. Bahasa dan sastra hanya jadi pelengkap pengetahuan para ahli kawasan, misalnya kawasan Asia Tenggara.

Di Bonn dulu, misalnya, ada program studi penerjemahan yang saya pimpin selama 20 tahun. Namun, sekarang tak ada lagi. Bahkan kini saya jadi abdi untuk (studi) kawasan itu. Dulu masih ada mahasiswa saya yang menulis skripsi tentang sastra Indonesia, sekarang tak ada lagi.

Di Jerman, sekarang Anda sendirian menekuni sastra Indonesia?

Di Bonn, ya. Di Koln dan Hamburg mungkin masih ada (penggiat lain).

Bagaimana Anda melihat fenomena meledaknya novel populer Indonesia?

Saya baca Ayat-ayat Cinta tahun lalu. Saya tergiur membaca novel ini. Sebab, ada yang menyebut novel ini layak dinominasikan Nobel karena mengembangkan sastra Islami. Pada 10-20 halaman pertama, novel ini mengalir tanpa kerikil, tapi gaya bahasanya sangat pop.

Yang mengganggu saya adalah penggambaran hitam-putih si tokoh pemuda Indonesia di Mesir, seperti insanulkamil. Sempurna betul. Dia berpoligami untuk menyelamatkan perempuan Koptik yang mencintainya. Saya terganggu pesan utama novel itu bahwa yang bisa masuk surga cuma orang Islam. Saat si perempuan Koptik itu sakit, ia bermimpi melihat sebuah gedung indah. Banyak orang berpakaian putih masuk, tapi dia dihalangi.

Itu merupakan sikap eksklusif yang agak berlebihan, sama sekali tak sesuai dengan jiwa rakyat Indonesia. Saya sempat ceritakan novel ini kepada seorang teman di Jerman. Dia katakan ini pelecehan terhadap Tuhan. Mengapa? Sebab, novel ini membayangkan Tuhan menerima makhluknya berdasarkan semacam KTP.

Bagaimana Anda membandingkan penyair mutakhir Indonesia dengan penyair Jerman?

Sastra Jerman berkembang sangat gemilang sejak ratusan tahun lalu. Puisi Jerman sudah mencapai puncak luar biasa pada Goethe dan Nietzche. Di sekolah-sekolah juga diajarkan penulisan esai. Setiap penulis muda ada dalam tradisi yang sangat kaya itu. Para penulis di Jerman juga memiliki kemampuan beberapa bahasa. Saya melihat sastrawan (Indonesia) kurang menguasai bahasa-bahasa lain. Sastrawan Indonesia berkembang otodidak. Kalau boleh kritis, ini tak enak, mutu sastra Jerman rata-rata di atas mutu di sini.

Anda lihat peran negara penting untuk penyebaran sastra?

Ya. Di Jerman, misalnya, Departemen Luar Negeri wajib (memperkenalkan karya Jerman). Makanya didirikanlah Goethe Institute. Tugasnya menyebarkan kebudayaan Jerman.

Saya usulkan agar Indonesia membentuk Pusat Budaya Indonesia di Eropa. Pemimpinnya adalah budayawan, bukan birokrat atau diplomat biasa. Cina, misalnya, sudah mulai mendirikan pusat-pusat Konfusius. Indonesia sudah menganggap diri kebudayaannya penting, tapi tak menyadari bahwa sesungguhnya marginal. Wah!

***

Leave a Reply

Bahasa ยป