Catatan Seorang Munsyi

Judul buku : Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi
Penulis : Abdul Kadir Munsyi
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Ecole francaise d’Extreme- Orient
Halaman : 372
Buku 1: Kisah Pelayaran Abdullah ke Kelantan, Kisah Pelayaran Abdullah ke Mekah
Penyunting: Amin Sweeney
Peresensi: Evieta Fadjar
http://www.ruangbaca.com/

Abdullah meninggal di Mekkah–bukan di Jeddah sebagaimana diungkap beberapa teks.
Ya, ia Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, seorang sastrawan Melayu abad ke-19 yang menulis dengan gaya di luar pakem sastra waktu itu. Abdullah–kita ingat karyanya yang beken dalam pelajaran sastra, Hikayat Abdullah–sastrawan yang telah melangkah jauh melampaui zamannya: meninggalkan dongeng, mencatat kejadian-kejadian nyata yang disaksikannya layaknya seorang wartawan.

Abdullah orang penting dalam sastra. Munsyi artinya guru bahasa. Tapi masalahnya, adakah ia, sosok yang berayah Arab dan beribu Tamil itu, sampai ke “negeri” Mekkah? Amin Sweeney, seorang profesor emeritus pengkajian Melayu dari Universitas California, Berkeley, berkeyakinan begitu. Sementara itu, beberapa penulis, seperti Keasberry atau A.H. Hill, yang telah lebih dulu menerjemahkan dan menyunting kitab Hikayat Abdullah ke dalam bahasa Inggris, menyebutkan, Abdullah hanya sampai di Jeddah dalam perjalanan ke Mekkah.

Abdullah memang kontroversial. Amin Sweeney, seorang muslim asal Irlandia, menyodorkan bukti bahwa beberapa penulis telah mengubah-ubah tulisan Abdullah demi kepentingan politik, agama, dan bahasa asal yang bersangkutan. Filolog Keasberry, menurut Amin, bahkan mengubah gaya bahasa Abdullah.

Beberapa waktu lalu, di Jakarta, Amin meluncurkan bukunya, Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Isinya, edisi pertama Kisah Pelayaran Abdullah ke Kelantan pada 1838 dan edisi terakhir Kisah Pelayaran Abdulah ke Mekkah. Buku yang boleh jadi merupakan koreksi-atau kritik-atas teks-teks lain tentang Abdullah selama ini.

Amin Sweeney memulai proyek buku ini lima tahun lalu atas anjuran Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia. Ia menemukan edisi pertama Hikayat Abdullah dalam bentuk cetak huruf, bukan manuskrip atau tulisan tangan-temuan yang, tentu saja, mengejutkan.

Dalam penelusurannya, Amin mengaku sangat terbantu oleh buku karya Ian Proudfoot, Early Malay Printed Book, sebuah buku raksasa setebal 858 halaman terbitan Singapura-Malaysia. Buku ini menyodorkan banyak hal tentang sastra cetak awal di seluruh dunia. “Sayangnya, hanya menyangkut jajahan Inggris, padahal di zaman itu begitu banyak penerbitan,” kata Amin seraya mengacu periode boom penerbitan pada abad ke-19.

Kehadiran teks Abdullah dalam bentuk terbitan edisi cetak juga didorong oleh Alfred North, penyalin manuskrip menjadi versi cetak batu. Ia menerbitkan edisi awal penulisan Munsyi Abdullah, yakni Hikayat Pelayaran Abdullah. Tanpa North, syair tulisan tangan Singapura Terbakar (1830) mungkin terabaikan di perpustakaan negara Barat.

Abdullah memang sosok yang memukau. Ia diketahui pro-Inggris dan anti-Belanda. Menurut Amin, Abdullah tak mau karyanya diterbitkan dalam bahasa Belanda. “Tapi boleh dalam bahasa Prancis, supaya orang Prancis belajar bahasa Melayu,” kata Mu’jizah, dosen luar biasa Universitas Indonesia yang mengajar sastra Melayu.

Abdullah orang Melayu yang berbenturan langsung dengan kultur Barat, terutama Inggris. Bahasa Inggrisnya tidak begitu bagus, tapi ia ikut membantu menerjemahkan kitab Injil ke dalam bahasa Melayu. Abdullah memang menuai banyak kecaman dari khalayak Melayu yang menyimpan resistensi sangat tinggi terhadap kolonialisme Barat meski, di sisi lain, ia memperkenalkan banyak hal kepada masyarakat Melayu. Bahkan, menurut Mu’jizah, Abdullah juga telah dianggap sebagai Bapak Cetak Batu, sistem percetakan tradisional yang cukup modern di masanya.

Abdullah memandang kritis terhadap para sultan. Sebaliknya, sikap serupa jarang ditujukan kepada Inggris yang merupakan kawannya. Ya, ia juga adalah sosok yang mencoba bertahan pada sebuah musim: kolonialisme Inggris.

Leave a Reply

Bahasa ยป