Dendangan di Bawah Bambu yang Rindang

Uswatun Hasanah*
http://www.lampungpost.com/

KULUAPKAN segalanya di tempat ini. Sebuah tempat yang pernah menjadi saksi perilaku kejamku. Aroma tanah yang bersemilir, rumpun bambu yang rindang, daun, dan batang bambu yang bergemerisik ngilu. Gemerisik air sungai penambah haru, desau angin yang menerbangkan aku ke masa lalu.

Bagaimana kurasa semua itu terngiang kembali, permohonan Erika yang tak kukabulkan itu.

“Kumohon, John. Jangan lakukan ini, jangan bunuh aku. Aku masih ingin hidup.”

“Bila kamu masih hidup, seluruh dunia akan tahu kamu mengandung anakku. Bagaimana dengan karierku? Apa kata mereka…bahwa John Salimar artis terkenal itu menghamili gadis kampung sepertimu?!!”

“Baik, John. Anak ini akan kugugurkan. Tapi lepaskan aku.”

“Omong kosong! Sejuta kali niatmu menggugurkan bayi ini tidak pernah terwujud. Sampai kapan aku harus menunggu janin yang di rahimu ini mati? Sampai perutmu membesar kemudian semua orang tahu dan karierku akan hancur, begitu?”

“Kali ini aku berjanji, John.”

“Maaf Erika. Waktumu sudah habis.”

Tanpa pikir panjang, kuhabisi nyawa Erika di tempat ini. Bagaimana kulihat rintih kesakitannya. Wajahnya yang pasi, air mata yang leleh di pipi, darah segarnya yang mengalir. Kubiarkan ia tergeletak di bawah bambu-bambu yang rindang.

Keringat dingin mengalir walau hawa dingin menusuk kulitku. Bergegas kutinggalkan ia bersama jeringatan binatang malam yang menggema bersautan. Kuharap ia akan mati dan tidak ada seorang pun yang menemukan mayatnya.
***

Andai saja cinta kami yang terlarang itu tidak terjadi, mungkin akan lain ceritanya. Dua tahun aku mengenal Erika. Aku mengenalnya ketika saat itu aku dan kru pembuatan sinetron terbaruku mengambil tempat shooting di sebuah desa yang masih asri. Erika, putri kepala desa yang saat itu menjadi sorotan tajam pemuda di sana. Awalnya aku hanya mendengar lewat cerita pemuda-pemuda di sana tentang kecantikannya hingga akhirnya aku melihat sendiri.

Sejak pertemuan pertama, ia benar-benar membuatku terpana. Matanya yang sayu, kulitnya yang putih bersih, hidungnya mancung tanpa belokan, bibirnya tipis dan merekah. Benar-benar wanita sempurna. kudekati ia hingga pada akhirnya aku benar-benar mendapatkanya.

Entahlah, aku seorang aktor terkenal ini mengapa harus mencintai gadis desa seperti dia? Tak kupikirkan itu. Hingga malam itu harus terjadi. Dengan beribu macam rayuan mautku, akhirnya kurasakan keperawanannya.

Hingga akhirnya tak kami kira ada seonggok janin yang muncul dari rahim Erika. Erika memelas, aku harus bertanggung jawab. Tapi saat itu tidak mungkin aku harus membuat sensasi seheboh ini, menikah dengan gadis desa.

Kuambil keputusan agar segera menggugurkan janin yang di kandungnya. Harapanku itu tak pernah ia kabulkan. Ini memaksaku segera membunuhnya agar tidak seorang pun tahu berita busuk ini, yang nanti membuat karierku hancur. Setahun kemudian karierku hancur, setelah tepat setahun kejadian itu.
***

Aku bersama kelima sahabatku berniat menghadiri resepsi pernikahan seorang rekan kerjaku. Tak kusangka malam itu awal dari mimpi burukku.

Cuaca tidak mendukung, hujan deras disertai kilat tajam yang menyambar. Jalanan licin. Karena diburu waktu, kukendarai mobil dalam kondisi yang cepat. Hanya beberapa meter dari gedung resepsi pernikahan, mobil tak dapat kukendalikan.

Sepertinya sosok Erika berdiri di tengah jalan yang kami lewati. Kuputar mobil lebih ke kanan untuk menghindar. Hingga akhirnya mobil yang kukendarai menabrak sebuah truk tangki minyak yang saat itu sedang melaju kencang.

Kecelakaan itu tak dapat kuhindari. Dalam kecelakaan itu, tiga sahabatku meninggal. Syukurlah, aku dan dua sahabatku selamat. Walaupun begitu, kami mendapat siksaan lebih dari itu.

Salah seorang sahabatku harus kehilangan salah satu matanya. Salah seorang sahabatku lagi harus seperti orang gila karena terjadi benturan di bagian kepalanya. Sedang aku sendiri lebih menyedihkan; kedua tanganku harus hilang. Tak kulihat lagi jemari-jemari lentikku. Semua tinggal kenangan.

Tak ada lagi yang memerlukan aktor cacat sepertiku, tak ada satu sinetron pun yang aku bintangi.

Kugunakan sisa tabunganku seirit mungkin, aku sudah tidak memiliki penghasilan lagi.

John Salimar hanya tinggal kenangan. Sejak saat itu aku mulai berpikir mungkin semua ini ada kaitanya dengan masa laluku. Aku percaya, ada kaitanya antara masa lalu, masa kini, dan masa depan seseorang. Aku juga percaya dengan hukum karma dan sebab akibat.

Hingga pada akhirnya kuputuskan datang lagi ke tempat ini bersama seorang sahabat untuk mengantarkanku. Di bawah rindang pohon bambu, aku berjongkok, Inilah tempat yang kerap menyambangi lamunanku.

Bagaimana mungkin kulupakan tanah beberapa jengkal dari ujung sepatuku. Di sini pernah ada wanita cantik yang mati terbunuh. Entahlah, aku tidak tahu lagi kelanjutan dan kabar beritanya sesudah kematian Erika.

Apakah ada yang menemukan mayatnya atau mungkin mayatnya telah membusuk kemudian masuk tanah. Tak ada sedikit pun yang ganjil di sini. Tak juga ada penanda bahwa ada yang pernah meninggal di sini. Kuberdiri sejenak, kusapu butiran tahi kambing dan sampah kering yang berserak di tanah.
***

Tiga tahun berlalu. Namun aku belum bisa melupakan sosok Erika. Sepertinya dosa selalu mengejarku, menyuruhku mengakui semua kesalahan kemudian meminta maaf kepada keluarganya. Kubayangkan kembali wajah Erika dan permohonanya itu.

“Maaf kan aku, Erika.” Aku menelan ludah kecut.

“Sejak malam itu, baru sekarang aku menjengukmu. Aku akan terima jika semua musibah ini adalah balasan darimu. Aku menyesal sekali telah menyia-nyiakan kamu dan janin yang ada di rahimmu. Sekali lagi maafkan aku, Erika.”

Masih banyak yang ingin kudendangan di bawah bambu yang rindang ini. Namun, semua hanya menggumpal dalam hati tanpa bisa kuluapkan dengan kata-kata.

Entah sudah berapa lama aku termangu menatap bayangan tubuhku yang memanjang ke tanah. Sinar rembulan malam ini sangat berarti buatku. Hanya dengan cahayanya aku bisa kembali datang dan melihat tempat ini. Dapat kudengar desah napasku sendiri. Dengan punggung tangan kuseka butiran kristal bening yang menempel di bulu mata.

Tiba-tiba sahabatku menepuk pelan.

“Sudah tengah malam, John. Ayo kita pulang.”

Aku menggeleng.

“Sebenarnya apa yang ada di sini. Mengapa kamu begitu bersedih?”

Tak dapat kuceritakan padanya, apa yang terjadi. Biarlah semua ini kukubur dalam-dalam. Hanya menjadi kenangan burukku tanpa ada seorang pun yang tahu.

Saat bangkit, ratusan kunang-kunang berkerubung di pelupuk mataku. Aku menunduk.

“Maukah kau mengantarkanku di sebuah desa tidak begitu jauh dari tempat ini?”

Aku memintanya kembali mengantarkanku ke sebuah tempat yang akan membuat ganjalan di hatiku hilang.

“Baiklah.”

Sahabatku mengangguk, mungkin ia prihatin padaku. Tak dapat ia tolak permintaanku untuk kedua kalinya. Bergegas ia menstarter motor dan berlaju dari tempat bersejarah ini.

Di atas sepeda motor, air mata masih membanjiri pipiku. Kuhapus perlahan walaupun hanya dengan pundak tanganku, jari-jariku tak ada lagi.

Sesekali kuhadapkan wajahku ke belakang untuk melihatnya kembali. Sepertinya sosok Erika hadir di bawah puluhan bambu yang rindang itu. Ia memandangku, kemudian mengembangkan senyum manisnya.

Samar-samar kuartikan bibirnya seperti mengatakan sesuatu. Ah, tak dapat ku mengerti apa yang dia katakan. Masih kuperhatikan arah belakang walaupun tak kulihat lagi batang bambu yang menari itu.
***

Tiga jam berada di atas jok motor. Akhirnya aku memasuki wilayah, suatu desa yang asri. Kukenal betul desa yang masih asri ini. Kebun-kebun teh di sekitar menjadi saksi kisah indah percintaanku dengan Erika. Tak banyak perubahan yang terjadi di sini.

Motor berhenti di depan sebuah rumah yang dahulu sering kudatangi khususnya setiap malam Minggu, menemui seorang gadis yang ada di rumah ini. Tentu jauh-jauh ke sini ada suatu hal yang penting yang ingin kulakukan.

Pukul tiga lewat empat puluh lima menit. Sudah tidak pantas bertamu. Walaupun begitu, kuberanikan diri mengucapkan salam. Hanya beberapa kali ku ucapkan salam, lampu ruang tamu menyala. Tak lama, seorang lelaki tua membukakan pintu. Ya Tuhan…tak sanggup, katakan kejujuran ini. Mungkin akan menambah kesedihanya saja. Ia tersenyum dan menyuruhku segera masuk.

“Anda ini siapa ya? Sepertinya saya pernah mengenal Anda?”

“Saya, John, Pak. Bapak masih ingat?”

Tanpa mengundur waktu, kuceritakan segalanya yang terjadi. Aku ingin ia tahu segalanya. Apa yang terjadi dengan Erika? Siapa yang membunuhnya?

“Maaf kan saya, Pak. Saya menyesal sekali.”

Aku bersujud di telapak kakinya. Ayah yang malang di hadapanku ini hanya bisa diam. Sahabatku terpana memandangku, matanya berkaca- kaca. Tak dapat kuhindari tangisan getir itu.

Aku akan menerima konsekuensi apa pun yang nanti akan aku terima. Apakah aku harus di penjara seumur hidup? Hukuman mati? Atau mungkin dengan tangan ayah Erika yang akan membunuhku. Sejenak suasana menjadi hening.

“Nak, John. Sudahlah, lupakan semua. Bapak sudah dapat menerima kepergian Erika. Erika sudah berada di alam lain. Sekarang lupakan semua itu, anggap saja semua berlalu. Jangan diingat-ingat lagi luka itu. Permohonan maafmu sudah bapak terima. Sekarang, pergilah. Buka lembaran baru yang lebih baik.”

Betapa terharunya kudengar kata-kata seorang ayah yang malang ini. Begitu ikhlasnya ia membebaskan seorang pemuda yang telah mengambil nyawa anak gadisnya. Sebelum melesat pergi, kupeluk pundaknya erat. Berjuta kali ucapan terima kasih pun tidak akan mampu membalas kebaikannya.

Setelah surya datang, aku pergi dari rumahnya. Masih terlintas dalam khayalanku bagaiman sikap ayah yang bijaksana ini. Ya Tuhan…baru kali ini kutemuakan manusia seperti malaikat.

Baru kutahu dan dapat kusimpulkan bahwa jasad Erika telah ditemukan dan sudah dimakamkan.

Dalam perjalanan pulang, kuhela napas panjang. Batinku terasa lebih nyaman. Seperti ada beban berat lepas dari pundaku.

Baru kali ini kurasakan kepuasan batin yang tak terkira dari jiwaku. Kubayangkan di lamunanku, bagaimana Erika melihat ini semua. Aku yakin, ada hal lain yang masih tersembunyi di balik semua yang kulakukan.

*) Kini bersekolah di SMA Negeri 13 Bandar Lampung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *