Isbedy Stiawan Z.S.
lampungpost.com
Dunia sastra Indonesia kembali kehilangan salah seorang sastrawan terbaiknya. Hamid Jabbar meninggal saat mengisi Pentas Orasi Seni dan Budaya di Universitas Islam Negeri (UIN–dulu IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Sabtu malam (29-5), bersama Jamal D. Rahman, Putu Wijaya, Frans Magnis Suseno, dan Frangky Sahilatua. Acara itu sendiri merupakan rangkaian Dies Natalis ke-2 UIN.
HJ sebenarnya sudah berorasi, setelah Frans dan Putu. Ia membacakan orasi berjudul “Assalamu’alaikum”. Entah mengapa, boleh jadi permintaan terakhirnya, HJ meminta waktu pada panitia untuk membacakan puisinya setelah orasi penyair Jamal D. Rahman. Bahkan, ia meminta pemain musik mengiringi pembacaannya. Ketika ia tampil untuk kedua kalinya di panggung UIN, menurut Jamal D. Rahman, waktu sudah hampir tengah malam.
Hamid memang selalu ingin berkesan di setiap penampilannya di atas panggung. Oleh sebab itu, segala sesuatu ia persiapkan sebelum membacakan puisi. Misalnya, ia pernah membawa gendang besar khas Minang ke panggung yang dimainkan sendiri demi mendapatkan suasana estetika. Tetapi, pembacaan puisi dengan diiringi musik di UIN Jakarta, merupakan yang terakhir baginya.
Redaktur senior majalah sastra Horison ini lebih dikenal sebagai penyair–tapi mungkin tidak banyak orang tahu, kecuali para pembaca sastra yang serius–dia juga menulis cerpen. Sebelum bergabung Horison, HJ pernah menjadi wartawan Indonesia Express, Singgalang, dan redaktur Balai Pustaka. Ia pernah menetap beberapa tahun di Bandung dan dari kota yang juga banyak melahirkan sastrawan, HJ makin dalam menancapkan langkahnya di ranah sastra Indonesia.
Sebelum memosisikan kepenyairannya bergaya parodi seperti dikatakan kritikus (alm.) Mursal Esten terutama dalam kumpulan Super Hilang, Segerobak Sajak (1998), HJ mulanya konsentrasi pencarian estetik dalam proses kreatif kepenyairannya pada bunyi dan kata-kata. Contoh pada puisi “Homo Homini Lupus” (1973) yang ditulisnya pada usia 24 tahun. Selain berkonsentrasi pada bunyi dan kata-kata, pada puisi itu juga menggambarkan tentang “kekalahan” manusia.
Sejumlah puisinya yang lain masuk kumpulan Paco-Paco (1974), Dua Warna (1975), dan Wajah Kita (1981) merupakan puisi-puisi awal kepenyairan HJ yang berkonsentrasi pada bunyi dan kata-kata. Pada puisi-puisi awalnya, perhatian HJ sangat besar pada nilai-nilai religiusitas Islam dan kontemplatif. Setelah itu, ia “mengubah perhatian” pada puisi-puisi parodi. Misalnya, puisi yang populer “Proklamasi 2” yang ditulisnya pada 28 Maret 1992. Puisi ini pernah dicekal saat dia membacakannya di Solo.
HJ yang saya kenal adalah penyair yang periang dalam kehidupan sehari-harinya, bahkan terbuka kepada siapa pun. Ia juga bukan tipe orang yang temperamental, betapa pun yang mencandainya orang yang usianya jauh di bawahnya. Dengan perawakan tubuh yang kecil, terlihat ia amat lincah, cekatan, dan liat.
Saya katakan lincah dan cekatan, ada buktinya. Ketika rombongan sastrawan Indonesia yang didanai Horison meninggalkan Johorbahru menuju Singapura dengan bus, tiba-tiba kami teringat salah seorang penyair Jakarta masih tertinggal di hotel di Johor. Belum lagi kami panik, HJ sudah menghentikan bus dan lompat. Ia segera menyetop taksi untuk membawanya ke Johorbahru. Tak lama kami menunggu di Singapura, HJ dan salah penyair Jakarta yang tertinggal sudah kembali bergabung.
“Cepat sekali, Abang?” ucap seorang sastrawan.
“Kalau di negeri orang kita lambat, bisa dimakan orang. Jakarta mengajarkan aku bertindak cepat dan selalu sigap!” ujar HJ mantap. Itu sebabnya, HJ seperti menjadi “tangan kedua” dari Ibu Ati Taufiq Ismail.
Dalam perjalanan laut dari Tanjungpriok ke Batam bersama HJ pada Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) IX di Johorbahru, Malaysia, jika malam datang di bawah langit bertabur bintang dan kegelapan lautan, penyair ini termasuk paling kuat menahan kantuk. Dengan sukacita ia “meladeni” penyair di bawah usia dan angkatan dengannya, mengobrol dari masalah sastra hingga persoalan politik dan sosial. Masalah ini tampaknya berkelindan dalam banyak puisi-puisinya. Bahkan pada usia 25 tahun, HJ melahirkan puisi amat panjang yang membicarakan masalah sosial politik di Indonesia dalam puisi “Indonesiaku”. Selain itu, ia tak sungkan diajak joget teman-teman sastrawan muda di sebuah warung di atas kapal ataupun di Batam. Selalu saja ia berpasangan dengan cerpenis Joni Ariadinata saat berjoget diiringi musik dangdut.
Saya memaklumi HJ. Konon, menurut teman-teman di Horison, ia pekerja yang akan berhenti setelah selesai pekerjaannya. Ia juga supersibuk jika berada di Jakarta. Ketika menyelesaikan buku Horison Sastra Indonesia yang empat jilid itu, saya ikut membantunya memilih puisi-puisi penyair yang akan dimasukkan Kitab Puisi. HJ seperti tak mau dikatakan kalah adu cepat dengan saya dalam hal pekerjaan. Padahal, ia baru saja kembali keliling kota dan provinsi untuk program Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB).
Sungguh, sekiranya saya pada posisi seperti HJ, sudah ambruk berkali-kali. Tetapi, HJ tetap kelihatan segar. Meskipun, sesungguhnya penyakit gula telah menggerogoti tubuhnya. Boleh jadi ia menampakkan diri selalu sehat, supaya yang melihat tidak bersedih. Seperti juga yang dilakukan almarhum Motinggo Busye semasa hidupnya, juga mengidap penyakit yang sama. Terakhir saya berjumpa HJ pada Kongres Bahasa, Oktober 2003, di Jakarta. Waktu itu ia masih kelihatan gagah, sigap, dan lincah. Kami sempat mengobrol di halaman kiri Hotel Indonesia saat rehat. Tawanya yang renyah dengan wajah dan postur serupa B.J. Habibie, betapa senang bercakap-cakap dengan paman sastrawan Fakhrunnas M.A. Jabbar ini.
Semangat inilah–semangat pada profesinya–menggodanya untuk meminta waktu lagi pada panitia Orasi Seni dan Budaya UIN Jakarta, demi membacakan puisinya sebelum kegiatan itu ditutup penampilan Frangky Sahilatua. Padahal, dengan penyakit gula yang dia idap cukup lama ditambah mungkin keletihan karena kesibukannya mengikuti program SBSB yang kini berlangsung di Indonesia Bagian Timur, pada pembacaan puisi keduanya ia ambruk di panggung.
Menyaksikan semangat HJ ini, mengingatkan saya pada sebuah esainya di homepage-nya. Ia mengatakan, berada di tengah-tengah tikungan yang menyesatkan dan bahaya yang menganga, rasanya diperlukan semacam kegesitan meloncat dan berkelit, meraba segala yang akan tiba. Bisakah? Untuk itu diperlukan suatu daya yang membersit dan mengalir dari sesuatu yang hakiki dari keberadaanku. Apakah itu?
“Iman! Iman yang menancap mantap di dalam dan mencahaya ke luar kedirianku dalam ‘laku’. Setimbang! Kesetimbangan tak akan tercapai jika tidak melalui pendalaman dan penyerahan atau pasrah. Pasrah yang aktif, bukan pasrah yang tanpa upaya,” kata HJ. Pada titik puncak pasrah, aku rasakan masalah “ada” dan “tiada” bukan menjadi masalah lagi. Yang menjadi masalah adalah “bermakna” atau “tak bermakna”. Puncak dari kesetimbangan: makna tumbuh, bangkit. Suatu kebangkitan. Pada titik ini semuanya mengental dan bergolak menggejolak. Mendorong bergerak, suatu daya yang memunyai semacam kemampuan merangkum masa silam dan kekinian menjadi masa datang. Dan menuliskannya, kurasa bukan hanya semacam kesaksian, tetapi suatu kebangkitan atau pembebasan.
HJ memang tumbuh dan (terus) bangkit di jalan berliku-liku/tanah-airku/penuh rambu-rambu/Indonesiaku sebagai seorang manusia, suami, ayah, masyakarat kebangsaan. Dengan (hanya) menjadi sastrawan, sebuah profesi yang boleh jadi tidak seksi sehingga tidak diminati. Dengan segala risiko, boleh jadi ditikam, disembelih, dipuji, disingkirikan, dicekal ataupun dicibir teman dan meraka yang tidak suka. Mungkin juga oleh keluarga sendiri. Mungkin juga…
Tetapi, lepas dari itu semua, sesungguhnya HJ memperoleh banyak simpatik. Terbukti HJ diterima semua “angkatan” (kalau itu ada) sastra Indonesia. Seperti ia kerap menerima, misalnya, candaan (kadang berlebih batas) dari sastrawan jauh usianya di bawahnya; Achmad Syubbanudin Alwy yang juga ikut dalam rombongan “sastrawan Horison” ke PSN IX ke Johorbahru, Malaysia, dinikmatinya dengan riang: tidak terpancing berang.
Keriangan itulah modal HJ melahirkan puisi-puisi parodi–antara main-main dan serius saling berkelindan–dalam kumpulan puisinya Super Hilang, Segerobak Sajak yang menuai dua penghargaan dari Yayasan Buku Utama (1998) dan penghargaan seni dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1998).
Selain, seakan ia juga menyadari nama besar tidaklah mesti merasa diri superman, toh yang “super” (perkasa, gagah, hebat, dst.) pada masanya akan “hilang”: ketika kita tak berdaya di hadapan Yang Mahasuper! Sebagaimana digambarkan dalam puisi “Alang Kepalang tak Terduga” (hadiah HUT buat Bang Im): bel berbunyi dan lampu berkedipan, merah dan hijau. Alangkah/gawatnya perjalanan ini, hari menuju malam, waktu menuju/kelam; dan kita menuju juga: barangkali ke sana! Alangkah/beratnya tanggungan ini, bahagia terasa pedih, sengsara/telah mengupih; dan bahu bertanya juga: sampai ke mana?/Alangkah asingnya segala, setelah sedikit bahagia mengada,/setelah sedikit putus asa sirna; dan segala masih saja/kembali seperti semula: alang kepalang tak terduga!
Alangkah gawatnya perjalanan ini, kata HJ dalam puisi di atas, hari menuju malam, waktu menuju kelam; dan kita menuju juga: berangkat ke sana! Ya, HJ telah berangkat ke sana kini. Meninggalkan kita untuk selamanya. Selamat jalan Hamid Jabbar…
***