Kavellania Nona Pamela
Untuk ayah tercinta
Aku ingin bernyanyi
Walau air mata dipipiku
Ayah dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi
Lagu itu terdengar syahdu dari atas panggung. Arya menyanyi penuh penghayatan dalam acara pensi dalam rangka perpisahan dan perayaan kelulusan kelas tiga. Angkatan aku. Aku hanya terpana, liriknya yang benar-benar dalam dan kalau saja ini bukan acara pentas seni, mungkin air mataku akan keluar. Bukan karena aku sudah tak punya Ayah. Aku bersyukur orang tuaku masih lengkap, keluargaku masih utuh.
Mendengar lagu itu aku teringat pada Rey. Sahabatku dari semenjak aku masuk SMA. Dia baru saja kehilangan Ayah. Sebagai cowok, kelihatannya dia cukup tegar untuk menghadapi kenyataan pahit. Dia tidak pernah terlihat murung atau sedih apalagi sampai menangis. Aku bangga akan ketegarannya. Walau aku tahu persis kejadian itu benar-benar membuat dia harus memiliki yang namanya kehilangan.
Aku selalu membaca semua tulisan dia, semua cerita pendeknya semenjak Ayahnya tiada. Tak ada lagi Rey si penulis cerita cinta yang romantis. Hanya ada cerita mengharu- biru tentang betapa pedihnya kehilangan Ayah.
Entah mengapa aku merasa emosi Rey ada dalam lagu itu. Rasa kehilangan, rindu yang menggebu pada kasih sayang dan kehangatan pelukan Ayah.
“Ayah?” Bisik Rey lirih namun terdengar jelas di telingaku. Memaksaku mengalihkan pandangan pada dirinya yang duduk tepat di sebelahku.
“Rey..??” Aku menatapnya penuh tanda tanya namun sepertinya dia tak sadar pada tatapanku. Dia masih terus menyimak alunan lagu itu. Ah sudah kuduga dia larut dalam emosi lagu itu. Aku menyesal, mengapa Arya memilih lagu itu untuk dinyanyikan pada acara pentas seni. Bukankah akan membuat Rey teringat kembali pada kesedihannya.
“Rey..!” Panggilku sekali lagi. Namun dia tidak menoleh sedikit pun padaku.
“REY!!!” Kukeraskan suara hingga akhirnya dia tersentak dan menoleh padaku. Wajahnya terlihat merah, jelas sekali ada kesedihan di sana.
“Eh iya Vel, sori sori.. Aku? Ah iya suara Arya bagus.” Katanya memaksa tersenyum padaku.
Aku mendesah pelan. Mengetahui kebohongan dalam dirinya. Aku tahu dia berusaha menyembunyikan kesedihan hatinya padaku. Tidakkah ia tahu, aku sudah tak bisa lagi dibohongi. Tiga tahun bersahabat dengannya membuat aku tahu bagaimana dan seperti apa dirinya jika sedang sedih dan bahagia.
“Suara Arya memang bagus dan liriknya juga dalam banget ya..” Pancingku.
“Iya.. dalam. Aku jadi teringat pada Ayah. Dulu waktu Ayah masih ada, dia suka sekali menyanyikan lagu itu dan sekarang aku mengalami emosi yang ada pada lagu itu. Tapi?” Belum sempat ia lanjutkan, tiba-tiba ponselnya berbunyi lalu kuperhatikan dia terlibat pembicaraan serius. Entah apa itu, aku tak bisa mendengarnya karena suara hiruk pikuk pentas seni yang cukup mengganggu.
“Ibuku akan melahirkan. Sepertinya aku harus segera ke rumah sakit.” Dia memberitahuku setelah menutup ponsel. Wajah itu bukan sedih lagi tapi panik. Sangat panik.
“Lho, bukannya kandungan Ibumu masih berusia enam bulan?”
“Entahlah Vel, sepertinya ada yang tidak beres dan calon adikku itu akan lahir dalam keadaan prematur.”
Aku terkejut mendengarnya. Dua bulan lalu Rey kehilangan Ayah. Bertepatan dengan kandungan Ibunya yang masih empat bulan. Kini Rey harus menghadapi kenyataan hidup bahwa adiknya akan lahir bukan pada waktunya.
“Aku ikut kamu ke rumah sakit.”
Rey mengangguk sambil terseyum.
***
Aku menatap bayi perempuan yang beratnya mungkin tak lebih dari satu koma lima kilogram dari balik kaca. Bayi itu ditaruh di inkubator biar hangat. Dia sedang tidur dan terlihat tenang. Sesekali menggeliat lucu. Ukuran bayi itu kecil sekali, mungkin kalau aku gendong tak lebih berat dari boneka. Aku tersenyum menatapnya. Sebentar lagi aku akan bermain dengan bayi mungil itu.
“Vel?” Itu suara Rey, entah sejak kapan ia sudah berdiri di sebelahku.
“Hai.. adikmu lucu sekali ya, aduh jadi gak sabar deh pengen gendong terus pengen ajak main mereka. Apalagi tadi suster bilang bayinya sehat walaupun lahir prematur. Si bayi itu hanya butuh kehangatan saja.” Kataku sok tahu padahal aku yakin Rey juga tahu akan hal itu. Bahkan mungkin lebih tahu duluan daripada aku.
Rey hanya tersenyum tipis dan aneh, kenapa wajah itu kutemukan kesedihan lagi. Mestinya hari ini Rey bahagia menyambut kelahiran adiknya. Apa mungkin karena ketidakhadiran Ayahnya. Aku menatapnya heran seolah bertanya -ada apa?
“Terimakasih sudah menemaniku ya, Vel. Tapi kamu maukan membantu aku untuk membelikan kain kafan, memesan liang lahat di sebelah makam Ayahku, dan memberitahukan kepada kerabat dekat bahwa? Ibu?? Suaranya tertahan sampai di situ. Kulihat ia mengumpulkan segenap kekuatannya, ?sudah menyusul Ayah.”
Butuh waktu beberapa detik untukku mencerna kata terakhirnya. Setelah berhasil mencerna air mataku meleleh, seolah aku merasakan betapa kali ini adalah kehilangan terbesar bagi Rey. Aku alihkan pandanganku pada incubator dari balik kaca. Menatap bayi perempuan yang kini telah menjadi yatim piatu. Aku miris dan ada rasa nyeri dalam hatiku. Aku bisa membayangkan betapa hancurnya hati Rey saat ini, betapa pedihnya, tapi aku yakin bayi itu akan membuatnya tegar.
“Rey.. kamu.. gak bohongkan?” Kataku sambil terbata-bata.
Dia menggeleng dan kali ini kulihat air matanya benar-benar meleleh. Rey menangis. Baru kali ini aku melihat Rey menangis. Aku memahami bahwa saat seperti ini sebagai cowok, dia berhak menitikkan air mata.
***
Sudah sebulan lebih berlalu. Beruntung melihat kesusahan Rey, orang tuaku menyuruhnya untuk tinggal. Begitu juga si bayi mungil ini. Namun bayi kecil itu belum diberi nama oleh Rey. Kami hanya memanggilnya Putri. Rey agaknya masih sedih akibat kehilangan kedua orang tuanya. Aku sering menemukan dia sedang murung atau melamun tapi yang aku kagumi dari Rey adalah semangat belajarnya yang tak pernah hilang. Walau masih dalam keadaan sedih Rey tetap berusaha keras untuk belajar agar bisa msuk salah satu PTN di luar kota. Sementara aku sama sekali tak berniat untuk masuk PTN karena otak aku yang kurang cerdas dan aku masih asyik menikmati kehadiran bayi mungil itu di rumahku.
Setelah beberapa menit sibuk dengan situs pengumuman kelulusan SPMB. Rey menatapku sambil tersenyum.
“Bagaimana?” Tanyaku.
“Aku lulus, Vel”
“HOREEE.” Aku teriak girang, aneh seharusnya dia yang teriak kesenangan. Ini mah si Rey malah kalem-kalem saja. Lalu kulirik Rey masih diam. Sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu, “ada apa, Rey?” Tanyaku pelan-pelan.
“Aku harus meninggalkan adik aku kalau gitu. Apa itu tak merepotkan keluargamu?”
“Ohh soal itu, tentu saja tidak. Kamukan lihat sendiri bahwa kita semua senang dengan kehadiran adik bayi. Apalagi mama yang sejak melahirkan aku sudah divonis tak bisa punya anak lagi. Jangan cemas, adikmu akan baik-baik saja.”
“Gimana ya.. Vel?” Rey menggarukan kepalanya yang sama sekali tidak gatal, “padahal warisan yang aku terima dari orang tua, kurasa cukup untuk biaya aku sama adikku kelak sampai aku lulus kuliah. Apalagi aku masih ada rumah warisan itu.”
“Terus?”
“Ya? aku pengen membawa adik aku juga ke kota tempat aku kuliah nanti karena aku berat sekali meninggalkannya, Vel”
Aku tersenyum menatapnya, “Kalau kamu membawa adikmu serta, siapa yang akan menjaganya ketika kamu kuliah. Lagipula adikmu itu masih butuh kontrol dokter loh.”
“Iya sih. Tapi?”
“Sudah kubilang adikmu akan baik-baik saja di sini.”
“Maaf aku selalu saja merepotkan keluargamu.” Ucap Rey lirih sambil menunduk.
“Ah iya, kamu belum kasih nama adikmu kan? Siapa namanya?” Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Namanya? Pamela Al-Huriyah, kamu boleh memanggilnya Amel.” Dia menerawang ke langit-langit.
Nama yang bagus. Pikirku. “Artinya?”
“Gadis yang selalu berbahagia karena aku ingin dia bahagia meski sejak lahir dia sudah jadi yatim piatu.”
***
Catatan: Akhirnya aku menemukan Inspirasi dari lagu Ayah – The Mercys atau sekarang dinyanyikan kembali oleh Peterpan feat Candil. Terimakasih Rey atas inspirasinya.