Kavellania Nona Pamela
Salah satu coffe shop di bilangan Kemang begitu ramai. Maklum saja ini malam Minggu sehingga lumayan banyak pengunjung yang datang. Pada salah satu sudut ruangan Amara hanya duduk sendirian, sibuk berinternet dengan laptop. Biasanya jika malam Minggu seperti ini Reihan selalu datang dari Purwekerto ke Jakarta untuk menemaninya menghabiskan malam minggu. Tiga bulan yang lalu Reihan disuruh memegang bisnis keluarganya, maka dari itu Reihan yang tadinya tinggal di Jakarta dan satu kantor dengan Amara, pindah ke Purwekerto.
Amara mematap layar laptop namun pikirannya tidak fokus pada artikel yang sedang ia buka. Ia memikirkan Reihan, sudah beberapa hari handphone kekasihnya itu tidak bisa dihubungin. Bahkan saat hari valentine kemarin pun juga tak bisa. Padahal mereka sudah berjanji akan merayakan hari valentine bersama. Kemana Reihan, tak biasanya seperti ini. Bukankah kalau ada apa-apa, Reihan pasti menghubinginya. Amara mendesah pelan. Resah benar-benar menyelimutinya.
Ia mengambil PDA di atas meja, sebelah laptop. Entah apa yang mau ia lakukan pada PDA itu. Namun entah mengapa, jarinya malah mengklik menu kontak dan ia menatap kontak itu satu per satu. Baru pada kontak bertulisan nama Viona, ia langsung tersadar sesuatu. Buru-buru ia menelepon sahabat lamanya yang kini juga tinggal di Purwekerto. Ia juga teringat kalau Viona juga adik angkatnya Reihan. Mungkin dari Viona ia bisa.
Setelah Amara berbasa-basi sebentar dengan Viona, ia langsung menanyakan kabar Reihan. Namun ketika ditanya, Viona malah diam beberapa lama. Terdengar helaan nafas di sana.
“Reihan kecelakaan motor beberapa hari yang lalu karena dia tidak memakai helm, ada benturan keras pada kepalanya dan dia pun sempat koma selama beberapa hari?”
Belum sempat Viona menjelaskan semuanya, Amara sudah keburu panik, ia memegang keningnya, ?APA? Kenapa gak ada yang kasih kabar ke aku. Kenapa? Terus sekarang gimana keadaan Reihan?? Tetes demi tetes air mata Amara keluar tanpa sadar.
“Reihan sudah sadar kok. Cuma dia agak-agak loss memory gitu. Tatapannya kosong. Sepertinya kecelakaan itu membuat dia shock. Sekarang dia masih di rumah sakit. Cuma kata dokter sih denyut nadinya sudah normal.” Beritahu Viona.
“Loss memory? Apa dia masih ingat sama aku?” Gumam Amara.
“Entahlah?”
“Besok aku akan segera berangkat ke sana untuk ada di sisi dia pada masa sulitnya” Amara menatap jendela coffe shop dengan perasaan hampa. Padahal pemandangan dari baliknya lumayan indah. Lampu-lampu penghias coffe shop cukup indah sebagai penerang dan siatuasi di luar sana lumayan ramai. Banyak pasangan yang menikmati keindahan malam Minggu.
“Jangan!” Suara dari seberang sana terkesan spontanitas.
“Lho kenapa?” Amara mengerutkan kening, tidak mengerti. Tangan satunya menghapus air mata yang terus menetes.
“Eh ng.. iya jangan. Kamu tenang saja, aku janji tiap hari akan mengabari perkembangan Reihan dari SMS, key?”
“Baiklah.”
Percakapan telepon akhirnya berhenti. Amara meletakkan kembali PDA di atas meja. Berusaha keras ia menghentikan tangisnya, menghapus air mata yang tak henti mengalir di pipinya. Masih terngiang dalam pendengarannya bahwa Reihan mengalami amnesia dan shock berat. Apakah Reihan masih mengingat diriknya, apakah Reihan masih mengingat semua janji sebuah pernikahan untuknya, apakah Reihan masih mengingat ukiran kenangan indah kisah cinta mereka, atau malah Reihan tidak ingat sama sekali dengan dirinya dan menganggapnya orang lain.
Setelah rada tenang, Amara menyesap secangkir kopi hitam yang sudah hampir dingin. Dihempaskan tubuhnya pada sandaran kursi. Ia sadar tidak bisa berbuat banyak atas kejadian ini. Hubungannya dengan Reihan memang tidak disetujui oleh keluarga Reihan yang keturunan priyayi dan masih kolot dengan berbagai pakem. Alasan mereka tidak menyetujuinya pun menurut Amara sangat tidak masuk akal. Hanya karena Amara adalah seorang wanita karir dengan berbagai kesibukan menggunung dan tidak setiap saat ada di rumah. Mereka ingin calon istrinya Reihan juga keturunan priyayi, sama seperti mereka. Entahlah garis darah biru seolah penting bagi mereka.
Padahal Reihan sendiri sama sekali tidak mementingkan garis darah biru itu. Reihan pernah bercerita pada Amara betapa tidak enaknya berada pada lingkungan keluarga seperti itu. Banyak aturan dan penuh kemunafikan. Maka dari itu Reihan lebih suka hidup di perantauan daripada tinggal di rumahnya sendiri yang hanya beberapa jaeak dari Keraton Solo. Waktu keluarga Reihan memintanya untuk menangani perusahaan yang ada di Purwekerto, Reihan sebenernya enggan tapi Amara terus membujuknya. Setidaknya Reihan tidak satu rumah dengan mereka.
Amara sedih dan kecewa, tidak bisa berbuat banyak. Saat seperti ini harusnya ia ada di sisi Reihan. Ia mendesah, kesal pada keadaan yang tidak berpihak padanya. Tak beberapa lama Amara membereskan laptop dan segera pergi dari coffe shop. Mungkin di berada di apartemen ia akan merasa lebih tenang.
***
Entah sudah berapa kali Amara bolak-balik tidak jelas di ruang kerjanya. Beberapa artikel yang harus ia edit segera, tidak disentuh sama sekali. Ia hanya menggenggam PDA dengan penuh kecemasan. Sudah dua hari ia menghubungi Viona untuk menanyakan perkembangan, selalu saja tidak ada respon. Puluhan kali ia telepon, tidak pernah diangkat. SMS, sama sekali tidak ada balasan. Amara gusar, ia berharap semoga tidak terjadi apa-apa pada Reihan. Penantian ini benar-benar menyakitkan buatnya.
Ada guratan lelah pada muka Amara dan kantung matanya agak besar. Dalam dua hari ia sama sekali tidak bisa tidur, memikirkan Reihan. Bagaimana keadaan Reihan, siapa yang akan menyuapi Reihan ketika ia lapar, siapa yang ada disisinya saat ia butuh seseorang untuk menemaninya. Dalam otak Amara saat ini hanya ada Reihan, Reihan, dan Reihan.
Tiba-tiba asisten Amara, Rosy, datang dan membawa beberapa berkas. Amara hanya menyuruhnya untuk menaruh berkas di atas meja kerjanya.
“Kamu kenapa?” Tanya Rosy cemas, ia menghampiri Amara yang kini hanya menatap jendela.
“Reihan.. sudah dua hari ini tidak ada kabar. Viona aku hubungin, tidak ada respon sama sekali. Aku sudah gak tahu lagi harus ngapain.” Amara berkata tapi pandangannya masih menatap kehampaan dari balik jendela, “Aku, aku bingung, Ros.” Terbata-bata Amara mengatakannya, matanya berahlih menatap Rosy. Ada genangan di sana. Amara menutup mulut dengan tangan. Berusaha menahan isak tangisnya walau ia tahu itu akan sia-sia.
“Satu-satunya yang harus kamu lakukan adalah segera pergi ke Purwekerto sekarang juga. Dengan begitu kamu bisa melihat keadaan Reihan yang sebenarnya.”
“Tapi itu enggak mungkin aku lakukan, aku bisa saja langsung diusir sama keluarganya. Yeah.. aku yakin itu akan sia-sia.” Lirih Amara.
“Belum dicoba kan? Kalau kamu mencintai Reihan, kamu bisa menghadapi mereka untuk bertemu dengan Reihan.” Rosy menatap Amara, sepertinya sedang berusaha menumbuhkan semangat baru untuk Amara.
Amara mengusap air matanya hingga kering. Ia tersenyum kecil dan kembali menatap jendela, “Sepertinya akan kucoba menghadapi mereka.”
***
Amara berlari terburu-buru menelusuri koridor rumah sakit. Ia mencari di mana kamar tempat Reihan dirawat. Dari kejauhan ia melihat ada kedua orang tuanya Reihan dan Viona sedang duduk di teras salah satu kamar. Pasti itu kamarnya Reihan. Perasaan tegang menyelimuti dirinya ketika langkah demi langkah ia tempuh untuk menghampiri mereka. Namun ia sudah siap dengan berbagai sambutan tidak enak dari mereka. Ia siap apapun itu asal bisa melihat Reihan kembali.
“Permisi, saya ingin menjenguk Reihan.” Ucap Amara pelan-pelan. Ia menatap penuh harap pada mereka. Namun Ibunya Reihan memandang Amara tidak bersahabat, sementara Bapaknya tersenyum ramah, dan Viona sepertinya nampak terkejut melihat kedatangannya.
“Reihan sedang tidur.” Nada tidak bersahabat itu meluncur dari mulut Ibu.
“Oh…” Gumam Amara lalu ia hanya menunduk.
“Lagian untuk apa sih kamu ke sini. Sudah saya bilang jangan mendekati anak saya lagi eh ini malah bandel.” Lanjut Ibu tanpa beranjak dari kursi.
“Saya hanya ingin melihat Reihan, Bu. Saya janji setelah itu saya akan menjauh dari Reihan.”
“Sudahlah Bu, biarkan Amara melihat Reihan sebentar saja. Kasihan kan dia jauh-jauh datang ke Jakarta hanya untuk menjenguk anak kita.” Bujuk Bapak sembari memegang kedua pundak Ibu.
Ibu mendesah kesal, “Mau menjenguk ato? merebut suami orang heh?!”
Amara berusaha mencerna omongan Ibu tadi, Suami orang? Benarkah Reihan? Ada satu pukulan yang meninju-ninju ulu hatinya,
“Suami orang?”
“Iya, suami orang. Oh iya saya lupa kamu itu enggak tahu ya, kalo Reihan dan Viona sudah menikah! Makanya lebih baik kamu pergi daripada merusak rumah tangga orang.”
Mendadak kepala Amara pening. Ia menatap Viona dengan tatapan tidak percaya bahwa sahabatnya akan setega itu. Berkali-kali ia berharap bahwa ini adalah mimpi buruk. Ia ingin segera bangun dan sayangnya ia harus menyadari bahwa ini kenyataan. Viona langsung beranjak dari tempat duduk dan menarik tangannya.
“Aku tidak percaya kamu setega itu, Vi.” Sinis Amara pada Viona. Keduanya kini ada di kantin rumah sakit. Kalau saja tidak ingat perbuatan dosan dan berbagai akibatnya, sekarang juga Amara akan membunuh Viona. Ya, Viona patut dibunuh karena Viona tahu betapa besar cintanya pada Reihan dan Viona juga tahu Reihan pun sangat mencintainya. Namun apa, semua itu sudah dikandaskan sama sahabatnya sendiri.
“Kamu tahu, lima tahun aku menunggu Reihan bahkan kita sudah merencanakan pernikahn. Kenapa kamu menggagalkannya dan kenapa mesti kamu yang harus mendampingi Reihan. Kalo ini bukan tempat umum, sudah aku tampar kamu sepuasnya!” Emosi sedang menyelimut Amara.
Viona hanya diam tertunduk.
“Diam? Kenapa diam? Merasa salah heh? Kamu memang salah kok, kamu pikir dengan kamu dekat sama keluarga mereka. Kamu bisa menikahi Reihan, kamu bisa membuat Reihan jatuh cinta sama kamu heh. Aku bersumpah bahwa sekalipun kamu sudah menikahi Reihan, dia tidak akan pernah mencintai kamu sampai kapanpun.”
Viona menatap Amara, “Aku tahu, aku memang salah, dan aku pun tahu Reihan tidak akan pernah mencintai aku?” Belum sempat Viona meneruskannya.
“Tapi kenapa kamu menikahi Reihan?!!!!” Suara Amara agak sedikit keras.
“Aku terpaksa melakukan ini karena keluarga aku dan Reihan mendesaknya padahal kami sudah sama-sama menentang keras. Hanya saja keluargaku punya hutang budi sama mereka, jadi aku tidak bisa berbuat apa-apa.”
“Hutang budi?” Amara tidak mengerti.
“Waktu Ayahku kecelakaan dan kekurangan darah. Ibu Reihan yang menyumbangkan darah untuk Ayahku karena golongan darah mereka sama. Ekonomi keluarga waktu itu tidak baik jadi seluruih pengobatan dibiayai keluarga mereka.” Jelas Viona.
Mendadak emosi Amara mereda. Ia hanya bisa terdiam mendengarnya. Kalau seperti itu keadaannya, Viona memang tidak bisa berbuat apa-apa. Amarah memahaminya itu. Tapi sakit sekali rasanya melihat kenyataan ini dengan ikhlas. Air mata Amara mengalir deras. Ia terisak meratapi keadaannya.
“Aku paham.. iya.. aku paham, Vi.” Amara menutup mulutnya dengan tangan. Berusaha sekeras mungkin untuk menghentikan tangisannya.
“Maafkan aku? aku enggak bermaksud untuk merebut Reihan dari kamu.”
Setelah tangisnya sudah berhenti, Amara baru berkata, “Tak apa aku mengerti, aku akan segera pergi kok toh kehadiranku di sini hanya sebagai pengganggu bagi kalian. Tapi ijinkan aku bertemu dengan Reihan sebelum aku pergi.” Pinta Amara.
Viona mengangguk.
***
Aroma khas kamar itu menyeruak dan terhirup dengan jelas di hidung Amara. Ia sangat benci aroma ini. Menakutkan dan kadang bikin panik. Ia duduk di kursi sebelah ranjang. Menatap Reihan yang masih disertai berbagai selang-selang. Mata Reihan terbuka namun tatapannya kosong. Ia tahu, Reihan tidak akan menyadari kehadirannya. Orang yang dicintainya itu bertambah kurus. Mungkin karena asupan makanan hanya bisa dicerna melalui infus.
Amara mengenggam tangan Reihan, air matanya tak henti-hentinya mengalir. Rasanya ironis sekali melihat Reihan untuk terakhir kalinya dalam kondisi seperti ini. Tapi ia tak bisa berkata apa-apa. Ia ingin memeluk Reihan dan menumpahkan tangisannya, ia ingin berteriak bahwa dirinya ada untuk Reihan. Tapi ia sadar, ia tidak bisa melakukan itu. Reihan bukan miliknya lagi.
“Aku berharap semoga kamu cepat sembuh dan bisa tertawa seperti sedia kala meski nantinya bukan aku yang ada disamping kamu.” Amara mengusap lembut kening Reihan.
“Kamu tenang saja walau aku pergi, aku tetap mencintaimu sampai kapanpun. Aku pergi bukan karena meninggalkanmu tapi untuk membuatmu tenang.” Lanjut Amara, ia bangun dan mengecup kening Reihan sambil terisak.
Setelah meninggalkan rumah sakit, Amara menghubungi Rosy, “Ros, tolong pesankan aku tiket ke Osaka untuk penerbangan besok. Aku akan melanjutkan studi ke sana. Terimakasih.”
***
“Amara, Amara, Amara?”
Entah sudah keberapa kalinya Reihan hanya menyebut nama Amara dalam tatapan kosongnya, sejak kepergian Amara dua hari yang lalu. Namun kali ini adalah terakhir kali Reihan menyebut nama Amara karena sedetik kemudian detak jantungnya berhenti dan ia pun menutup mata untuk selamanya.
Cirebon, 23 Februari 2009