Gerson Poyk
sinarharapan.co.id
Minggu lalu beberapa sastrawan ibu kota diundang oleh sastrawan (penyair) Leon Agusta dan istri Amerikanya untuk pesta kecil memasuki rumah baru, yaitu sebuah apartemen di depan harian Kompas. Bangunan itu setinggi tiga puluh tingkat.
Mungkin karena pertemuan Leon dengan Maggy di sebuah apartemen bernama Mayflower di Iowa City, maka setelah bertahun-tahun tinggal di kampung-kampung dan di kawasan perumahnn indah tidak membetahkan mereka. Mereka rindu pada apartemen. Maka mereka memilih tingkat tiga, sebuah ruang yang tak terlalu melayang, Atau mungkin karena keamanan lebih terjaga, sebab ada satpam dan mobil yang masuk diperiksa dengan teliti.
Setelah gembira bertemu dengan teman-teman dan kenyang menikmati makan-minum, kami pulang dengan sebuah taksi yang dibayar oleh novelis Hanna Rambe. Beliau mengantar penyair Kirnanto ke Utan Kayu, kemudian taksi berputar ke Thamrin lalu kami berpisah, naik bus ke Depok. Inilah susahnya Jakarta kalau ada acara pertemuan kangen-kangenan dengan teman seniman. Kecuali kalau ada helikopter yang hinggap di atap apartemaen lalu membawa pulang ke Depok, Grogol dan Utan Kayu. Itulah khayalan masa depan.
Kenangan masa lampau tinggal di apartemen Mayflower di Iowa juga indah. Saya menempati tingkat enam. Setiap hari mengetik novel Sang Guru dan beberapa karya lain yang sudah sering dipesan pemerintah (Inpres) dan sudah diskripsikan dan ditesiskan oleh beberapa mahasiswa dalam dan luar negeri untuk memperoleh S1, S2 dan S3.
Mungkin tinggal di apartemen di negeri sendiri agak lebih baik. Karena tidak ada salju, maka orang bisa keluar cari kopi di warung-warung, nongkrong di langit terbuka, buka baju pun boleh. Tinggal di apartemen di musim salju di negeri orang membuat saya diserang penyakit home sick. Tiap seperempat jam di malam hari yang sunyi saya membuka kotak surat. Mau minum kopi ada tetapi kita hanya berhadapan dengan mesin. Taruh koin di mesin, kopi keluar. Ini juga yang membikin sakit. Seorang teman saya, sastrawan terkenal dari Amerika Latin, memukul-mukul mesin itu karena kopi tidak keluar.
Hal ini membuat saya memperoleh inspirasi untuk membual bahwa saya menolong sastrawan itu dengan mundur beberapa langkah ke belakang lalu melompat dan menendang “warung kopi” bego itu. Maka hancurlah mesin itu. Uang dan kopi berhamburan. “Pantas, kami orang Indonesia gampang membunuh jutaan orang. Begini caranya!” kata sastrawan itu. Untung cuma fiksi.
***