Saroni Asikin
http://www.suaramerdeka.com/
SEORANG lelaki yang menjalani laku pesugihan suatu malam harus menyempurnakan ritusnya dengan menggigit telinga mayat yang mati pada Selasa Kliwon (Anggara Kasih). Tapi apa lacur, segalanya hampir saja purna dilakukan andai saja tak ada anjing-anjing yang menyerbu ke arah dirinya dan mayat yang telah berhasil dibongkar dari liang lahat.
Itu bukan kisah mistis yang belakangan jadi menu tetap banyak televisi swasta. Cerita itu terdapat pada cerpen “Anjing-anjing Menyerbu Kuburan” karya Kuntowijoyo. Cerpen itu pernah terpilih sebagai cerpen terbaik pilihan Kompas yang terangkum dalam buku dengan judul cerpen itu.
Dan seolah bersebalikan dengan tuturan cerpennya yang ritmis, suspensif, serta penuh nuansa mistis, karya Kuntowijoyo itu dibaca Landung Simatupang secara biasa. Maksudnya, tanpa ada intensitas pembacaan yang menguatkan nuansa mistis atau keseraman. Pada bagian tertentu, Landung bahkan lebih sering terlihat menekankan sisi ironis cerita dan sesekali mengemasnya sebagai kisah parodi.
Ambil contoh, bagian cerita yang mengetengahkan perebutan mayat antara tokoh lelaki dengan anjing-anjing yang tiba-tiba menyebur kuburan itu pada teks Kuntowijoyo terasa sangat menegangkan dan tintrim. Landung lebih memilih membacanya dengan tuturan biasa, seolah-olah hanya deskripsi cerita tanpa ketegangan.
“Saya memang baru saja membaca karya Kuntowijoyo. Tapi tentu saja pembacaannya mutlak berdasar tafsir saya atas teks itu,” ujar Landung usai pementasan.
Walupun begitu, artikulasi pembacaannya yang bagus serta gaya bacanya yang mantap, cukup memikat bagi penonton yang memenuhi ruang R 103 Fakultas Sastra Undip, pekan lalu. Acara pembacaan cerpen itu diselenggarakan Fakultas Sastra Undip bekerja sama dengan KMSI Sastra Undip, dan Lengkongcilik dimaksudkan sebagai peringatan terhadap penyair Chairil Anwar.
Malam itu lelaki yang sudah cukup ternama sebagai pembaca cerpen dan puisi tersebut memang diundang panitia untuk membaca tiga cerpen. Tapi ketika tampil, barangkali menyetarakan dengan tujuan acara untuk memeringati Chairil Anwar, dia membaca tanpa teks dua sajak. Yakni, “Beta Pattirajawane” karya Chairil Anwar dan “Huesca” saduran penyair tersebut atas karya John Conford.
Dua cerpen lainnya yang dibaca adalah karya Anton Chekov yang berjudul “Seorang Bandot dan Seorang Nona” serta “Pergi”. Pada dua cerpen itu, kepiawaian Landung dalam membaca cerpen benar-benar terbukti. Lihat saja bagaimana dia menghidupkan sosok lelaki tua yang ganjeun ketika berdialog dengan seorang gadis pada cerpen “Seorang Bandot dan Seorang Nona”.