Iman Suwongso
http://oase.kompas.com/
Marina, aku mencarimu di ujung jalan, tempat biasanya kamu berdiri di bawah pohon randu, berpayung warna-warni. Sudah kuhabiskan waktu setengah hari aku disitu, namun bibirmu yang bergincu tebal itu seperti lenyap ditelan debu yang mengepul oleh roda truk. Aku menunggumu bersama burung prenjak, yang menahan kicaunya karena dia takut kehilangan kemerduannya saat kamu melenggang dari tikungan jalan. Sudah aku tanyakan kepada tetangga terdekat di ujung jalan ini, juga kepada kapuk-kapuk yang berterbangan, seperti salju hinggap di rambutmu yang legam. Mereka diam. Lebih bisu dari patung kuda di perempatan jalan itu.
Sebelumnya, lalu-lalang kehidupan ujung jalan ini tidak menyadari kalau kamu tak berada diantara hiruk pikuk anak-anak sekolah dasar di seberang jalan. Hanya saja, ketika aku turun ke halaman sekolah dan memasang wajah tuaku, kutanyakan perihalmu kepada seorang murid bernama Vena. Gadis kecil itu celingukan, lantas bertanya kepada temannya, dan temannya bertanya kepada temannya lagi, temannya lagi bertanya kepada temannya, kepada temannya, kepada temannya… dan kepada gurunya. Gurunya bertanya kepada ayah Vena, yang sedang mengantar bekal makan. Ayah Vena bertanya kepada tukang ojeg. Tukang ojeg bertanya kepada kusir dokar. Kusir dokar melongok-longok dan bertanya. Bertanya. Bertanya. Pohon randupun dengan caranya juga bertanya.
?Dimana Marina??
Dalam radius satu kilometer dari ujung jalan itu, lalu-lalang kehidupan ikut bertanya.
?Kemana Marina??
Semuanya tidak tahu. Padahal kemarin sore, seperti hari-hari sebelumnya, kamu masih berdiri di bawah pohon randu. Bahkan, kemarin ada pemuda yang menggodamu.
?Wah, hari ini kamu cantik sekali Marina.?
Lalu-lalang kehidupan yang mulai kelelahan di ujung jalan itu tahu Marina, kamu tampak bahagia. Senyummu melebar. Karena kamu tersenyum semacam itu, mulutmu menjadi semakin kelihatan lebar karena gincumu berlepotan di pipi. Kata penjual sayur, kayak mulut semar.
Namun, keceriaan yang akan menutup hari itu seperti tiba-tiba disergap oleh puting beliung, ketika segerombolan anak-anak pulang sekolah mengejekmu.
?Ha. Ha. Ha! Semar mesem. Ada orang gila mesem.?
Tidak berbeda dengan ketika kamu marah waktu-waktu lalu, segala kata-kata kotor tumpah. Seakan-akan dadamu itu hanya gelembung tong sampah.
?Hai bajingan! Ibumu lonte. Bapakmu hidung belang. Anjing kurap! …?
Kamu menuding-nuding. Mengejar. Dan melempar mereka dengan segenggam kerikil.
Orang-orang yang mendengarkan kemarahanmu malah tertawa. Setiap orang tahu, anak-anak yang menggodamu itu ibunya bukan lonte. Bapaknya juga bukan hidung belang. Mereka gengnya anak-anak pejabat kecamatan. Orang-orang juga maklum kalau kamu berkata koror, jorok, bahkan ababmu rasanya juga ikut bau, karena kamu tidak dapat menahan himpitan hati dan pikiranmu.
Dulu, sebelum kamu suka berdiri di situ, kamu adalah perempuan cantik ?menurutku kamu sekarang juga masih cantik Marina. Sampai malapetaka itu terjadi. Pada usia 16 tahun kamu dipaksa kawin oleh orang tuamu dengan pemuda desa sebelah yang orang tuanya kaya raya. Kerbaunya berpuluh, sawahnya berhektar. Namun, setiap jengkal kehidupan bersaksi, yang kaya orang tua pemuda itu, bukan pemuda itu. Dia seorang anak yang manja. Karena terbiasa manja dia jadi pemalas.
Pemuda itu sangat gandrung kepadamu. Hampir setiap hari datang ke rumahmu. Dan setiap datang ke rumahmu dia membawakan apa saja untuk orang tuamu. Kamu sudah tahukan, kalau bapakmu sangat melonjak hati ketika mendapat sebungkus rokok kretek? Namun, hampir setiap hari ?ketika dia datang– kamu sembunyi di balik pintu kamarmu.
Pran ?maaf Marina, akhirnya aku sebut juga nama yang paling kamu benci itu?sore itu membawa pipa gading untuk bapakmu. Pipa itu bagus sekali, warnanya kuning keemasan. Kalau laki-laki di desamu memakainya dia melejit ke langit. Seperti orang tidak kekurangan suatu apapun. Sebagai gantinya, kamu dipaksa keluar oleh bapakmu. Kamu semakin rapat di belakang pintu, dan tangan yang sering kamu cium saat hendak pergi itu membuat pipimu memar, kepalamu berputar.
Pada akhirnya, kamu menyerah. Kamu keluar menemui Pran. Kamu lirik pemuda itu, ada senyum kemenangan di bibirnya yang bentuknya hampir kotak. Sepanjang waktu kamu menunduk, sambil merasakan sisa-sisa lebam di pipimu.
Sejak tragedi pipa gading itu, Pran makin tidak tahu diri. Seakan-akan seluruh waktu dalam hari-hari yang mengurungmu menjadi miliknya. Dia datang ke rumahmu kapanpun dia mau. Tidak peduli matahari masih malas bergerak. Ketika sumuk siang hari sedang puncak-puncaknya. Atau saat malam mulai melarut. Dia tidak peduli. Dan kamu harus menemaninya sepanjang itu.
Dan pada saat yang sunyi. Pran menghempas-hempaskan nafasnya. Kemudian dengan cepat memegang tanganmu yang kamu letakkan di pangkuanmu. Seluruh pori-porimu dengan cepat digelontor keringat dingin. Bulu kucingmu menari-nari seperti sedang mendengar suara genderang. Di sunyi itu dia hanya memegang tanganmu.
Namun di sepi yang lain, setelah dia berhasil mengusir ibumu untuk pergi ke pasar dengan bekal uang darinya, Pran tidak hanya menyentuh tanganmu. Dia memelukmu. Dia menjepitmu dengan kedua kakinya. Dan bibirnya yang kotak itu… Marina, lantas kamu berontak dan tenggelam di kamar. Berhari-hari kamu hanya mendengar samar-samar yang terjadi di luar.
Sampai pada hari yang ke tujuh, tersiar kabar, yang kamu dengar dari balik jendela kamarmu, kalau kamu malu keluar rumah karena kamu sedang hamil. Kamu pasti tidak tahu siapa yang menyebarkan gosip itu. Seandainya kamu tahu, kebencianmu kepada Pran akan semakin dalam.
Karena kecemasanmu tentang kabar itu yang memaksamu keluar kamar. Kamu belum mengerti hamil itu bagaimana. Kamu pikir, apakah bibirnya yang menjijikkan itu telah menghamilimu? Kamu belum sampai menemukan jawaban, ketika Pran sudah menyambutmu di ruang tamu.
Seperti srigala yang menemukan mangsanya, Pran menyergapmu.
?Marina. Aku harus mengawinimu cepat.? Katanya.
Kamu gemetar. Air matamu mengalir seperti air hujan di permukaan daun pisang, menelusuri lekuk pipimu.
?Terimalah Marina.? Kata bapak dan ibumu yang keluar berjejalan dari pintu belakang.
Begitulah, akhirnya kamu kawin dengan Pran. Tapi yang tidak diketahui keluargamu, orang tua Pran tidak setuju dia kawin denganmu. Pran lari dari rumahnya setelah menjual kerbau bapaknya dan mencuri tiga potong perhiasan ibunya. Dia menyuruh orang kampungnya menjadi walinya dengan upah yang lumayan. Pran memberikan alasan kalau orang tuanya sibuk sehingga tidak bisa hadir dalam pernikahan itu. Bapakmu percaya, karena Pran anak orang paling kaya di desanya.
Tetapi sesungguhnya, Pran sedang ambyuk kepadamu. Dan kemudian semua tahu, kalau dia malah menjadi bebanmu. Kemanjaannya tak luntur setelah pernikahan itu berlangsung hampir setahun. Keinginannya harus dituruti. Kalau tidak, gempa melanda rumahmu. Bapakmu mulai sakit-sakitan dan tidak berkutik menghadapi menantunya.
Marina, suatu sore suamimu mengundang temannya ke rumahmu kan? Dan teman Pran itu, katanya, akan memberikan pekerjaan kepadamu. Sore itu juga kamu harus berangkat. Kamu hanya menurut saja. Dengan malas berkemas-kemas.
Berhari-hari kamu tidak pulang. Kamu masih ingatkan pekerjaan yang diberikan teman Pran itu? Kamu pasti masih ingat karena pekerjaan itulah yang membuat pikiranmu mengatakan, Pran tidak bisa dimaafkan.
Cukup rumit kamu membebaskan diri. Seandainya pikiranmu tidak selalu kepada Pran barangkali kamu akan menunda pelarianmu itu. Dan Pran tidak lagi ada di rumahmu. Tetapi kamu yakin dia akan kembali cepat atau lambat.
Benar perkiraanmu. Hanya berselang satu hari dia kembali ke rumahmu. Pran telah mendapat kabar tentang pelarianmu, Marina. Tetapi, yang tidak dia duga, sekarang kamu tampak lebih cantik. Pran melotot melihatmu. Dan kamu memegang kendali permainan itu. Kamu bersikap lunak, halus, merajuk kepadanya. Kamu sudah berbeda dari yang dulu. Pikir Pran, kamu sekarang romantis. Maka, pikiran dia hanya ke kamar. Ke kamar. Dan ke kamar. Kamu bisa menundanya hingga malam tiba.
Di kamar yang gelap itu. Kamu tahu persis letak degup jantung Pran. Kamu tinggalkan sebilah pisau yang telah kamu siapkan bersarang di dalamnya.
Inilah akhir tragedi itu, Marina. Kamu dibenamkan dalam penjara 20 tahun. Namun, pikiranmu mengembara kemana-mana, ke celah-celah dunia yang tidak pernah kamu kunjungipun, dituntun bara kemarahan dalam hatimu. Lantas pikiranmu tersesat, hatimu meletus. Dan kamu dipindahkan ke rumah sakit jiwa. Sampai kamu melihat kembali dengan samar-samar lalu-lalang kehidupan di ujung jalan itu. Pohon randu dengan kapuk berterbangan seperti salju.
***
Ketika matahari tinggal separuh dipotong cakrawala, kamu tiba-tiba muncul dari balik rimbun pepohonan. Aku yang hampir jengah tersentak seperti orang terbangun dari tidur sedetik. Aku belum pulih saat kakimu sudah melangkah ke pinggir jalan beraspal. Rupanya malam ini kamu tidak berniat pulang lagi. Kamu berjalan setengah berlari ke arah yang berlawanan dengan rumahmu.
?Marina…!?
Aku memanggilmu. Aku berharap kamu menoleh ke arahku dan menuruti lambaian tanganku. Rupanya kamu tidak mau mendengar suara apapun selain kemarahanmu yang masih melungker di dalam dadamu. Sesungguhnya aku ingin bicara panjang lebar kepadamu. Menghiburmu. Waktu ini hanya fana belaka. Hatimu tak perlu sesak karenanya. Dan aku akan menina-bobokkanmu dalam keabadian.
?Marina…!!?
Aku tersentak. Sebuah mobil dengan kecepatan kilat menendangmu. Tubuhmu melayang menghemas di pohon asam. Aku cepat menyambarmu sebelum tubuhmu tertelungkup di tanah. Dalam pelukanku, kubawa kamu terbang ke langit biru.
Aku tak ingin dengan cara ini membawamu pergi, Marina. Sesungguhnya sedang aku cari cara untukmu agar kamu tidak merasa kesakitan lagi. Aku menyesal. Aku terlambat dalam hitungan detik. Dan kenapa kamu sembunyi dariku di balik kabut?
Marina, kubuka catatan langit ini yang tidak melepaskan setiap jengkal pengalamanmu. Agar kamu mengerti. Agar kamu merasakan disini kamu memperoleh yang tidak kamu dapatkan disana. Bersamaku kamu arungi gemerlap kesejukan negeri langit.
Sudah malam. Istirahatlah Marina, kamu disini tuanku. Aku dan bidadari-bidadari akan menuruti segala keinginan hatimu.
****