M. Irfan Hidayatullah, Identitas Lokal dan Hegemoni Pemikiran Barat

M. Irfan Hidayatullah, Agus Rakasiwi, Wawancara
http://pr.qiandra.net.id/

Kampus-kampus di Jawa Barat harus mulai memunculkan wacana lokalitas demi mengimbangi arus besar pemikiran barat. Tentu ini bukan sekadar keinginan menampilkan primordialisme. Juga lebih dari sekadar mewacanakan sebuah identitas. Mewacanakan tentang lokalitas bisa berarti menggali kembali khazanah pemikiran yang menjadi fondasi keberadaan sebuah entitas sosial.

Sudah tidak asing kita mengenal nama-nama seperti Plato dan Aristoteles di zaman Yunani. Di pertengahan abad ke-20, nama-nama seperti Juergen Habermas dan Foucault mendiami pula alam pemikiran sosial di berbagai kawasan. Tidak terkecuali di Indonesia.

Pemikiran para filsuf zaman Yunani kuno hingga modern menjadi arus besar para aktivis dan akademisi untuk menggali kondisi sosial dan budaya di Indonesia. Di bidang kebudayaan, pemikiran mereka pun biasa digunakan untuk membedah wilayah-wilayah sastra. “Yang terjadi memang pemikiran itu mengglobal dan dikonsumsi sebagai pisau analisis yang dipandang paling objektif untuk mengamati kondisi sosial di luar dunia barat,” ujar M. Irfan Hidayatullah, dosen Program Studi Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran.

Upaya mengimbangi pemikiran barat sudah lama terjadi. Di kawasan Asia, nama-nama tokoh pemikir seperti Lao Tse, Kong Fu Tse, Sidharta Gautama sampai ke Mao Zedong kembali dibicarakan. Di kalangan Islam Timur Tengah, nama-nama Ibnu Sina dan Al-Ghazali sudah mewacana di kalangan intelektual Islam.

Namun, sekarang bagaimana dengan Indonesia? Adakah di negeri yang memiliki banyak etnis muncul pemikir sosialnya? Nampaknya masih perlu dicari kembali orang-orang seperti Kuntowijoyo. Dia dikenal bisa mengimbangi pemikiran barat dengan ide-ide lokalitas Jawa dan Islam dalam sastra profetiknya. Dalam ilmu sosial dan politik pula ada nama Tan Malaka. Dia satu-satunya tokoh yang mau membumikan pikiran-pikiran filsuf seperti Hegel dan Karl Marx. “Kita masih butuh orang-orang seperti itu,” ucap Irfan yang tengah menempuh studi S-3 Ilmu Susastra di Universitas Indonesia.

Apakah bisa? Ide ini yang ingin dibumikan oleh Irfan. Dia berpendapat tentang filosofi Sunda yang bisa diteruskan pada tataran yang lebih teoretis dan bisa diterjemahkan untuk menganalisa kondisi kesastraan di kawasan lokal Jawa Barat. Untuk Indonesia? Pasti ada potensi lokal yang bisa dikembangkan. Dan apakah urgensinya? Berikut obrolan Kampus dengan kawan yang juga duduk sebagai Ketua Umum Forum Lingkar Pena. Sebuah forum kesusastraan. Wawancara dilakukan di rumahnya di bilangan Riung Bandung, Minggu (7/9).

Apa maksud wacana lokalitas sebagai dasar pemikiran pembedahan sastra di Jawa Barat?

Banyak dosen yang kuliah di luar negeri lalu pulang membawa oleh-oleh berupa pemikiran tentang cultural studies, dekonstruksi, post kolonial, dan lain-lain. Yang juga sedang tren di Universitas lain di Indonesia. Itu sudah banyak. Tetapi yang belum ada adalah penggalian-penggalian identitas lokal. Jarang sekali ada yang membongkar nilai-nilai dan pemikiran lokal ini. Jadi semacam tabu untuk berefleksi pada kultur lokal. Dan, seharusnya Unpad bisa mengangkat soal Sunda. Bahwa Sunda memiliki nilai estetika dalam karya sastra. Ini tantangan berat karena konon objektif dan ilmiah itu harus dari barat.

Kenapa tidak ikut tren?

Kalau ikut dalam tren pemikiran yang sudah itu kan sudah banyak dan tidak aneh. Kalau kita memilih Sunda karena beberapa alasan. Pertama, Unpad berada di tatar Sunda sehingga sudah seharusnya memandang nilai-nilai kesundaan. Kedua, tentu saja bakal menjadi ciri khas buat Unpad sendiri. Kalau melihat keseluruhan fakultas sastra memang ada banyak nama yang menguasai mazhab-mazhab post struktural. Tetapi wajah fakultas sastra bukan ditentukan oleh satu-dua jurusan. Buat Sastra Indonesia masih berpolemik di situ.

Polemik itu maksudnya bahwa saya sendiri melihat bahwa ada sesuatu yang bisa digali. Itu terkait dengan tradisi lokal. Menurut saya, itu memang bisa diajarkan tetapi teori-teori yang belum tercipta di Indonesia dan Sunda ini harus tetap dipikirkan. Kadang kita menerapkan teori barat dengan konteks sosial dan sastra Indonesia. Apakah tepat secara akar permasalahan? Kita tahu teori-teori itu muncul dari masalah sosial di wilayah mereka sendiri. Seperti contoh, apakah sama mengupas masalah perempuan di Indonesia dengan di Eropa. Tetapi dengan pukul rata, karena tren teori-teori itu dipakai begitu saja.

Apakah karena kita kekurangan pemikir teori kebudayaan atau sastra sendiri?

Memang seperti itu. Ahli sastra yang peduli pada manusia Indonesia sudah habis. Dulu, misalnya, ada Mochtar Loebis, dan Kuntowijoyo. Tetapi mereka habis bersama dengan ketiadaan mereka. Sekarang siapa yang sisa?

Habis karena apa?

Itu teks njelimet sekali. Bisa ada politik, hegemoni kebudayaan, yang dengan mudah sekali barat mencuci otak kita. Paling mudah adalah dengan beasiswa ke luar negeri yang menjadi bagian cara-cara untuk menyebarkan nilai-nilai mereka. Hasilnya, output dalam pemikiran sama saja. Mereka belajar hal yang sama sebagai tren. Estetika lokal cuma dicangkokkan pada aliran besar teori-teori tadi. Filosofi mendasar jarang sekali digali sampai ke tataran teori. Ambil contoh Kuntowijoyo. Saya ambil dia dalam tesis saya. Dia menarik ketika mencoba melawan barat walaupun dengan sederhana tetapi sudah mulai berteori.

Apa karena para doktor itu tidak mau berfilosofi?

Karena ada budaya luhung dalam berteori itu harus ke barat. Saat saya melakukan tesis estetika sastra profetik itu sebagai landasan untuk mengkritik. Tetapi ditanya siapa dia? Apakah sudah teruji teorinya? Saya yakin banyak pemikir kita seperti Ajip Rosidi itu banyak teori yang terkandung dalam tulisan-tulisannya. Begitu pula dengan Goenawan Mohamad. Sudah harus mulai melacak pemikiran mereka.

Kaitan dengan memunculkan para ahli sastra dan pemikir kebudayaan di Unpad, apa sebenarnya misi Sastra Indonesia?

Kondisi yang tidak hanya dari luar. Oleh orang dalam memang menjadi problem bersama. Karena di era sekarang, institusi pendidikan harus mengeluarkan produk/keluaran yang layak pasar. Sudah cenderung ke materialis. Makanya sudah ada BHPMN. Parameter pasar ini sudah banyak pengkajian yang melahirkan perombakan kurikulum dan kegiatan yang meningkat intelektualitas. Dan mulai menyentil mahasiswa yang tidak mau berkomunitas.

Komunitas mahasiswa, saat saya kuliah, itu banyak sekali. Dan bisa ada majalah terbitan-terbitan mahasiswa sebagai ruang aktuliasasi intelektualitas kesastraan. Itu menjadi PR buat hari ini. Kenapa? Karena dilihat oleh masyarakat banyak lulusan sastra menuju ke tataran praktis. Kalau editor banyak, pengajar di bimbel banyak, dosen juga banyak. Tetapi dalam hal-hal yang kurang populer.

Sementara itu, stigma masyarakat dan visi jurusan mengeluarkan lulusan-lulusan yang menjadi ahli keilmuan murni. Tetapi sebagian tidak tercapai karena budaya menulis yang agak kurang. Menulis dan baca itu kurang. Tetapi kalau dari sisi teori itu bisa dikuasai.

Bekerja di ranah yang tidak populer itu karena dikondisikan?

Sudah jelas karena pengondisian yang kurang. Saya kira ini karena efek pindah ke Jatinangor. Kreativitas di sini seperti mati. Dalam artian, fasilitas dan rasa tempat.

Kira-kira bisakah dikondisikan dengan sistem?

Itulah yang sedang dicoba dengan adanya kurikulum baru. Katakanlah dulu tidak ada kajian komik, sekarang ada. Lalu ada penulisan kreatif juga. Itu dicoba dan digulirkan. Imbasnya memang kelihatan. Walaupun masih minim tetapi ada aktivitas dari mahasiswa, misalnya, komunitas sastra muncul lagi. Masalahnya, adalah jaringan mereka ke media agak kurang. Mereka jarang menyampaikan karya mereka ke media. Pernah ada tetapi pelan-pelan menghilang. Kayaknya tidak bisa mempertahankan diri mungkin karena ada kebutuhan lain. Inikan masalah kebertahanan di dunia literasi. Ini kan PR buat fakultas sastra untuk menanamkan etos bahwa menulis itu seorang bisa bertahan dengan finansial. Kalau dia bisa melewati masa-masa krisis.

Antara linguistik dengan sastra, saya sering mendengar dari mahasiswa seperti ada pembedaan. Yang satu “keren” dan yang lain tidak. Menurut Anda?

Paling banyak memang 10 orang yang masuk ke sastra. Karena dianggap rumit tidak seperti linguistik. Bukan rumit sebenarnya tetapi karena teori-teori kebudayaan berkembang sangat cepat. Sastra di jurusan Sastra Indonesia dianggap jurusan untuk orang-orang yang suka baca, menulis, dan berdiskusi. Apakah ini berat? Saya kira tidak.

Akan tetapi saat ini saya lihat sudah ada peleburan. Artinya yang belajar di linguistik juga sudah bicara wacana-wacana subjektif seperti analisis wacana, dekonstruksi, dan lain-lain.

Kalau penjurusan sastra memang diperhitungkan di Unpad, adakah keinginan program studi menyediakan bahan bacaan seperti “Horizon”?

Di sastra Indonesia itu memang tidak ada. Paling-paling dilakukan oleh individu. Itu sebenarnya parameter selain koran dan jurnal-jurnal. Ada jurnal sastra di kampus tetapi periodisitasnya kembang-kempis. Namanya Ukula. Dari kebiasan membaca dan mengolah potensi-potensi lokal, menjadi lebih penting adalah meneruskan kembali tradisi ilmiah. Memunculkan kembali para pemikir yang mau menggali kembali filosofi lokal.***

Leave a Reply

Bahasa ยป