Ratun Untoro
http://mdopost.com/
PEMEKARAN daerah baru digagas untuk mendekatkan institusi negara dengan rakyat serta memberi pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Namun, tujuan itu tidak akan pernah tercapai jika cara menangani masyarakat masih disamaratakan. Daerah baru hanya akan memunculkan birokrat baru/pemerintah baru bukan pemerintahan baru/kebijakan baru yang sesuai dengan kondisi masyarakat.
Oleh karena itu, selain menyiapkan struktur organisasi pemerintahan, wajib pula disiapkan model pengambilan kebijakan (pembangunan) yang disesuaikan dengan karakteristik masyarakat setempat.
Bolaang Mongondow Utara, sebuah wilayah hasil pemekaran dari Kabupaten Bolaang Mongondow diresmikan pada 23 Mei 2007. Daerah itu merupakan wilayah bekas kerajaan Bintauna (Dinasti Datunsolang) dan Kaidipang Besar (Dinasti Pontoh). Kerajaan Kaidipang Besar sendiri merupakan gabungan kerajaan Bolangitang dan kerajaan Kaidipang pada tahun 1912. Hanya satu raja yang sempat memerintah kerajaan Kaidipang Besar, yaitu Raja Ram Suith Ponto(h) karena pada tahun 1949 kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara keburu dihapus oleh pemerintahan NKRI, kecuali Kesultanan Jogjakarta dan Kesultanan Ternate.
Sebagai bekas wilayah kerajaan, Bolaang Mongondow Utara pernah mengenal konsep dualisme: bangsawan?rakyat jelata atau priyayi?kawula dalam konsep Jawa. Sementara itu, di kerajaan Kaidipang Besar terdapat tiga kelas sosial besar, yaitu kelas Kohongia, kelas Bangusa, dan kelas Ata.
Kelas Bangusa sendiri memunyai empat strata sosial, yaitu: kelas Ponimbalo, kelas tenga, kelas Hiti, dan kelas Soangolipu. Meski tidak lagi digunakan, tetapi sampai saat ini pengaruh pembagian kelas sosial itu masih terasa. Konsep kelas sosial itu memengaruhi segala perilaku masyarakatnya antara lain mengenai perlakuan dan penghormatan baik antarkelas sosial maupun sesama kelas sosial.
Hubungan kedua kelas sosial itu bahkan mengarah pada hubungan patron?klien (tuan?abdi). Patron memberikan sesuatu yang protektif dan bersifat individual, sedangkan klien melakukan penghormatan dan loyalitas.
Lebih menarik lagi, bagaimana pribadi-pribadi yang ada di posisi kelas itu memandang dan memaknai dirinya. Apa yang dilakukan para bangsawan (kohongia) adalah dalam rangka menunjukkan kekuasaan dan perbedaannya dengan kelas bangusa dan ata, seperti upacara-upacara adat yang dibuat mewah dan besar (upacara kelahiran, upacara perkawinan, upacara kematian, dan lain-lain).
Sementara itu, Kohongia (raja dan priyayi: kraton) melihat bangusa dan ata (kawula) sebagai wong cilik yang tidak memunyai simbol kekuasaan, oleh karenanya rendah, kasar, dan tidak terpelajar (Kuntowijoyo, 2004:9). Cara pandang kraton terhadap kawula tersebut sangat berpengaruh pada sikap dan tingkah laku kawula sendiri. Kawula akan memandang kohongia melalui sejumlah sikap dan tingkah laku tertentu seperti cara berbicara dan cara bertindak.
Cara ini menegaskan bagaimana kawula memandang dirinya sendiri. Di bawah sadar, kawula memerlakukan dirinya sebagai orang yang rendah, kasar, dan bodoh sehingga ada suatu impian untuk menjadi pandai, kaya dan berkuasa seperti halnya para kohongia. Kawula melihat bahwa apa yang diperbuat dan dimiliki oleh bangsawan kraton adalah baik, benar, dan patut dijadikan norma hidup yang pantas diidam-idamkan. Tingkah laku dan gaya hidup priyayi adalah pola ideal kehidupan (Kayam, 1989). Etiket hidup yang baik adalah yang sesuai dengan etiket hidup kraton. Seperti diungkapkan Kartodirjo (1987), istana merupakan pusat yang harus diikuti, bukan hanya dalam hal pemerintahan, tetapi juga termasuk bahasa, etika, dan tingkah laku.
Dengan demikian, mentalitas masyarakat Bolaang Mongondow Utara (sebagai bekas kerajaan) memerlukan sentuhan-sentuhan khusus yang tidak bisa diperlakukan sama rata dengan daerah lain. Mentalitas sendiri adalah hal-hal yang antara lain berhubungan dengan perasaan, impian, ilusi, citra kolektif, endapan ajaran-ajaran lama di kalangan rakyat, pandangan, sikap, dan perilaku (Kuntowijoyo, 2004:xxiii). Membicarakan mentalitas masyarakat berarti membicarakan bawah sadar mereka, menggambarkan perilaku otomatis masyarakat sebagai manifestasi dari bawah sadar itu.
Mentalitas itu mawujud dalam konsep-konsep kepribadian yang disebut persona oleh Carl Gustav Jung (1970). Menurut Jung (1970), kepribadian merupakan hasil pengalaman-pengalaman kumulatif masa lampau yang jauh ke belakang sampai asal-usul manusia yang samar dan tidak diketahui. Kepribadian manusia merupakan warisan leluhur yang akan membimbing tingkah laku dan menentukan apa yang disadari dan diresponnya dalam dunia pengalamannya.
Pemerintahan baru Bolaang Mongondow Utara sebagai daerah pemekaran bekas wilayah kerajaan perlu mengadakan penelitian yang berupaya mengungkap mentalitas dan karakteristik masyarakatnya. Pengetahuan akan karakteristik masyarakat setempat itu dapat dijadikan acuan kebijakan dan arah pembangunan. Dengan demikian, tujuan pemekaran wilayah dapat tercapai dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat setempat.
Berikut ini contoh beberapa kosakata yang diduga masih memengaruhi pola pikir masyarakat atas adanya kelas sosial di Bolaang Mongondow Utara.
Abo = bangsawan putra
Buki = bangsawan putri
Giomu = tarian khas Kaidipang Besar disajikan saat ada pernikahan bangsawan
Jere = makam bangsawan Kaidipang
Jogugu = putra mahkota
Komaligu = istana raja
Noilang = mati untuk raja
Paserey = seragam pakaian para istri raja Kaidipang Besar
Pasmeng = baju kebesaran bangsawan kerajaan Kaidipang Besar
Pupuho = sebutan kasar kelas ata (budak).
Kelas ata ini bisa dijadikan sebagai harta untuk meminang putri raja (perbudakan ini telah dihapus oleh kerajaan Kaidipang Besar). Selain itu ada beberapa peralatan yang memunyai kegunaan sama, tetapi berbeda penyebutan untuk pemilik bangsawan.(*)