Agus Noor *
jawapos.co.id
Sepertinya, ada yang hilang dalam Euro 2008. Drama! Saya sangat setuju dengan pendapat Robert Coover bahwa ada sifat teater dalam permainan bola. Lapangan adalah panggung dan pertandingan adalah alur dramatik berdurasi 2 x 45 menit plus injury time. Setiap pertandingan menjadi menarik karena menampilkan drama dan suspense berbeda. Sifat teater itulah yang membuat sebuah pertandingan semakin menarik bila memenuhi aspek dramatik di dalamnya. Itulah, yang sampai saat tulisan ini saya buat, terasa hilang di panggung Piala Eropa kali ini.
Kemenangan Turki atas Kroasia di perempat final pada Sabtu (21/6) dini hari memang dramatis, tapi belum bisa dikatakan sebagai sebuah drama sebagaimana disyaratkan oleh Coover, yang berujung pada “tragedi”. Dan tragedi, kita tahu, adalah puncak ekstase pertunjukan teater.
Kita memang terhibur dengan permainan apik atraktif Belanda di dua pertandingan saat mengempaskan Italia dan Prancis. Tetapi, dua pertandingan tersebut sekadar pertandingan yang enak ditonton karena kurangnya “sifat teater” di dalamnya. Bila teater adalah proses sebuah peristiwa, proses bagaimana terjadinya gol itu menjadi lebih mengesankan ketimbang berapa jumlah gol yang tercipta. Sejarah akan mengenang proses gol tersebut sebagai sebuah peristiwa teater, sebagaimana gol van Basten di Piala Eropa 1988 yang membawa Belanda kampiun di Eropa. Atau “gol tangan Tuhan” Maradona ke gawang Inggris di babak perempat final Piala Dunia 1986. Itulah elemen dramatis dari proses terciptanya gol. Itulah yang membuat sepak bola menjadi menarik.
Sifat teater pada sepak bola membuatnya seperti panggung kehidupan sesungguhnya. Manchester United menamai Stadion Old Trafford, kandang mereka, dengan “theater of dreams”. Sebagai satu teater, misteri sepak bola terletak pada kejadian-kejadian yang berlangsung di atas panggung-lapangannya. Sepak bola bukanlah persoalan data, lanjut Coover. Ia adalah kesan dan gambaran yang ditimbulkan oleh para aktor lapangannya. Maka, statistik dan data tak pernah memberikan kesan dramatik apa pun. Bukan berapa skor yang tercipta dalam pertandingan, itulah yang membuat sepak bola berbeda dengan basket yang saling berkejaran mendulang angka. Pertandingan-pertandingan bola yang menjadi klasik dan abadi dalam kenangan, kadang miskin gol, tetapi momentum dramatiknyalah yang membuatnya terasa tetap agung ketika kita menyaksikan (rekamannya) lagi.
Apakah Anda ingat pada pertandingan dengan jumlah gol terbanyak? Saya kira, Anda pasti tidak tertarik pada kenyataan statistik ini: klub Olympos Xylofagou pernah mengalahkan SEK Ayios Athanasios 24-3? Atau, apakah Anda terkesan dengan catatan rekor kemenangan Australia yang berhasil menjaringkan 31 gol tanpa balas ke gawang American Samoa pada 11 April 2001 di Coffs Harbour? Tapi, Anda pasti tetap merasakan kesan dramatis dari tandukan Zidane ke Materazzi saat final Piala Dunia 2006 di Berlin. Meski, pertandingan tersebut hanya menghasilkan dua gol (1-1) hingga masa perpanjangan waktu. Dan ketika pertandingan itu diakhiri dengan adu penalti (5-3 untuk Italia), toh banyak yang menganggap puncak dari semua drama tersebut sesungguhnya ada pada peristiwa tandukan Zidane itu. Tandukan yang kemudian makin membuat dramatis rivalitas Prancis dan Italia. Drama tandukan itulah kini yang kembali dikenang ketika Prancis dan Italia bertemu di Piala Eropa 2008 untuk sebuah pertandingan hidup mati.
Sepak bola bukanlah perlombaan mencetak gol. Itulah sebabnya kenapa olahraga tersebut tidak begitu disukai orang Amerika yang pragmatis dalam memahami olahraga. Dalam pandangan pragmatis seperti itu, yang penting adalah skor atau rekor. Makin banyak skor dan makin cepat sebuah rekor dipecahkan menjadi tujuan utama. Mereka yang masih percaya pada jumlah gol tidak bisa memahami rahasia keindahan sepak bola. Bahkan, Rinus Michels, si penggagas total football, menegaskan bahwa permainan sepak bola “puting beliung” bukanlah sebuah cara untuk mencetak gol sebanyak-banyaknya. Total football adalah sebuah visi bagaimana memainkan sepak bola yang menarik dan menghibur. Ia juga sebuah filosofi bahwa permainan itu adalah pertarungan untuk menguasai, mendikte, dan membawa alur permainan. Itulah cara melumpuhkan lawan, dengan keterpesonaan, dengan kegentaran.
Dalam sifat teater yang dimiliki sepak bola, itu adalah cara untuk menjadi tokoh utama di lapangan. Total football ialah Oedipus yang ingin menentukan nasibnya sendiri meski harus menanggung tragedi, sebagaimana Belanda yang selalu bermain mengesankan tetapi mengalami akhir tragis di Piala Dunia yang belum pernah dimenanginya. Tapi, bukankah tragedi yang ditanggung Belanda itu justru membuat kita sering merasa bersimpati dan makin menyukai? Sebab, kita tahu Belanda bermain bola tidak sekadar mencetak gol, tetapi mempertontonkan cara membuat gol yang pantas dikenang.
Begitulah, setelah peluit ditiup di akhir pertandingan, yang tersisa dalam ingatan adalah drama. Yang dibicarakan di kafe-kafe atau warung-warung pinggir jalan ialah alur dramatik pertandingan, insiden dan suspense, yakni klimaks-klimaks kejadian yang bahkan masih membuat kita menghela napas tertahan atau dipenuhi ketakjuban yang tak kunjung bisa kita pahami. Kita kadang terkejut karena menemukan hal-hal yang sulit kita rasionalisasi. Tetapi, seperti ditegaskan oleh John Lanchester, irasionalitas itulah yang justru membuat sepak bola memiliki keindahan mendalam. Setiap orang akan menemukan sendiri sebuah rahasia dalam pertandingan tersebut. Sebagai sebuah teater, tegas Coover, sepak bola menjadi semacam “pertunjukan moral tanpa sebuah akhir”.
Maka, peristiwa di panggung lapangan membuat kita bisa merefleksikan kehidupan. Atau, sedikitnya bisa menyediakan gosip legit bagi kehidupan kita. Seperti ketika Bastian Schweinsteiger kena kartu merah setelah terjadi insiden kecil dengan Jerko Leko saat Jerman lawan Kroasia, yang membuat Jerman tidak hanya terjerembap “kalah makin dalam”, namun juga menjadi “punya makna lebih dalam”. Atau, ketika wasit Howard Webb memberikan penalti kepada Austria saat melawan Polandia, padahal waktu sudah memasuki injury time dan Polandia tengah unggul 1-0. Itu bukanlah pertandingan menarik, tetapi tetap dibicarakan karena kontroversi penalti tersebut. Apalagi ketika Perdana Menteri Polandia Donald Tusk ikut geram terhadap Webb dan “ingin membunuhnya”.
Peristiwa-peristiwa yang lebih dramatis, yang lebih menyediakan unsur-unsur teatrikal, pastilah lebih sering terjadi lagi di babak selanjutnya. Itulah babak pada drama yang lebih misterius dan dalam. Sebab, segalanya seakan dipertaruhkan. Bukan kekalahan atau kemenangan sebenarnya, mengutip Chairil Anwar, “yang menusuk kalbu”, yang menyakitkan. Tetapi, drama kenapa kalah dan kenapa menang itulah yang akan membuat kita makin belajar menghayati sebuah momentum peristiwa. Itulah yang membuat kita menjadi mungkin menemukan dan mengalami katarsis. Sebagaimana teater, keagungan sepak bola memang ada pada puncak katarsis tersebut.
“Apalah arti kemenangan,” kata seorang kawan. “Toh, semua itu hanya fana.” Kekalahan dan kemenangan mungkin memang fana. Tetapi, dengan sepak bola, kita berupaya memberikan makna pada yang fana itu. Atau, seperti larik sebuah puisi: kita berusaha membikinnya abadi.
***
*) Cerpenis dan penulis naskah drama Matinya Toekang Kritik, Sarimin, Sidang Susilo, dll. Tinggal di Jogja.