Setyo Budiantoro*
ttp://www2.kompas.com/kompas-cetak/
YB Mangunwijaya, Rumah Bambu, Kepustakaan Populer Gramedia, 2000, 218 halaman
JANGAN pernah membayangkan buku ini akan bercerita tentang perjuangan anak manusia yang memperjuangkan idealisme, seperti Minke dalam tetralogi dashyatnya Pram. Jangan pula merujuk Nietzche yang mencoba gigih “membunuh” Tuhan. Pokoknya, jangan merujuk penganut eksistensialisme yang mencoba menjadikan dirinya sendiri sebagai seorang pribadi. Bila Anda masih membawa perspektif itu ketika membaca buku ini, maka Anda akan kecewa, bahkan kecewa berat.
Hampir semua tema buku ini merupakan kisah kehidupan orang-orang kalah, yang mungkin tak pernah kita bayangkan. Mereka yang terpaksa mengisi spasi antara kelahiran dan kematian dengan hanya bertahan serta menelan kepahitan dan kekalahan.
Buku ini akan menantang kita merasakan dan berempati pada kegetiran “kaum lapar, kaum yang terhina”, yang bila dalam lagu Internationale disebut sedang dirantai. Buku ini akan membawa kita kembali pada rasa kemanusiaan yang terkikis dan pudar akibat “politik horor”, seperti disebut oleh Yasraf Piliang, di mana telah menjadikan korban manusia dan kerusuhan sebagai bargaining politik.
Kumpulan cerpen yang tergabung dalam Rumah Bambu ini merupakan refleksi dan pengalaman batin manusia yang tergugat nuraninya, melihat lingkungannya. Sosok manusia yang begitu pekat kemanusiaannya, yang dalam Mendidik Manusia Merdeka oleh Arief Budiman dikatakan kebetulan adalah seorang rohaniwan. Itulah penulis buku ini, rohaniwan YB Mangunwijaya yang lebih dikenal dengan sebutan Romo Mangun.
Sosok Mangun itulah yang diperlakukan sangat tidak layak oleh aparat, ketika ia dengan gigih membela tumbal “pembangunan” di Kedungombo. Dialah orang yang sering gelisah bila hari hujan, membayangkan nasib anak-anak gelandangan yang tidur di emperan toko .
Mangun itu sederhana, lembut, mudah terharu dengan penderitaan orang lain, tetapi kalau perlu, bisa juga keras seperti halnya, mogok makan ketika penghuni penggiran Kali Code digusur. Rohaniwan Katolik yang jangkauan religiositasnya melampaui batas-batas komunitas agamanya.
***
RUMAH Bambu merupakan kumpulan cerpen Romo Mangun yang pertama dan terakhir kali diterbitkan. Dua puluh cerpen yang ada dalam buku ini, banyak bercerita tentang peristiwa-peristiwa yang kelihatan sederhana, sepele, dan mungkin remeh. Cerita-cerita tentang mereka yang tersingkir dan terpinggirkan akibat buasnya jagat kapitalistik. Namun walau banyak bercerita tentang orang kalah, di sana ada pula kesetiaan, pengorbanan, solidaritas, harapan, religiositas, kejenakaan, di samping (tentu saja) kepahitan.
Dalam cerpen Mbah Benguk, Pagi Itu, dan Hadiah Abang Mangun mengilustrasikan kesetiaan dan solidaritas di antara kaum tersisih. Sebuah pengorbanan yang mungkin kecil dan remeh, namun begitu besar bagi mereka yang sama-sama tak mampu.
Dengan ceritera-ceritera macam itulah rohaniwan tersebut menyampaikan pesan tentang pentingnya solidaritas. Bantuan walaupun kecil, bisa jadi sangat bermakna bagi mereka yang tengah membutuhkan.
Kepekatan kemanusiaan Romo Mangun begitu kental terlihat ketika mengkisahkan Puyuk Gonggong (hal 166), yang ditulis di Kedungombo. Sebuah cerita yang biasa terjadi di kerajaan Mataram, di mana lawan kalah akan ditumpas habis, bukan saja keluarganya melainkan juga sampai pengikutnya pun dibunuh. Tulisan itu jelas merupakan gugatan nurani terhadap Orde Baru, yang melakukan tumpes kelor pada mereka yang dicurigai sebagai pengikut komunis. Sebuah tindakan yang sangat tidak manusiawi pada bangsa beradab.
Religiositas dan harapan dapat dijumpai pada Natal 1945 dan Tak Ada Jalan Lain, dua buah cerita yang begitu jenaka namun mengharukan. Dua kisah tersebut serta karya Romo Mangun yang lain misalnya Burung-burung Manyar akan menunjukkan perbedaan karya Mangunwijaya dan “sang maestro” Pramudya Ananta Toer.
Karya Pramudya kebanyakan berakhir secara dramatis, bahkan begitu tragis, setelah itu seakan berhenti. Hal itu dapat dijumpai misalnya pada tragisnya akhir nasib Minke dalam Rumah Kaca, yang mati dalam sepi. Lewat karya itu Pram seolah berseru, begitulah hidup (perjuangan) yang terkadang memang getir dan pahit.
Kita bisa maklum pada kesuraman cerita yang disuguhkan oleh Pram, sebab dia pun mengalami pengalaman suram yang cukup panjang: dianiaya rezim Orde Baru, bahkan dipenjara dan dibuang bertahun-tahun ke Pulau Buru, tanpa ada pengadilan dan alasan jelas.
***
KISAH-kisah dramatis karya Romo Mangun berbeda. Tidak buntu. Walau sedih tetapi di sana masih tetap ada harapan. Kesan itu kentara antara lain pada karya yang (walaupun) berjudul Tak Ada Jalan Lain. Meski kisahnya terkesan putus asa, namun tetap masih ada rasa syukur terhadap apa yang diberikan Tuhan yang belum dimaksimalkan. Begitu pula dalam Natal 1945, sebuah kisah jenaka, mengharukan, serta terkesan tragis.
Sebagai seorang rohaniwan, tentu saja Romo Mangun begitu giat aktivitas berhubungan secara transenden (kepada Sang Pencipta). Pada titik itulah, kepasrahan dan harapan kepada Pencipta tetap menyala.
Itulah sumber religiositas yang membuatnya tetap optimis dan berharap. Hidup terkadang memang tidak linier, selalu ada faktor X yang menjadi perubah kehidupan. Hal itu misalnya kita jumpai pada “lengsernya” Presiden Soeharto, yang sama sekali tak dapat dibayangkan sebelumnya.
Romo Mangun memang selalu optimis. “Segala sesuatunya akan menjadi baik, semua akan menjadi baik,” ucapan Anthony de Mello, yang mungkin juga diyakini Romo Mangun sehingga tetap optimis dan berharap.
Rumah Bambu ini begitu sarat makna, ia bisa menjadi oase bagi nurani yang dahaga. Buku ini akan membawa kita pada keheningan untuk membuka mata hati dan mengasah nurani yang ditumpulkan oleh kebuasan zaman.
Terlalu sayang bila dilewatkan. Buku ini merupakan karya orang besar (dalam idea dan praksis) yang bangga dengan “status sosial”-nya sebagai seorang manusia biasa, manusia sehari-hari, walau banyak orang mengakui bahwa dia adalah seorang budayawan dan pemikir terkemuka.
*) Pengamat buku, tinggal di Yogyakarta.