Maria Magdalena Bhoernomo *
kr.co.id
BEBERAPA waktu lalu di Kudus ada acara “sosialisasi” sebuah buku antologi puisi dengan cover dua sisi: satu sisi berjudul “Nyanyian Sepasang Daun Waru” karya Thomas Budi Santoso (Kudus), satu sisi lagi berjudul “Dunia Bogam Bola” karya Sosiawan Leak (Solo). Penerbitnya Indonesia Tera, Magelang 2007.
Jika kita secara sembarangan memegang buku tersebut untuk membacanya tidak akan terbalik karena buku tersebut memiliki dua sisi bolak-balik. Buku tersebut agaknya bisa menjadi “barang bukti” sastra Kudus dan Solo telah lama “terlibat affair”.
Artinya, perkembangan sastra Kudus dan sastra Solo memiliki ikatan batin yang dapat mengikis kendala ruang, waktu, kelas sosial ekonomi dan lain sebagainya. Layak dicatat, Thomas Budi Santoso penyair gaek kelahiran tahun 1944. Sedangkan Sosiawan Leak penyair paruh baya kelahiran tahun 1967.
Jika sehari-hari penyair yang disebut pertama berkendaraan mobil mewah dan hampir seluruh waktunya dihabiskan sebagai direktur produksi perusahaan rokok terbesar di Kudus, penyair kedua berkendaraan angkutan umum dan hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk berdeklamasi dari kota ke kota, dari propinsi ke propinsi dan bahkan pernah melancong ke sejumlah negara lain.
Paparan di atas sengaja penulis utarakan untuk mendeskripsikan “kemesraan” sastra Kudus dengan Solo yang boleh jadi membuat banyak orang terharu maupun cemburu. Terharu karena puisi ternyata mampu mengikis kesenjangan usia dan kelas sosial ekonomi.
Dalam hal ini, puisi agaknya dapat disamakan dengan cinta. Banyak manusia dari ruang dan waktu yang berbeda-beda bisa bertemu dan bermesraan karena cinta. Dengan terbitnya buku antologi puisi tersebut, perkembangan sastra Kudus dan Solo semakin meriah, dengan bentuk hubungan-hubungan yang lebih mesra lagi di masa-masa depan.
Harapan ini layak diungkapkan, sekarang sejumlah sastrawan Kudus sedang merancang proyek-proyek penerbitan buku antologi bersama yang berisi karya-karya sastrawan Kudus dengan karya-karya sastrawan-sastrawan Yogyakarta dan kota-kota lain untuk mencoba memeriahkan dunia sastra kita.
Dunia sastra kita pasti akan lebih meriah jika sastrawan-sastrawannya mampu menjalin “kemesraan” sebagaimana yang telah dibuktikan oleh kedua penyair tersebut di atas meski masing-masing berada di ruang yang berbeda-beda.
Selama ini dunia sastra kita nyaris selalu sepi senyap karena sastrawan-sastrawannya cenderung egosentris. Misalnya, banyak sastrawan yang sudah mapan merasa sungkan bermesraan dengan sastrawan pemula.
Selama ini, dunia sastra kita juga identik dengan kemiskinan. Banyak sastrawan kita (sebagaimana ditegaskan Rendra) yang hidupnya “gagah dalam kemiskinan”. Hal ini tentu bisa diperbaiki dengan menjalin hubungan mesra antarsastrawan yang memiliki perbedaan gengsi.
Meski risih untuk diungkapkan, banyak sastrawan daerah yang konsisten berkarya dalam kemiskinan, sehingga ratusan dan bahkan ribuan karyanya tidak pernah diterbitkan menjadi buku. Banyak karya sastra yang layak didokumentasikan dalam bentuk buku tapi karena kendala biaya cetak kemudian hanya memenuhi laci-laci meja masing-masing sastrawan.
Meski juga risih untuk diungkapkan, banyak sastrawan daerah yang semula setia berkarya tapi kemudian meninggalkan dunia sastra karena tidak tahan hidup miskin. Kisahnya persis seperti gadis-gadis cantik yang terpaksa menjerumuskan dirinya ke lembah prostitusi karena tidak tahan hidup miskin dan belum juga ada pangeran yang mampu mengentaskannya dari jurang kemiskinan.
Oleh karena itu, “kemesraan” antara sastra Kudus dan Solo sebagaimana yang telah dibuktikan layak dipopulerkan dan diikuti oleh banyak sastrawan lain agar banyak sastrawan tetap setia berkarya meski hidup dalam kemiskinan.
Bagi setiap sastrawan, hidup miskin atau kaya bisa menjadi urusan pribadi. Tapi bagaimana agar karya-karyanya bisa dibukukan dan kemudian dinikmati oleh publik luas soal lain yang harus diperhatikan oleh banyak pihak.
Jika tidak ada banyak pihak yang bersedia memperhatikannya, maka sastrawan-sastrawan yang telah hidup mapan seperti Thomas Budi Santoso selayaknya bersedia menjalin “kemesraan” dengan sastrawan-sastrawan lain yang hidupnya belum mapan.
Banyak karya sastra yang sangat mempesona merayakan ide-ide besar dan mengungkapkan romantisme yang indah-indah meski lahir dari lembah gelap kemiskinan. Sebaliknya, banyak karya sastra justru sangat kontemplatif mengekspresikan ritualisme dan sosialisme yang sangat mengharukan meskipun lahir dari puncak menara gading yang gemerlapan.
Selanjutnya, biarlah karya-karya sastra bermunculan dalam bentuk buku antologi bersama yang akan bicara sendiri-sendiri meramaikan dunia sastra kita.
*) Penikmat sastra, tinggal di Kudus.