Puasa dan Transformasi Sosial di Indonesia

Ahmad Munjin
suarakarya-online.com

Salah satu kepentingan terbesar Islam sebagai sebuah ideologi sosial adalah bagaimana mengubah masyarakat sesuai dengan cita-cita dan visinya mengenai transformasi sosial. Yakni, bagaimana mengubah masyarakat dari kondisi sekarang menuju keadaan yang lebih dekat dengan tatanan idealnya.

Meminjam frase Kuntowijoyo, sejarawan dan cendekiawan Islam Indonesia, elaborasi terhadap pertanyaan pokok semacam itu biasanya menghasilkan teori-teori sosial yang berfungsi untuk menjelaskan kondisi masyarakat saat ini, sekaligus memberi petunjuk tentang perubahan dan transformasinya.

Nilai-nilai Islam pada dasarnya mencakup semua penataan sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Tugas terbesar Islam sesungguhnya adalah melakukan transformasi sosial dan budaya dengan nilai-nilai itu (Islam). Kuntowijoyo mengutip surat al-Baqarah ayat kedua, yang menyebutkan bahwa bila manusia ingin menjadi muttaqin, hal pertama yang harus dilakukan adalah miliki iman, percaya kepada yang gaib, kemudian mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Dalam ayat itu kita melihat adanya trilogi iman-shalat-zakat, sementara formulasi lain kita mengenal trilogi iman-ilmu-amal.

Dengan memerhatikan hal itu, dapat disimpulkan bahwa iman berujung pada amal, pada aksi. Artinya tauhid harus diaktualisasikan. Pusat keimanan Islam memang Tuhan, tetapi ujung aktualisasinya adalah manusia.

Sedangkan puasa, sebagai salah satu rukun Islam, merupakan medium untuk menyemburatkan berbagai macam dimensi sosial yang sangat besar, meski ibadah puasa itu sendiri bersifat eksklusif antara sang makhluk dengan Pencipta-nya. Lalu, apakah transformasi sosial Islam dalam konteks Indonesia berhasil sebagaimana dicita-citakan oleh almarhum Kuntowijoyo, sejarawan dan cendekiawan Islam yang berpengaruh itu?

Sepengetahuan penulis, pada masa Kuntowijoyo hidup dan masih sehat, ia meyakini bahwa Islam bisa survive dalam industrialisasi, modernisasi dan globalisasi. Dikaitkan dengan masa kini, transformasi sosial Islam itu sejatinya berhadapan dengan apa yang disebut the Washington Consensus, yang sejauh ini melahirkan neo-liberalisme dengan segala dampaknya.

Neo-liberalisme adalah gagasan mengenai pasar bebas, di mana peran negara sangat minim, sementara liberalisasi ekonomi, privatisasi dan deregulasi gencar digerakkan.

Sejak pertengahan 1980-an sampai awal 1990-an, prinsip-prinsip itu mendominasi subtansi berbagai paket kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru. Melalui berbagai paket kebijakan itu, pemerintah Indonesia melakukan perombakan sistem fiskal, finansial, perdagangan, penanaman modal, pengaturan transpor dan berbagai bidang administratif lain, dengan tujuan mendorong beroperasinya mekanisme pasar bebas.

Dalam konteks berhadapan dengan the Washington Consensus itu, gagasan Kuntowijoyo mengenai transformasi sosial Islam merupakan gagasan yang brilian. Tetapi gagasan ini tidak didukung dengan modal yang dikelola dengan nilai-nilai ideal Islam. Gagasan ini berhadapan dengan apa yang oleh Karl Marx disebut sebagai suprastruktur.

Suprastruktur itulah yang kemudian menggagalkan transformasi sosial Islam di Indonesia, karena berhubungan dengan pemilik modal internasional. Yang terjadi kemudian adalah Islam itu sendiri terjebak pada objek kapitalisme di mana terjadi penggerusan nilai-nilai profetik, eksploitasi dan ketidakadilan.

Kapitalisme menyusup ke persoalan-persoalan yang sangat individual dan spiritual. Yang menggerakkan isu-isu keagamaan itu adalah para pemilik modal.

Jadi, nilai-nilai dari cita-cita transformasi Islam yang sejatinya dapat mengendalikan arah ekonomi umat dan bangsa malah menjadi sasaran empuk kapitalisme global yang sulit dielakkan lagi. Ini terjadi, ketika Indonesia masuk dalam sistem perdagangan internasional di satu sisi, dan sisi lain Indonesia tidak memiliki infrastruktur yang kuat untuk menopang pasar dan investasi.

Dari situlah terjadi privatisasi dengan segala risikonya. Hal itu terjadi karena Indonesia tidak memiliki modal kapital dan modal sosial yang cukup untuk membangun iklim ekonomi yang sehat.

Akhirnya pembangunan infrastruktur seperti jalan tol dan pelabuhan (lagi-lagi) diserahkan ke pihak swasta. Akhirnya risiko-risiko itu harus ditanggung oleh pihak-pihak yang bahkan tidak pernah ikut campur.

Tetapi kapitalisme, semakin banyak dikritik, semakin memperhalus cara kerjanya dengan menyeimbangkan antara gaji buruh dengan majikannya. Keseimbangan ini yang dapat meredam gejolak antara buruh dan majikan, di mana pertentangan kelas sebagaimana diramalkan Marx tidak terjadi.

Dengan demikian, di Amerika Latin nilai-nilai yang terkandung dalam agama Katolik berhasil menjadi inspirasi bagi transformasi sosial masyarakatnya yang membebaskan dari kemiskinan. Dalam konteks Indonesia, apa yang disebut dengan transformasi sosial Islam tidak dapat berhasil memberdayakan umat, baik berdaya secara ekonomi, politik, sosial ataupun budaya.

Tetapi bukan berarti bahwa nilai-nilai Islam, seperti puasa misalnya, tidak memiliki dimensi sosial. Karena dihadapkan pada kekuatan suprastruktur yang lebih besar lagi, yaitu rezim pemilik modal internasional, maka transformasi ini sulit sekali mengejewantah dalam kehidupan nyata.

Kenapa di Amerika Latin hal itu tidak terjadi? Jawabannya sederhana, karena Amerika Latin berpaling dari sistem ekonomi pasar bebas (neo-liberalisme), tidak seperti Indonesia yang masih memeluk paham neo-liberalisme tersebut.

Jadi, apa yang dicita-citakan oleh Kuntowijoyo sebelum beliau wafat, dengan apa yang disebut sebagai transformasi sosial Islam di Indonesia, akhirnya tidak dapat diwujudkan, atau setidaknya tertunda-tunda entah sampai kapan.
***

*) Penulis adalah peneliti muda Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina.

Leave a Reply

Bahasa ยป