Achiar M Permana
suaramerdeka.com
NYINYIR benar penyair Timur Sinar Suprabana saat menilai sastra Jawa kini. Dia bilang, karya sastra Jawa yang masih ada sekarang tak lebih tak kurang dari karya sastra Indonesia. Entah itu cerita cekak (cerkak), geguritan, atau genre lainnya. “Tak ada sastra Jawa! Yang ada, sastra Indonesia yang ditulis dalam bahasa Jawa,” ujar dia.
Pandangan miring Timur muncul pada sarasehan budaya Jawa di Galeri Gong Bojawi, Tembalang, baru-baru ini. Pada sarasehan selapan (35 hari-Red) sekali, malam itu memang khusus mengupas sastra Jawa.
Dosen Sastra Jawa Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Unnes, Sucipto Hadi Purnomo, yang juga Ketua Organisasi Pengarang Sastra Jawa (OPSJ), kajibahan jadi pemantik diskusi. “Sastra Jawa mestilah terikat aturan-aturan ketat. Bentuknya, misalnya, tembang, pupuh, atau kekawin,” katanya.
Karya sastra yang ada sekarang, nilai dia, “mencontek habis” karya sastra Indonesia. Cerkak serupa benar dengan cerita pendek (cerpen), sedangkan geguritan tak lain puisi bebas Jawa.
Sucipto memberikan definisi lebih bijak. Menurut dia, sastra Jawa tak lain adalah setiap karya sastra yang ditulis dengan bahasa Jawa. Namun penulis cerita bersambung Saridin Mokong di Harian Suara Merdeka edisi Suara Muria memiliki ungkapan menarik tentang sastra Jawa kini. “Sastra Jawa telah kelangan raga lan koncatan sukma, telah kehilangan identitas,” tegasnya.
Pengaruh Liyan
Waduh, ngeri betul? Raga sastra Jawa, kata dia, tak lain bahasa Jawa dan genre. Perkembangan bahasa Jawa, yang kian ”terkontaminasi” bahasa-bahasa lain yang lebih kuat dan hegemonik, membuat identitas sastra Jawa meluntur. Dalam soal genre, dia mengakui sastra Jawa tak bisa terlepas dari pengaruh sastra Indonesia dan bahkan sastra dunia. “Persoalannya, bagaimana sastra Jawa tetap bisa hidup dan berkembang di tengah impitan dan gerusan budaya liyan?” katanya.
Sejak Ki Padmosusastro menulis novel Rangsang Tuban (1912), pintu kebebasan sastra Jawa terbuka lebar. Padmosusastro tak lain sastrawan yang memproklamasikan diri sebagai ”tiyang mardika ingkang marsudi dateng kasusastran Jawi”.
Cipto menuturkan, tak soal benar pengaruh sastra Indonesia atau sastra dunia terhadap sastra Jawa. Sebab, sudah jadi takdir sastra Jawa sebagai produk budaya untuk “bergaul” dengan hal-hal di luar dirinya.
“Justru pergaulan dengan wilayah lain itu membuat sastra Jawa terus ada,” ujar dia.
Namun dia tak menampik penilaian tentang penurunan kualitas sastra Jawa sekarang dibandingkan dengan masa lalu. Paling kurang, sekarang belum lagi lahir sastrawan Jawa sekelas Mpu Kanwa, Mpu Tantular, atau Ranggawarsito.
Pada saat yang sama juga tak bisa divonis begitu saja bahwa sastra Jawa telah tiada. Namun, puaskah kita hanya membaca karya sastra Jawa berkualitas “tinimbang ora ana”?
***