Sastra, Lingkungan, dan Kearifan Lokal

Herdiyan*
http://www.pikiran-rakyat.com/

SAAT ini, masalah lingkungan cukup sering diperbincangkan. Lapisan ozon kini semakin menipis. Dengan terus menipisnya lapisan itu, sangat dikhawatirkan bila lapisan itu tidak ada atau menghilang sama sekali dari alam semesta ini. Tanpa lapisan ozon sangat banyak akibat negatif yang akan menimpa makhluk hidup di muka bumi ini, antara lain penyakit-penyakit akan menyebar secara menjadi, cuaca tidak menentu, pemanasan global, bahkan hilangnya suatu daerah karena akan mencairnya es yang ada di kutub utara dan selatan.

Berbagai simposium, seminar, dan pertemuan diselenggarakan untuk mengatasi masalah ini. Kesadaran mengenai pentingnya menjaga lingkungan terus dikampanyekan. Memang banyak cara yang harus dipilih untuk mengatasi masalah ini. Para ilmuwan memberikan berbagai masukan.

Para sastrawan pun ternyata tak ketinggalan untuk berperan serta dalam menanggulangi masalah ini. Para sastrawan dari berbagai penjuru dunia pun sejak dahulu telah ikut serta mengampanyekan persaudaraan terhadap lingkungan ini melalui karya-karyanya, seperti puisi-puisi Manyoshu yang memperlakukan alam sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Jepang. Atau karya-karya dari khazanah kesusastraan Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia yang sarat akan napas kerinduan pada alam.

Tema alam dan lingkungan merupakan suatu imajinasi yang telah banyak diproduksi oleh para penulis dan penyair. Maman S. Mahayana, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, menilai bahwa pengungkapan alam dalam kesusastraan Indonesia umumnya lebih banyak tercantum dalam tulisan-tulisan berupa puisi daripada novel ataupun cerpen, contoh puisi “Tanah Air” karya M. Yamin, puisi “Priangan Si Jelita” karya Ramadhan K.H., puisi-puisi karya Amir Hamzah, Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Abdul Hadi WM, Sapardi Djoko Damono, dan lain-lain. Akan tetapi, jumlah novel yang bertemakan alam juga lumayan banyak beredar sepanjang perjalanan kesusastraan Indonesia, misalnya Anak Perawan di Sarang Penyamun karya Sutan Takdir Alisjahbana, Upacara karya Korrie Layun Rampan, Arus dan Pulau karya Aspar Paturisi, karya-karya Ahmad Tohari (mulai dari Kubah, Ronggeng Dukuh Paruk, Di Kaki Bukit Cibalak, sampai pada Lingkar Tanah Lingkar Air), dan lain-lain.

Sastra, Lingkungan, dan Kearifan Lokal, adalah tema yang diusung pada Silaturrahmi Nasional Forum Lingkar Pena (Silnas FLP), 11-13 Juli 2008 lalu di Aula PPPPTK Bahasa, Jakarta. Sebagai sebuah organisasi kepenulisan besar di Indonesia, FLP terus menitikberatkan pada peningkatan kualitas menulis anggotanya. Maka anggotanya?bahkan setiap manusia yang hidup di muka bumi ini pun dituntut untuk peka terhadap sesuatu yang ada di alam semesta ini .

Untuk mengatasi masalah lingkungan di atas, yang diperlukan adalah mencoba bergerak melalui kesadaran transenden yang sama sekali muncul bukan karena sikap sporadis semata. Melainkan benar-benar cerminan dari identitas religius seseorang. Dengan demikian, akan muncul gerakan-gerakan yang kemudian bermuara pada karya-karya yang benar-benar menyuarakan kejernihan dan optimisme dalam menghadapi hidup.

Sebagaimana dikatakan Ketua Umum FLP Pusat, M. Irfan Hidayatullah, “FLP bukan bagian dari sastra chaos yang menyuarakan kehitaman dan kejanggalan psikologis manusia postmodern. FLP adalah penggagas sastra ?kosmos? yang menyuarakan kembali pada kesadaran yang sebenarnya sederhana di tengah gejolak kegelisahan masyarakat”.

Salah satu tujuan menulis adalah memengaruhi perasaan para pembaca. Maka dari itu, sangat diharapkan kontribusi optimal para penulis untuk menghasilkan karya-karya yang bertemakan tentang persaudaraan manusia dengan alam dan lingkungan dalam memperbaiki keadaan alam yang sangat tidak bersahabat saat ini. Alam dan lingkungan tidak bersahabat dengan manusia karena manusialah selama ini yang tidak bersahabat dengan mereka.

*) Mahasiswa Jurusan Sastra Arab Fasa Unpad, ketua FLP Jatinangor.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *