Aguslia Hidayah
http://www.korantempo.com/
Sajak Aku Berkisar Antara Mereka paling eksplisit merefleksikan visi Chairil Anwar tentang kota.
“Saya hanya akan menawarkan tafsir seorang pembaca, yang melihat Chairil Anwar sebagai subyek dalam landasan sebuah modernisasi. Bukan sebagai “aku” yang “individu”, tapi sebagai “aku” dalam posisi “subyek”. Bukan sebagai “aku” yang “dari kumpulannya terbuang”, bukan sebagai aku yang mencari kebebasan perorangan dari norma kolektif, melainkan “aku” yang merdeka dari segala hendak meneguhkan kepribadian yang kritis.”
Kata-kata ini ditulis oleh Ketua Dewan Kesenian Jakarta Marco Kusumawijaya dalam makalah yang disampaikan dalam diskusi “Mengenang Chairil Anwar” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis lalu. Acara itu sekaligus berkaitan dengan ulang tahun ke-481 Jakarta yang jatuh pada Juni ini. Ada sejumlah pembicara yang tampil selama dua hari, Kamis-Jumat, itu.
Pada hari pertama, dalam diskusi bertopik “Charil Anwar dan Sajak-sajaknya Serta Kaitannya dengan Kota Jakarta”, selain Marco, ada Goenawan Mohamad dan Arif Bagus Prasetyo. Sementara itu, pada hari kedua, bertajuk “Chairil Anwar Sebagai Sumber Inspirasi Kalangan Nonsastra”, diskusi menghadirkan pembicara Rizal Mallarangeng, Robertus Robet, dan Ihsan Ali-Fauzi. Semua diskusi itu berlangsung di Galeri Cipta II.
Bagi Marco, kemerdekaan yang dikehendaki Chairil bertujuan agar manusia dapat senantiasa terus membikin perhitungan dengan sekeliling, yang dalam proses modernisasi terus menekan, berubah cepat mengasingkan subyek. Atau sebaliknya, menghanyutkan, meleburkan subyek dalam landasannya, menjadi obyek. “Dalam sajak-sajaknya, modernisasi di kota itu gempita tapi membisukan, kelam tapi menggelisahkan, mendesak menekan tapi tidak mendengarkan, membawa banyak hal baru tapi mengasingkan.”
Goenawan Mohammad membahas tentang kota sekaligus desa dalam pandangan sejumlah sastrawan terkemuka, antara lain Mohammad Yamin, A. Hasymi, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Aoh Kartahadimaja. Merujuk sebuah sajak Aoh berjudul Ke Desa…, Goenawan mengatakan bahwa dalam sajak itu kota dan desa–yang berdampingan tanpa tembok pembatas–hadis sebagai kontras.
“Kota adalah sebuah kehidupan di mana manusia terasing dari kerja dan hasil kerjanya, bukan seperti para penumbuk padi, tak tampak berjerih payah,” katanya.
Pembicara lain, Arif Bagus Prasetyo, mengatakan, ketika menelisik hubungan Chairil Anwar dan Kota Jakarta, puisi Aku Berkisar Antara Mereka nyaris mustahil terlewatkan. Menurut dia, puisi itu paling eksplisit merefleksikan visi Chairil Anwar tentang kota. “Khususnya Jakarta, yang menjadi basis kreatif sekaligus tempat tinggal sang penyair hingga tutup usia pada dekade 1940-an.”
Tidak hanya diskusi, acara yang dikemas dalam tajuk “Chairil dan Kota” juga diwarnai dengan pembacaan puisi oleh sejumlah tokoh pada Jumat malam. “Pembacaan puisi oleh Rendra, Putu Wijaya, Niniek L. Karim, Iman Soleh, Andi Mallarangeng, dan Anies Baswedan,” kata salah seorang anggota panitia, Endru Aditya, Kamis lalu. Pembacaan puisi berlangsung di Teater Studio.