: Ingin Karyanya Diterjemahkan ke 100 Bahasa
Vien Dimyati
jurnalnasional.com
HELVY Tiana Rosa, perempuan dosen dan sastrawan muda Indonesia yang telah menulis lebih dari 45 buku. Berupa kumpulan cerpen, novel, cerita anak, drama, kritik sastra, kumpulan esai, kumpulan puisi, dan sejumlah antologi.
Sosok yang tergolong cuek dan nyantai kelahiran Medan, 2 April 1970, ini kerap diundang berbicara dan membacakan karyanya di dalam negeri. Bahkan, Helvy pernah diundang ke Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, Jepang, Hong Kong, Mesir, hingga Amerika Serikat, untuk berbicara mengenai karya sastra di hadapan mahasiswa asing.
Cerpen-cerpennya pun telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa, antara lain Inggris, Jerman, Perancis, Arab, Jepang, Swedia. Sejak karier kepenulisannya tahun 1990, Helvy telah memenangkan sedikitnya 20 kejuaraan tingkat nasional, di antaranya sebuah lomba esai yang memberinya hadiah Rp100 juta rupiah.
Ditemui di Universitas Negeri Jakarta, Helvi pun bersedia berbincang-bincang dengan Jurnal Nasional seputar profesi dan dunia sastra yang ia tekuni. Berikut penggalan perbincangan tersebut.
1. Dari kecil Anda sudah ingin jadi penulis?
Sebenarnya cita-cita saya dari kecil itu adalah saya harus dapat berbicara di hadapan orang banyak dengan baik, lancar, dan dapat menulis semua gagasan, pikiran-pikiran saya dengan baik dan lancar. Kemudian setelah kuliah, seperti kita ketahui, bahwa keterampilan kita itu memang harus ada empat. Kita harus terampil membaca, menyimak, berbicara, dan menulis. Dengan (ke-4) keterampilan yang saya miliki tersebut akhirnya saya manfaatkan untuk menulis dan membuat karya.
2. Inspirasi menulis dari mana saja?
Karena dari kecil saya sudah sadar bahwa menulis itu adalah bentuk keterampilan yang harus bisa kita lakukan dan kita kuasai, maka setiap kali saya menulis selalu ada inspirasi karena sedari kecil saya sudah banyak membaca karya sastra. Dari saya membaca, saya berpikir sebaiknya saya menulis. Akhirnya saya mencoba untuk menulis. Dari duduk di bangku kelas tiga Sekolah Dasar tulisan saya sudah dimuat. Meski mulanya saya membaca buku anak-anak. Buku-buku seperti Putu Wijaya, Budi Darma, serta sastrawan lainnya sudah menjadi langganan buku-buku sastra yang saya baca. Duduk di bangku SMP tulisan saya juga sudah dimuat di Koran Sinar Harapan. Buku yang paling menginspirasi saya menulis adalah buku Toto Chan.
3. Apakah bakat menulis memang sudah ada dalam diri Anda?
Saya termasuk orang yang tidak percaya pada bakat. Peran bakat dalam menulis itu hanya sebesar 10 persen, yang 90 persennya adalah tekad. Selain tekad, kita juga harus latihan. Meski orang tua saya memang memiliki darah seni, ayah saya penulis lagu, ibu saya penari. Tapi, saya merasa kemampuan saya dalam menulis karya-karya sastra ini karena dari tekad saya dan latihan. Karena, kalau tak ada latihan untuk menulis dan tidak ada tekad untuk menjadi penulis, sampai botak sariawan ingin jadi penulis tetap tidak akan jadi.
4. Mana lebih enak, jadi penulis atau dosen?
Penulis dan dosen, kedua profesi itu sangat mendukung. Karena, kebanyakan orang, siapa pun itu, tidak mengira bahwa kegiatan menulis sudah menjadi profesi saya sekarang ini. Sampai sekarang ini saya kalau ditanya pekerjaannya apa, pasti saya langsung jawab sebagai pengarang. Menjadi dosen itu bagi saya adalah hobi. Karena, penghasilan yang paling besar yang saya dapat adalah dari mengarang. Untuk kualifikasi S2, untuk gaji dosen, golongan III B itu sangat kecil sekali. Itu tak akan cukup. Tapi, dengan menjadi dosen, saya dapat mengajar yang merupakan hobi saya. Dua-duanya saya senang menjalaninya. Saya merasa sayang sekali kalau ilmu yang saya miliki tidak dimanfaatkan dan dikembangkan.
5. Bagaimana cara Anda mempersiapan karya tulisan Anda?
Kalau saya mau menulis, tidak pernah yang namanya membuat kerangka tulisan. Karena, kalau harus membuat kerangka tulisannya dulu, itu sangat capai. Membuat kerangka karangan itu sudah bisa jadi satu halaman tersendiri. Selama ini saya hampir tak pernah menulis kerangka. Tapi, kalau untuk penulis pemula seharusnya membuat kerangka tulisan terlebih dahulu. Tapi, ketika sudah mahir menulis sebaiknya lepaskanlah kerangka-kerangka itu.
Biasanya saya menulis kalau sedang mendapatkan judul, ide yang bagus, pasti saya langsung tulis meski saya belum tahu endingnya bagaimana. Seperti salah satu cerpen saya yang judulnya Jaring-jaring Merah. Itu cerpen saya yang menjadi cerpen terbaik di majalah Sastra Horizon selama 10 tahun terakhir ini. Itu berarti sudah satu dekade. Dalam cerpen itu pertama-tama saya hanya menemukan judulnya saja. Jaring-jaring Merah. Saat karena saya ingat ada operasi Jaring Merah di Aceh. Saat itu saya membayangkan ada seorang wanita terjebak dalam jaring. Jaring itu digerakkan oleh tangan raksasa. Nah, dimulai dari situ saya langsung dengan lancar menulis mengalir apa adanya. Saat saya mengetik tiba-tiba saja seperti ada yang menjalankan tangan saya ini untuk mengetik. Saya merasa seperti bukan saya yang mengetik.
6. Berapa lama waktu yang Anda butuhkan untuk satu tulisan?
Paling cepat untuk satu cerpen saya bisa menyelesaikannya selama setengah jam. Paling lama saya bisa menghabiskan satu tahun. Tapi, kalau mau cerpen yang baik saya bisa menghabiskan waktu setengah hari. Asalkan kita dapat menulis yang mengedepankan nurani. Karena, penulis adalah apa yang dia tulis. Kalau kamu mau tahu saya, kamu bisa baca tulisannnya. Atau kamu mau tahu sastrawan yang lain? Kita bisa baca karya sastra mereka. Jadi, karakter kepribadian penulis itu ada di dalam karya sastranya. Tanpa sengaja atau dengan sengaja, biasanya penulis melakukan hal itu. Penulis pasti akan menuangkan pikirannya ke dalam sebuah tulisan. Pastinya, penulis menulis karena ada sesuatu yang ingin disampaikan.
7. Pengalaman paling menarik selama Anda menjadi penulis?
Saya pernah diancam mau dibunuh. Di salah satu tulisan saya di cerpen yang berjudul Jaring-jaring Merah, saya menulis mengenai kasus bom di Aceh. Karena tulisan itu, saya diancam melalui pager, surat kaleng, dan lainnya, akan dibunuh. Saya menulis mengenai bom yang ada di Indonesia. Saya merasa ada seseorang yang bermain di dalamnya. Tapi, teror-teror itu semua hanya saya anggap penggemar.
Saya juga memiliki pengalaman karya-karya saya di-plagiat oleh profesor dari universitas ternama di Malaysia. Karya saya diambil dan diakui sebagai karyanya. Dengan adanya hal seperti itu, sastrawan seperti Taufik Ismail dan sastrawan lainnya yang berasal dari Malaysia mengatakan bahwa saya harus melakukan konferensi pers. Tapi, hingga saat ini tidak pernah saya lakukan. Karena, percuma saja. Negara kita ini kurang perhatiannya terhadap hal ini. Kita tak punya suatu lembaga, organisasi, dan advokasi untuk melindungi hal semacam ini.
8. Adakah hal-hal yang mengganjal di hati Anda sebagai penulis?
Saya berharap agar pemerintah lebih memerhatikan dan melindungi karya anak bangsa. Selain itu seharusnya pajak terhadap penulis ini dihapuskan. Karena, saat ini kami (penulis) masih diharuskan membayar pajak sebagaimana mestinya pajak penghasilan. Padahal, kita ini sudah berkarya memberikan sesuatu, tapi itu kenapa harus dipotong. Selain itu, sebagai penulis kami sedih terhadap nasib pengarang yang sudah tua, yang terkemuka pada zamannya. Sekarang mereka sakit, tapi tidak diperhatikan dan dipedulikan lagi. Padahal, mereka itu orang yang hebat.
Sebaiknya kreativitas lebih dihargai lagi. Tentunya dengan menanggapi buku terbitan apa saja dengan cerdas. Memperbanyak penghargaan terhadap karya sastra, penulis sastrawan baik yang tua dan muda. Pemerintah juga perlu menyosialisasikan buku sastra ke sekolah. Meski memang sekarang sudah ada karya sastra yang masuk ke sekolah, tapi coba di update lagi, karena banyak karya-karya dari sastrawan-sastrawan muda yang karyanya tak kalah jauh dari karya-karya sastra lama seperti Siti Nurbaya. Terakhir, sebaiknya pemerintah memperbanyak rumah baca.
Karya-karya sastra kita banyak yang bagus. Orang luar banyaknya kan (hanya) mengenal Pramudya (Ananta Toer). (Itu karena) karya penulis yang lain tak mendapat kesempatan diterjemahkan ke bahasa asing.
9. Apa yang paling ingin Anda lakukan ke depan?
Saya ingin membuat sebuah buku, novel, atau kumpulan cerpen yang diterjemahkan ke dalam semua bahasa di dunia. Sejauh ini cerpen-cerpen saya sudah diterjemahkan ke dalam 10 bahasa. Saya ingin punya satu buku khusus yang diterjemahkan ke lebih dari 100 bahasa. Selain itu, pemerintah sebaiknya mempermudah penerjemahan karya sastra. Sehingga, buku Indonesia juga dapat dijual ke luar negeri. Jadi, jangan hanya karya orang luar saja yang diterjemahkan ke dalam bahasa kita. Karya kita juga diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain di dunia. Sekarang ini kita harus agresif untuk hal ini.
***