Bahan Remeh-temeh dalam Pameran Seni Rupa Perancis

Ibnu Rusydi
http://www.tempointeraktif.com/

Pameran besar seni rupa Prancis terkini digelar di Galeri Nasional, Jakarta. Mereka menggambar dan membuat instalasi dengan menggunakan berbagai bahan remeh-temeh.

Di dinding, sebuah kalimat tertera: “Nggak ada matinya.” Mendekatlah dan lihatlah huruf-huruf itu. Ternyata dibentuk dari puntung-puntung rokok berbagai merek.

Karya perupa Prancis, Baptiste Debombourg, itu menyambut pengunjung Galeri Nasional. Debombourg memungut puntung-puntung rokok itu dari sejumlah kafe populer di Jakarta. Ia bersama 30 seniman Prancis dan dua seniman Indonesia memamerkan puluhan karya di sana, bertajuk “Ligne ? ligne” atau “Garis ke Garis”.

“Ini seni masa kini Prancis,” kata kurator Michel Nuridsany. Menurut dia, apa yang ditampilkannya di Galeri Nasional dapat dibaca sebagai kecenderungan seniman (Prancis) masa kini. Seluruh karya yang dipamerkan dibuat pada 2008-2009. Kita melihat tak ada lukisan cat minyak biasa dengan kanvas berbingkai. Yang ada adalah berbagai bentuk yang disusun dari berbagai benda, seperti puntung rokok tadi.

Lihatlah karya Claire Trotignon, berjudul Toile de Jouy. Judul itu dipinjam dari sebuah merek kertas dinding di Prancis. Biasanya wallpaper digambari bunga. Tapi Trotignon mencetak wallpaper berwarna merah itu dengan rupa-rupa gambar: polisi dengan penjahat terborgol, mobil terbalik, demonstran berunjuk rasa, dan gelandangan.

Pameran ini, menurut Michel, hendak menunjukkan bahwa gambar bisa dibentuk dari apa saja dan pada media apa saja. Maka kita melihat para seniman itu ada yang memanfaatkan rambut, lem, dan serpihan payet, ada yang menggambar di atas kertas grafik kotak-kotak, sampai ada yang menempeli dinding dengan stiker transparan atau dengan kertas toilet, pembersih telinga, dan kapas.

Ide pameran ini, kata Michel, muncul saat ia berkunjung ke Jakarta pada 2003-2004. Ia bertemu seniman komunitas Ruang Rupa. Ia mendapati banyak seniman dari Ruang Rupa yang bekerja di jalanan dengan menggunakan piloks serta membuat grafiti dan mural. “Melihat gambar-gambar itu, saya jadi ingin mencari yang berkaitan dengan drawing,” kata dia. Tapi ia tak ingin karya-karya itu hanya dilihat di jalanan, melainkan di galeri yang “serius”.

Yang sableng adalah karya Adrien Vescovi. Dia mengkonversi potret tubuh perempuan dengan selangkangan membuka menjadi semacam peta relief bumi. “Peta” itu diberikan ke beberapa anak kecil yang diminta mewarnai bagian-bagian pada “peta”. Dan kita melihat banyak di antara anak-anak itu memberi warna khusus di bagian kelamin. “Itu menunjukkan, anak-anak itu mungkin sudah memiliki memori tertentu tentang seks,” kata Michel.

Yang unik adalah karya Delphine Bailleul. Ia membuat instalasi makanan. Selain sekolah seni rupa di Prancis, perempuan 33 tahun itu juga pernah mengikuti sekolah masak.

Di taman depan Galeri Nasional, saat pembukaan, Delphine mendirikan tenda. Di bawah tenda itulah ia menggelar berbagai makanan. Ada 600 potong kue cokelat, green tea, stroberi, kue sus, dan berbagai jenis permen. Semua disajikan di meja utama berbentuk tiga susun lingkaran dan di atasnya bergelantungan alat-alat memasak. Ia membuat kue yang biasa ditemui di pasar-pasar tradisional. “Semua saya beli di sini,” kata Delphine.

Kita melihat, selain meja utama, ada tatakan-tatakan yang disebar di taman. Kue-kue dan permen-permen disebar pula di situ, serta ada pula yang dimasukkan ke dalam bungkusan kertas yang digantung. “Saya ingin melihat bagaimana pengunjung bereaksi melihat makanan-makanan itu,” kata Delphine. Seperti pengalaman sebelumnya, umumnya orang-orang akan berkerumun terlebih dahulu. Melihat-lihat, lalu mulai memilih. Setelah melihat, ada yang mencicipi kue-kue itu.

Delphine bercerita, di Hanoi ia pernah meletakkan aneka makanan lokal di sebuah meja yang dibuatnya: bila makanan di sisi satu berkurang, tempat makanan di sisi lain bakal miring. “Jadinya makanan cepat habis karena orang-orang harus menyeimbangkan tempat itu,” ujarnya. Di Prancis, pernah pula Delphine membuat “Yang memakannya kaget,” katanya.

Dua seniman Indonesia yang ikut berpameran adalah Prilla Tania dan Rangga Oka Dimitri. Keduanya seniman video asal Bandung. Karya Prilla, Ruang dalam Waktu, bagian III, berangkat dari ide sederhana. Seorang gadis berbaju merah membawa kantong kertas lewat di depan sebuah pagar tinggi berkawat duri pada bagian atas. Dedaunan pohon mangga tak mampu menutupi buah yang memancing si gadis. Dengan payungnya, si gadis–diperankan Prilla sendiri–mencolok buah mangga itu. Prilla memakai teknik stop-motion. Selain si gadis dan kantong kertas, semua unsur di video itu digambar dengan kapur di papan tulis hitam besar. “Dia menggambarnya langsung di sini,” kata Michel.

Adapun Rangga menyajikan video yang merekam aktivitasnya saat melukis dengan menggunakan susu. Ia menggambar cangkir dengan air susu itu. Gambarnya dikerubuti semut-semut. Dan terbentuklah sekumpulan semut berbentuk cangkir. Semut itu datang dan pergi hingga bentuk cangkir yang disusun semut pun tak sempurna. “Yang penting adalah ide,” ujar Michel. Tren mutakhir seniman Prancis dan Indonesia, menurut dia, “mahkota”-nya adalah ide.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *