EKSPRESI POST-MODERN, MEMBELI IDENTITAS YANG HILANG

Nurel Javissyarqi*
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Semua mata melihat dengan antusias seperti rasa lapar yang lama. Atau jangan-jangan anda memakai jaket tebal, agar mengeluarkan keringat sebelum jalannya cerita.

Bagaimapun pemulian sakit menuju sembuh atas serangan demam, sakit gigi atau nyeri sebab bacaan yang tidak melonggaran cakrawala fikiran. Kondisi inilah yang menentukan warna kalimah mengikuti hasrat terdalam, memeras saripati manfaat kerja.

Tulisan itu sekadar plakat jalan jiwa, bagi arahan jelajah kedirian anak manusia. Ketika yang berbicara bungkus, tampaklah status sanggup mengenyangkan. Kata-kata menjelma sulap, sedangkan isi tidak diperhatikan, inilah permulaannya.

Kekuasaan pasar menentukan permainan, daya tarik permodalan yang kuat sejenis makluk penghisap. Semua mengikuti gaya perdagangan, yang ujungnya menuntut kembalian lebih.

Menujulah dunia konsumtif ketakseimbangan, penghilangan identitas pribumi yang nyatanya memiliki rumpun dasar. Tetapi, ketika barang pasar menjamur serupa limbah. Siapa sanggup menahan? Saat itu, idealisme praktis mewujud dalil tuntutan, hidup menyenangkan diri kebangsaannya yang hilang.

Naluriah kreatif mengelolah alam atas cerminan alamiah, membuyarkan kesenangan singkat. Ia mengambil keserupaan diharap dengan cara pembelian barang, lalu merasa dikuasainya. Padahal barang-barang yang ia beli, meminta dengan cara sendiri pada tuannya.

Identitas insan itu tangga hayat, komunikasi saling meringankan, bukan manipulasi prodak. Tetapi kejujuran tranformasi nilai, keselarasan obyektif atas kesemangatan sama. Sebuah alur yang ditentukan bagi pencari, bukan pemodivikasian satuan barang.

Pada lapangan ini, seolah terlihat nilai kelanggengan dipergunakan bagi aturan main, namun jika dicermati sekadarlah penstempelan. Atau penumpukan yang hanya menampilkan bungkus baru dari dorongan tren atau musim.

Semisal suatu penduduk yang sangat gayeng keilmuan tertentu, mereka memproduksi dan menkonsumsinya, lalu diseiramakan angin perubahan yang berganti kecepatan aura kebutuhan. Perubahan kejiwaan tidak terkira atas ketakmapanan anak-anak manusia.

Atau? Post-modern itu relativitas melonggarkan perubahan, hingga tidak tersisa yang dinamakan identitas. Kedalaman sejati seolah tercuri kesenangan kembang gula keberjamanan, maka cederalah. Mendiami lembah kepapaan, tidak betah berdiri terus-terusan di terik mentari kesadaran.

Hanya segelintir orang pembawa bendera perjuangan bagi tangan perkasa jaman. Tidakkah semua mengharap kesamarataan adil terkendali nuraniahnya, di kedalaman insan luhur berketulusan tanpa pamrih.

Tulisan ini tukar rembuk kesadaran yang terbeli atas barang, wacana tanpa mematangkan jiwa, sebab telah larut dalam bungkus pemanis. Maka marilah perdialogkan diri masing-masing, seberapa jauh terjerembab di pusaran periklanan yang mematikan perasaan.

Dalam post-modern, kita memasuki dunia iming-iming kenikmatan, peta perburuan ingin dianggap, sementara lupa melihat balik prosesi. Sering terburu mengambil untung definisi, atas pencarian belum selesai, cepat-cepat mematenkan atas tuntutan pasar.

Maka seyogyanya menyukai prosesi, tidak terburu dipatenkan sebagai penemu. Kelebihan menggali diri dalam pembongkaran jiwa, menentukan kemunculan identitas inti esok pasti.

Untuk memahami post-modern, seharus memiliki ruang-ruang kendali beragam, waktu-waktu bertepatan dengan warna yang telah terbangun, sampai terjalinnya kesadaran erat.

Post-modern seharusnya dijadikan ruang penyembuh, lewat pengambilan tidak berlebih atas nilai masa lalu. Agar tidak sekadar penumpukan, namun ada alur yang meresapi kesadaran.

Daya resap ini bukan membeli serampangan, tetapi benar membutuhkan. Ini perbandingan hayat masa-masa berkesadaran kekinian, penciptaan ruang bernilai.

Menggali identitas sejati dengan berjalan pada jalur sejarah atas frekuensi kekinian. Mengikuti perjalanan masa kematangan, tempaan kenangan berulang pada kilatan kesadaran mendatang. Atau pengisian waktu tidak sepatutnya dilupakan.

Prodak-prodak unggulan bukan banyaknya ditawarkan, tapi seberapa guna kenikmatannya, menemukan inti kehidupan yang tidak semata lewat di tepian.

Di sini saling tolong ketulusan, uluran tangan pertemukan yang hilang dari diri juga dalam pribadi yang tertolong. Atau penolong menemukan jalannya, dan yang ditolong mendapati identitasnya.

Hadiah terbesar tidak kentara, tetapi ketika jiwa merasakan kedalamannya, menjadilah danau ketenangan, dan semua orang boleh meminumnya dengan keikhlasan.

Dan pemberi bukan membeli atas identitasnya yang hilang. Sebab segala mata ialah identitas semu yang kapan saja bisa ditanggalkan pandangan umum, pun keseriusan pelaku lewat perilaku iseng atau sambillalu.

Ketika keringat kesembuhan menderas, melewati pori-pori kulit pengetahuan, maka segala pengalaman bermanfaat, mata air terus memancur menyegarkan penyadaran setiap saat, berlanjut menuju kepemudahan segar.

Ini bukan berlawanan jalan penuwaan, tetapi pemahaman itu bertambah purna, maka gemilanglah cahaya pencarian, sama dengan terangnya penerimaan secara dalam.

Pagi tentu memberi cahaya istimewa di hadapan kesembuhan atas belenggu kulitan semata. Kalimah bijak tidak lagi sekadar transformasi budaya, tetapi kejiwaan menuju kebulatan tekad dalam tuntunan hidup berkelapangan cakrawala.

*) Pengelana. 05-09, Lamongan, JaTim, Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *