Web Warouw
http://www.sinarharapan.co.id/
?Di langit biru, Engkau menungguku, di langit biru Engkau menyambutku, tenangku melangkah menuju Mu, di langit biru, Engkau menungguku.?
Bait teduh menyayat mengantar Sujinah (78) dalam tidur panjangnya kini. Tiada sanak keluarga, hanya kawan-kawan seperjuangannya meratap menyanyikan lagu-lagu rohani baginya. Itu sudah bukan masalah bagi Sujinah, karena merekalah keluarga sejatinya.
Masih teringat, di sebuah rumah di Jakarta Selatan, pada tahun 1997-1998, beberapa anak muda Partai Rakyat Demokratik (PRD) sempat bergantian bersembunyi di rumah Sujinah. Di rumah sederhana penuh buku dan naskah itu, perempuan ini terus memompa semangat mereka agar tidak pernah tunduk pada penindasan. ?Hidup adalah tugas untuk berjuang terus!? demikian ia selalu mengingatkan.
Pada pagi hingga sore hari ia mengajar les privat bahasa Inggris. Sepulangnya, Sujinah menulis banyak hal. Bersama Sulami, Suharti dan beberapa ibu lainnya mereka mengkoordinasikan makanan, tempat tinggal dan obat-obatan bagi pemuda-pemuda yang masih dikejar-kejar aparat keamanan pada era Presiden Soeharto saat itu. Tangerang, Jakarta dan Bekasi. Kini mereka telah pergi semua.
Di dalam buku berjudul ?Terempas Gelombang? karya Sujinah yang diterbitkan oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI) tahun 2000, diungkapkan bahwa pada masa perang kemerdekaan berkecamuk 1946-1947 (clash I), Sujinah masuk dalam Barisan Penolong sebagai kurir dan membantu logistik dapur umum di tengah medan pertempuran yang terjadi antara lain di daerah Ampel dekat Salatiga, hingga Tengaran dekat Semarang.
Dia bergaul akrab dengan para laskar pejuang muda yang kebanyakan dari TP (Tentara Pelajar), antara lain dipimpin oleh Achmadi yang di kemudian hari menjadi seorang menteri pada masa pemerintahan Soekarno.
Pada clash II yang berlangsung hingga tahun 1949, Sujinah juga ikut aktif bergerilya bersama tentara dan TP sampai di Bekonang dan tempat-tempat lain. Salah seorang pimpinannya yang masih diingat Sujinah ialah Soebroto yang di kemudian hari menjadi menteri. Ketika itu Soedjinah berperan sebagai kurir antar pasukan gerilya yang berada di desa dan di perkotaan. Siang malam harus jalan kaki menyusup di pedesaan untuk menghindari patroli Belanda.
Karya Jurnalistik
Tahun 1950 ketika terjadi cease fire, Sujinah kembali ke Kota Solo untuk melanjutkan sekolah sampai dapat menyelesaikan SMA-nya di Yogyakarta pada tahun 1952. Sujinah pernah mendapatkan beasiswa untuk lima tahun.
Dia manfaatkan beasiswa itu untuk masuk ke Universitas Gadjah Mada di Fakultas Sosial Politik, yang sayangnya hanya sampai tiga tahun karena beasiswa sudah tidak ada lagi.
Selanjutnya Sujinah aktif di Pesindo yang di kemudian hari menjadi Pemuda Rakyat dan juga di Gerwis (Gerakan Wanita Sedar) yang di kemudian hari menjelma menjadi Gerwani. Bahkan ketika Gerwis menyelenggarakan Konferensi Nasionalnya yang pertama di Surabaya tahun 1951, Sujinah sudah ikut serta bersama SK Trimurti sebagai salah seorang ketuanya.
Sujinah semakin aktif di organisasi ini dalam aksi-aksi menentang kenaikan harga bahan pokok, pemerkosaan dan pelecehan seksual yang menjadi salah satu tema perjuangan Gerwani yang banyak menarik simpati masyarakat perempuan. Sehingga sebelum pecahnya tragedi 1965 Gerwani merupakan organisasi wanita terbesar di Indonesia.
Ketika tahun 1955 diselenggarakan Festival Pemuda Sedunia di Praha, Chekoslovakia, Sujinah mengikutinya sebagai wakil dari Pemuda Rakyat. Setelah itu ia ditugaskan bekerja di Sekretariat Gabungan Wanita Demokratis Sedunia yang berkedudukan di Berlin Timur selama 2,5 tahun.
Tahun 1957 Sujinah baru kembali ke Indonesia dan banyak membuat karya-karya jurnalistik berupa laporan perjalanan yang pernah dilakukannya di berbagai surat kabar.
Sujinah juga membuat karya-karya sastra dengan menulis cerita pendek, esai atau puisi dan dimuat di berbagai media. Tahun 1963 Sujinah aktif sebagai penerjemah untuk perwakilan kantor berita asing di Indonesia, antara lain Pravda (Uni Soviet) di samping juga aktif menulis berita di surat kabar dalam negeri seperti Harian Rakyat.
Ditangkap
Buku ?Terempas Gelombang? itu juga mengisahkan aktivitas Sujinah di DPP Gerwani di Bagian Penerangan dan Penerjemahan, yang membuatnya harus sering tidur di kantor. Sampai kemudian, terjadilah Peristiwa Gestapu dan dia bersama kawan-kawannya ditangkap dalam suatu penggerebekan yang dilakukan oleh aparat keamanan pada 17 Februari 1967 di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Sujinah dibawa ke suatu tempat ? mungkin sebuah sekolah tionghoa di daerah Pintu Besi yang dijadikan semacam posko di Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Beberapa waktu kemudian ia bersama tiga kawannya dibawa ke tempat lain secara berpindah-pindah hingga lima kali untuk kemudian ditahan di Penjara Wanita Bukitduri dan diajukan ke pengadilan. Karena dianggap sebagai orang berbahaya, maka Sujinah dimasukkan ke sel khusus untuk diisolasi.
Menjelang meninggal dunia di RS St Carolus, Jakarta, Sujinah minta dinyanyikan lagu-lagu perjuangan seperti ?Maju Tak Gentar?, ?17 Agustus Tahun 45?, ?Di Timur Matahari?, dan ?Internasionale?. Pukul 13.15, hari Kamis 6 September 2007 Sujinah menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan tenang. Tugas telah selesai!