Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Menjelang berakhir abad ke-20 dan mengawali masuk milenium ketiga, peta kesusastraan Indonesia seolah-olah dikejutkan dengan bermunculannya sastrawan wanita. Sebut saja Ayu Utami, Dewi Lestari, Oka Rusmini, Dorothea Rosa Herliany, Helvy Tiana Rosa, Abidah El Khalieqy, Fira Basuki, dan sebelumnya Ratna Indraswari Ibrahim. Jauh sebelum itu, NH Dini menjulang sendiri dan disusul kemudian Titis Basino PI. Yang disebut terakhir inilah, seakan-akan hendak menggebrak sendiri lewat produktivitasnya yang luar biasa. Bayangkan, dalam kurun waktu dua tahun saja (1998?1999), Titis telah menghasilkan lebih dari 17 novel. Jadi di antara sastrawan wanita Indonesia, dapat dipastikan, jumlah novel yang dihasilkannya Titis berada di atas sastrawan wanita lainnya.
Meskipun begitu, tentu saja segi kuantitas itu harus pula didukung oleh kualitas karya yang memadai. Tanpa itu, niscaya jumlah karya tidak menjamin seseorang menjadi sastrawan yang andal. Jadi, bagaimanapun juga, kualitas karya tetap yang menjadi tolok ukur yang utama. Baru setelah itu kita berbicara soal kuantitas yang berkaitan dengan produktivitas.Berapa banyak karya yang dihasilkannya dan bagaimana pula kualitasnya.
Di awal kepengarangnya, majalah Sastra tahun 1963 memberi penghargaan atas beberapa cerpennya yang dimuat majalah itu. Pada tahun 1998, Pusat Bahasa memberi penghargaan atas kematangan novel Dari Lembah ke Coolibah (1997). Novel ini, bersama dua saudaranya, Welas Asih Merengkuh Tajali (1997) dan Menyucikan Perselingkuhan (1998) sebagai sebuah trilogi, berhasil pula mengantarkan sastrawan yang selalu tampil segar ini meraih Hadiah Sastra Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) tahun 1999.
Dengan beberapa penghargaan tersebut, tentu saja kualitas novel-novel Titis, dapat dianggap tak meragukan lagi. Anggapan ini niscaya menjadi lebih meyakinkan jika kita periksa sejumlah hasil penelitian, baik untuk keperluan skripsi (sarjana), tesis (master), maupun disertasi (doktor). Ada sekitar 20-an peneliti sastra yang menempatkan novel-novel Titis Basino sebagai objek kajiannya. Di Fakultas Sastra UI sendiri, hampir setiap tahun, ada saja mahasiswa yang mengambil skripsinya berdasarkan karya Titis. Dengan begitu, produktivitas mantan pramugari GIA itu, sama sekali tidak mengabaikan segi kualitasnya.
Bahwa produktivitas yang luar biasa itu, tentu saja bukan tanpa risiko. Sebuah penerbit di Jakarta, sempat ?mengeluh? karena terlalu gencarnya menerbitkan novel-novel dari pengarang yang sama. Beberapa peneliti, terutama mahasiswa yang hendak membicarakan karya-karya Titis Basino untuk keperluan skripsinya, ikut pula dibuat repot. ?Belum selesai saya meneliti novel terbaru Titis, tiba-tiba muncul lagi novel berikutnya. Jika begini, kapan penulisan skripsi saya ini selesai!? begitu keluh-kesah bernada guyonan ini dilontarkan salah seorang mahasiswa FSUI. Lalu apa kiatnya hingga Titis begitu produktif?
Bagi Titis, menulis ?apapun jenisnya? bukanlah lantaran ia berbakat. Ia sendiri merasa tidak punya bakat sebagai penulis. Pada mulanya, ia hanya ingin mengisi waktu luangnya mengungkapkan pikiran dan unek-uneknya melalui fiksi. Dengan demikian, ia merasa telah membebaskan dirinya dari tekanan batin. Menurutnya, menulis adalah salah satu cara ampuh untuk psikoterapi. ?Daripada membayar psikolog, sekaligus juga biar tidak frustasi, lebih baik mengeluarkan kegelisahan itu melalui tulisan,? ujarnya.
Ketika kegiatan menulis masih menggunakan mesin ketik, Titis memulainya dengan membuat rancangan (framework) meski di tengah jalan dapat dipastikan akan berkembang dengan sendirinya. Tak jadi soal. ?Yang penting,? demikian katanya, ?Saya menulis, menulis terus-menerus tak putus-putus, sampai mesin ketik itu berbunyi ?ting? saya tabrak terus ??
Jika pada awalnya menulis bagi sastrawan yang masih kelihatan ayu itu dengan tujuan mengungkapkan kegelisahan, kini kegiatan menulis tampaknya tidak hanya untuk tujuan itu saja, melainkan sudah menjadi bagian dari kehidupan kesehariannya. ?Saya menulis seperti orang harus makan; sebagai sebuah kebutuhan. Oleh karena itu, saya mempunyai jadwal khusus untuk menulis. Target, satu bulan satu novel. Tentang urusan diterbitkan dalam satu atau dua bulan, itu soal belakangan. Setelah menulis satu bulan, saya tinggal bersenang-senang. Nanti menulis lagi,? begitulah pengakuannya mengenai kegiatannya menulis.
Dalam beberapa perbincangan, ia mengakui bahwa setiap hari ?terutama setelah sembahyang subuh? ia selalu menyempatkan diri menghadapi laptop-nya. Dalam satu hari, ia menargetkan menyelesaikan beberapa halaman. Dengan begitu, dalam satu bulan, ia dapat merampungkan sebuah novel. Jika dalam sehari ia bolos menulis, maka ia akan membayar bolosnya itu pada hari berikutnya. Persoalannya kini, masalah apa saja yang hendak ditulisnya itu dan bagaimana cara mengungkapkannya?
Sebagai wanita, tentu saja Titis sangat berkepentingan menyuarakan isi hati dan aspirasi kaumnya. Oleh karena itu, novel-novel Titis tidak terlepas dari hasratnya untuk melepaskan belenggu ketidakadilan perlakuan lelaki. Tentu saja hal tersebut mesti disampaikan dengan sebaik dan seindah mungkin. ?Saya tak suka pada karya yang menggurui dan memvonis sesuatu,? katanya, ?Maka, menggurui dan dakwah harus dapat disajikan secara halus, laksana benang sutera masuk dalam sebuah bubuk halus.?
Titis memang selalu mendasari karya-karyanya dengan misi tertentu. ?Menulis tidak ada gunanya kalau tidak ada pesan yang mau disampaikan, entah itu nilai-nilai moral atau renungan pemikiran,? ujarnya. Persoalannya tinggal, bagaimana pesan dan misinya itu dapat dikemas secara halus, segar, dan tidak menjemukan. Hal lain yang juga penting diperhatikan menyangkut kejujuran. Seperti dikatakannya, ?Ketika kita melihat adanya berbagai kepincangan, ketidakadilan, dan penganiayaan terhadap wanita, kita mesti menyampaikannya secara jujur. Termasuk juga keinginan-keinginan yang terpendam dalam batin kaum wanita.?
Ketika ditanya, apakah keinginan-keinginan yang terpendam itu termasuk soal perselingkuhan? Titis tidak menjawab dan hanya tersenyum ceria.
***
Bagi kita, apa yang dilakukan Titis Basino dapatlah kita jadikan semacam teladan yang baik. Menulis sebagai suatu kebutuhan, mestilah dimaknai sama dengan membaca sebagai suatu kebutuhan. Dalam hal ini, kegiatan menulis sesungguhnya tidak berurusan dengan bakat, melainkan dengan keterampilan. Jadi, jika setiap hari kita sudah dibiasakan menulis, maka kita akan memperoleh kemahiran dalam mengolah kata, merekayasa kalimat, membangun alinea, sampai akhirnya menciptakan sebuah dunia. Kemudian, agar kita tidak kehabisan gagasan dan agar tulisan kita memperlihatkan kedalaman dan wawasan, maka kegiatan menulis itupun harus dilanjutkan dengan kebiasaan membaca.
Demikianlah, jika kebiasaan menulis dan membaca atau membaca dan menulis ini, telah menjadi bagian dari kegiatan hidup keseharian kita, maka tidak perlu kaget pula jika pada suatu saat, kita dapat mencapai produktivitas sebagaimana yang diperlihatkan Titis Basino. Tidak percaya? Cobalah sendiri!
*) Pengajar FSUI, Depok.