Riz Koto
http://www.suarakarya-online.com/
“Permisi, Om…” Kalimat itu menjadi pemukul puncak deguban jantungku yang sejak tadi, sejak dia kulihat di ujung jalan, berjalan menuju rumah orangtuanya persis di depan rumahku.
“Yaaa…,” jawabku pelan dan lembut sambil memandangi senyum dan sikapnya yang sopan, hormat, dan tampak kikuk.
Terus terang, aku tak kuasa menghentikan pandanganku ke arahnya. Senyumnya memang sudah cukup lama mengusik hatiku. Bayangan dirinya belakangan bahkan makin sering melintas dalam khayalanku. Celakanya, setiap bayangan itu muncul, otomatis jantungku berdegup. Dan ada rasa suka cita di sana.
“Dari mana, Ta.” Aku menyapanya kemudian, sambil berusaha menenangkan diri, menyembunyikan dentuman jantungku yang bertalu-talu, yang mengguncangkan seluruh tubuhku.
“Dari depan, Om… Habis beli spidol.”
“Oo…” Senyumku terus kutahankan, sambil mataku memendam lebut dari dirinya yang malu-malu. Dan kikuknya kusesali. Dan dia mempercepat langkahnya, berbelok ke pekarangan, terus masuk rumahnya, dan hilang dari pandanganku di balik pintu.
“Ah…” Aku melepaskan tekanan dari dalam diriku. Aku terhenyak, seperti habis mendaki bukit yang terjal, bagai lepas dari guncangan 9,9 skala rigter menghantam luar biasa tubuh serta hati dan jiwaku.
Ita, bagitu ibunya, Mbak Shinta, memanggilnya. Ita masih kelas dua SMA, tapi sebagai gadis dia sedang berada pada puncak mekarnya. Sulit dilukiskan. Yang jelas, perasaanku kembali ke dua puluh tahun yang lalu. Benang-benang cinta yang dulu pernah menjeratku, yang membuatku mabuk kepayang, kini kembali mencengkeram.
Istriku mulai menyindir atas perubahanku. Tapi, menurutku dia belum sampai mencium aku menyenangi Ita, bagai aku menyenangi dirinya dua puluh lima tahun yang lalu. Aku memang berhasil meyakinkan dirinya bahwa cintaku hanya masih untuk dirinya seorang, hingga hari ini. Inilah satu-satunya yang mengusikku dan membuat aku mengutuk diriku kenapa aku menyenangi Ita, gadis kecil anak tetanggaku yang sedang mekar semerbak, yang mengguncangkan hatiku yang telah empat puluh tiga tahun.
“Dadah, Paa…” Anak ketigaku membuyarkan lamunanku. Buah hatiku yang baru saja lewat dengan sepeda kecilnya yang baru saja bisa dikendarainya. Kegembiraannya lantaran telah berhasil mengendarai sepeda kecilnya tanpa roda pembantu kelihatan begitu alami.
Serrr… darahku tiba-tiba menyembur, jantungku berdegum-degum. Sekilas tampak gorden bergeser sedikit, bersamaan wajah Ita mengintip di sana. Mata kami beradu sesaat. Tapi gorden tiba-tiba tertutup. Ah… Ita. Hatiku berbunga. Apakah Ita tahu hatiku yang menyenanginya? Ampun… seperti tepuk berbalas, gayung bersambut… dan bagai kembang api meroket, lalu pyar… kembangnya menyebar menimbulkan cahaya terang di langit. Oh, tahukah Ita?
* * *
Wajah Ita dengan senyumnya, sorotan matanya, bahkan liukan tubuhnya, otomatis mendominasi pikiran dan hatiku kini. Khayalanku tak lagi jauh dari hasrat terhadap Ita. Kadang-kadang aku dikejutkan sendiri betapa aku sudah terlalu jauh menggauli Ita di dalam khayalku.
Tapi, memang begitu kuat besutan pesona Ita saat ini. Kadang-kadang tak masuk akal. Tak jarang, sebagai laki-laki paro baya, dengan usia berkepala empat, kusesali kenapa ini menghinggapiku. Kenapa hal yang tak pantas lagi ini terjadi padaku? Sulit dan tak pantas, terlalu banyak masalah yang akan menghadangku jika ini kuwujudkan.
Celakanya, perasaan itu begitu kuat mengikutiku, dan memang nyatanya menyenangkan, bahkan sekadar membayangkan senyumnya, liukan tubuhnya, gandengannya yang ditingkah suara lembut gadis manja itu. Ah, kenapa aku sudah tua. Andai aku dulu, dua puluh tahun yang lalu, ketika Ita belum lahir ke dunia.
Suatu siang, saat berangkat kerja Jumat awal bulan, aku sudah hendak mengegas mobilku tiba-tiba Ita bersama ibunya, Mbak Sinta, muncul di pintu rumahnya Spontan aku tak jadi menekan pedal gas, justru pedal rem. Berpura-pura ada sesuatu yang ketinggalan, aku keluar mobil mencari-cari sesuatu hingga Ita dan mamanya sampai dekat mobilku. Diam-diam aku merapikan penampilan.
“Eh, mau ke mana, Ita…,” tanyaku seolah baru menyadari Ita dan mamanya ada di dekatku. Aku pun menoleh ibunya membuat kesan aku tidak fokus pada Ita.
“Iya, nih, mau ketemu teman-temannya di BTC… Numpang Om Rudi aja, lewat situ kan, Pak,” kata ibu Ita. Aku senang luar biasa, tapi aku masih seolah-olah mencari sesuatu yang ketinggalan, menutupi deburan harapan cinta di hatiku yang menggelora. “Eh, iya Mbak Sinta, ya… iya lewat situ, mana laa..gi? Ita mau ikut?” Sekilas aku melirik Ita, hatiku mendesak Ita mau. Aku menarik pindu mobil untuk segera masuk dan duduk di belakang stir sambil membuka dashboard dan berseru seolah menemukan apa yang kucari dan menoleh ke Ita, lalu mamanya.
“Nii…,” kataku. “Ayo, kita jalan….” Aku melihat Ita senang dan aku lebih senang lagi. Sudut mataku mengikuti gerak Ita menuju pintu mobil di sebelahku, membukanya, lalu duduk pelan, sopan, dan agak kaku.
Sejak aku mengegas mobilku hingga lima menit kemudian, yang kurasakan begitu lama, aku mencari obrolan yang pas dengan Ita, untuk membuka dialog dan mencairkan batas yang kurasakan begitu dingin. Sempat muncul di pikiranku untuk mengatakan bahwa aku suka dia, tapi buru-buru kucegah sendiri karena khawatir. Gimana kalau dia menganggap aku orang tua yang tidak tahu diri, kalau tidak pantas, kalau…, kalau….. dan kalau-kalau-kalau lainnya…
Ada juga muncul akal bahwa aku lapar dan memohon ditemani Ita makan di McDonals, tempat yang pasti disukai remaja macam Ita. Tapi, kalau-kalau yang lain pun muncul. Ah…. “Mau nge-dance ya… sama teman-teman di BTC…,” kataku sekadarnya saja kemudian. Tentu saja perkataan itu kumanfaatkan melirik Ita sekilas. Tampak Ita melirikku juga sebentar dengan malu-malu.
“Ah nggak kok Om, main aja sama temen-temen….” “Ooo…” Tak lama kemudian, “Tapi… kamu cantik sekali… sama cowoknya ya….”
“Eh, nggak kok Om, teman-teman cewek aja!” Aku senang. Tapi aku tiba-tiba juga kecewa, aku kok merasa dia memandangku sebagai orangtua.
“Iya juga nggak pa-pa… asal…,” kataku kemudian meliriknya lagi.
Sialan, aku kok malah mempertegas jadi orangtua, padahal aku ingin menjeratnya dengan benang-benang cintaku. Cukup lama kemudian terjadi pertengkaran di dalam diriku sendiri.
Pertengkaran itu reda sendirinya ketika kusadari Ita ada di sampingku, lengkap dengan segala yang mempesonaku. Wanginya, rambutnya, semuanya. Hasratku untuk menyatakan cinta kembali menggelora, namun aku hanya dapat memperkuat genggaman pada stir dan meremas-remasnya.
“Ita sebelum mal aja turunnya, Om,” tiba-tiba Ita meminta, mengejutkanku.
“O iya… kenapa… kan masih cukup jauh, panas lagi,” kataku. Tapi Ita terlihat gelisah ingin sekali diturunkan sebelum mal. Menyadari itu aku memperlambat mobilku, kemudian menepi dan perlahan berhenti.
“Benar di sini aja?” “Iya, Om.” “Oke…”
Ita membuka pintu, turun dengan lebut, sopan, dan sedikit kikuk-hal-hal yang makin membuatku terpesona.
“Makasi, Om…”
“Ya… hati-hati….”
Aku memandangi Ita dari belakang stir, sejenak ia menolehku dengan senyum dan tatapan indahnya, bagiku, lalu meneruskan langkahnya menuju mal. Cukup lama aku terdiam, terpesona, menenangkan diri, dan menyesali tak ada yang dapat kulakukan untuk cintaku. Ah. Berat hati, ku-gas mobilku. “Ita…,” kataku lirih.
* * *
Pelan-pelan dan malas kubereskan mejaku sekadarnya. Hari ini aku ingin pulang lebih cepat. Pikiranku kalut, desakan hasrat kepada Ita benar-benar telah mempengaruhi semangatku. Dan ini hari Sabtu, kuingin pulang, lebih cepat sampai di rumah. Tak dapat kuingkari, seperti hari-hari biasa, aku ingin memandang Ita.
Dan lumayan, jalanan tidak begitu macet. Tak banyak rintangan, CRV-ku meluncur mulus hingga jalan masuk rumahku. Pelan mobilku bergerak lurus tak jauh dari rumahku.
Jger dummm… jantungku hampir copot. Darahku menyembur-nyembur. Refleks aku memegang dada. Kulihat Ita duduk di bangku teras rumahku yang asri sambil membolak-balik majalah. Namun aku masih bisa menguasai diri. Pelan-pelan kulepas gas dan kutekan rem, memperlambat mobil. Ita tak sadar mobilku bergerak hingga berhenti di depan garasi. Suara mesin mobilku memang sangat halus dengan kecepatan sepelan saat itu. Tapi, di dekat Ita ada kursi taman lain, dekat sekali dengan kursi Ita, ada bekas orang duduk di sana.
Aku terdiam sebentar, memperhatikan Ita dan, tak dapat kubohongi, menikmati cantik dan segarnya Ita. Lalu pelan kubuka pintu mobil dan bangkit setelah mempersiapkan diri, dan seolah tidak menyadari ada Ita di taman teras rumahku. Di sana, di taman rumahku itu, dengan sudut mataku kulihat Ita agak kaget, buru-buru memperbaiki duduk, dan dengan posisi sopan, dan sedikit agak kikuk. Kemudian aku melangkah masuk dan berusaha menyapanya seperti baru menyadari bahwa aku baru tahu ada Ita di taman rumahku.
“Eh, Ita… kok sendirian…,” kataku sambil melangkah. Debaran jantungku belum berkurang.
“I..iya, Om, nggak… kok…,” tak sampai selesai bicara. Dan heranku terkalahkan oleh haru-biru gelora di hatiku. Bahkan barangkali aku tidak logis ketika membayangkan Ita duduk menungguku. Dan aku hanya tercekat, kemudian berlalu ke dalam rumah, pelan.
“Eh… O.. Om… udah pulang, hep….” Hampir saja aku bertabrakan dengan keponakanku di ruang tamu, yang bergerak lincah hendak keluar. Ia tampak sangat senang, sedikit cengengesan memandangku sekilas, lalu dengan sopan berkelit ke sampingku. Aku heran, dan… panik.
“Eh… mau ke mana… kok sradak-sruduk gitu?”
“Nggak Om, ke depan… biias… eh nggak…,” kata Tomi kemudian, masih dengan wajah senang… dan cengengesan.
Jesss… aku mblengges. Jangan-jangan Ita… ah… Cepat-cepat aku masuk ke dalam.
“Eh, Papa… udah pulang…” Istriku sudah di hadapanku dengan wajah senang. Tetapi berubah heran. “Kenapa, Pa… Papa nggak enak badan,” kata istriku tiba-tiba menyadari keadaanku, lalu merapat ke tubuhku sambil memegang keningku.
Pikiranku terus dipenuhi tanda tanya yang amat besar. Aku tak begitu peduli ucapan istriku. Aku terus ngeloyor ke dalam kamar, menghempaskan diri di sofa tunggal tempatku biasa melepas lelah sejenak, diikuti istriku, yang terus merapatkan tubuh suburnya dan memeriksa suhu badanku dengan rasa khawatir.
“Aduh… Papa, wajahnya pucat… Papa sakit…. Kok badannya gemetar….” Tak kuacuhkan perhatian istriku yang tulus ini, pikiranku masih kacau-balau, berderak-derak, jangan-jangan Ita… oh….
“Iya nih, Papa badannya panas… Aduh papa, biar kukompres ya, Pa.” Istriku amat khawatir sambil membuka kancing bajuku, sekali-sekali ia mengusap keringat di keningku.
Istriku memang selalu khawatir bila aku sakit. Dan selalu mengurusku dengan rapi, demam kecil sekali pun. Aku lalu merebahkan kepala, menatap langit-langit kamar sebentar dan memejamkan mata ketika istriku pergi ke belakang.
“Tomi…, Tom…” Terdengar istriku memanggil. Cepat kuangkat kepalaku, mempertajam pendengaranku, ingin tahu. “Ke mana tu anak, pacaran aja…” Dumm… jantungku pecah. Tak salah lagi. Tomi telah mengambil cintaku, kemenakanku sendiri…. Tiba-tiba pintu terbuka, istriku muncul membawa mangkok berisi air hangat dan handuk kecil. Cepat-cepat kujatuhkan lagi kepalaku.
“Tomy kalau sudah sama Ita, gitu tuh…” istriku ngomel. Aku hanya terkapar. Makin jelas bagiku. Bodohnya aku ini, tak tahu diri. Badanku jadi sakit semua, napasku memburu, langit langit berputar, pelan-pelan pandanganku jadi samar.
“Papa… papa… Papa… kenapa, Pa… aduh….” Terdengar suara istriku cemas. Makin lama-makin samar. Tiba-tiba semuanya putih. Aku tak ingat apa-apa lagi.
Oh Ita… sayang….***
Jalan Bangka Raya, 21 Juli 2007