Mengenang Seabad A.A. Panji Tisna
Gde Artawan
http://www.balipost.co.id/
PUJANGGA A.A. Panji Tisna dikenang dalam sebuah acara peringatan karena sebagai sang Pujangga, A.A. Panji Tisna telah menorehkan tinta emas dalam blantika perjalanan sastra Indonesia modern khususnya dalam bentuk novel. Karya-karyanya selain dinikmati dalam bentuk teks karya sastra, sebagian sudah ditransformasikan ke dalam media seni lain, di antaranya dalam bentuk sinetron dan pertunjukan teater tradisional (Arja). Sebagai sebuah sinetron karya A.A. Panji Tisna berjudul Sukreni Gadis Bali sudah pernah ditayangkan oleh salah satu media televisi swasta di Indonesia, dan terakhir Prof. Dr. Wayan Dibia mengangkat novel Sukreni Gadis Bali dalam bentuk arja doyong yang telah dipentaskan di Puri Gede Buleleng, Minggu, 10 Februari 2008.
Dalam acara serasehan seabad A.A. Panji Tisna di Singaraja 10 Februari 2008 lalu terungkap wacana untuk mensinergikan semua komponen guna memberi apresiasi positif terhadap A.A. Panji Tisna secara proporsional. Sebagai sebuah ”mutiara” yang dimiliki Bali, sepantasnyalah semua elemen masyarakat Bali menempatkan A.A. Panji Tisna sebagai pujangga yang memberi kontribusi memadai, khususnya sebagai spirit berkarya dan sosok yang memiliki visi kultural untuk dapat menjadi bahan renungan dari kerangka kekinian.
Kebesaran nama A.A. Panji Tisna tentu dapat dirunut dari berbagai pembicaraan atau pembahasan dalam berbagai ruang diskusi, seminar, serasehan, dan tentu saja karya telaah berupa esei dan kritik sastra serta beberapa penelitian. Pembahasan terhadap karya-karya Panji Tisna dilakukan diantaranya oleh Made Sukada, Jakob Sumardjo, Weda Kusuma, Merdhana, Ruba”I dllnya. Maya Liem (2003) dalam disertasinya yang dipertahankan di Universitas Leiden juga mengulas novel I Swasta Setahun di Bedahulu, namun dalam konteks identitas dan modernitas di Bali. Dalam desertasi ini, dia melihat perkembangan modernitas seperti tercermin dalam karya sastra penulis Bali, mulai dari pembaruan yang ditunjukkan Geguritan Nengah Jimbaran (1903) karya Raja Badung Tjokorda Made Denpasar, novel Panji Tisna (juga keturunan dan sempat menjadi Raja Buleleng), sampai karya-karya Nyoman Rastha Sindhu. Liem malah menyebut novel Panji Tisna sebagai novel yang bercirikan polyvocal dan bersifat hibrid karena dalam teks novel I Swasta terdapat pantun Melayu yang terkontruksi dalam deskripsi pokok naratif.
Sosok wanita dalam karya Panji Tisna diuraikan oleh Darma Putra (2003). Paling sedikit Darma Putra membicarakan Panji Tisna pada dua hal yang substantif, yaitu masalah bias gender, dan wanita Bali sebagai korban modernisasi dan tradisi. Dari segi bias gender Darma Putra mengungkapkan adanya citra wanita Bali yang negatif pada Ni Rawi Ceti Penjual orang dan tertindas karena perkosaan dalam Sukreni Gadis Bali. Ni Rawit digambarkan sebagai ceti, penjudi, penghisap madat, dan makelar budak. Tokoh Sukreni disebutkan sebagai korban kolusi antara pemilik warung yang rakus (Men Negara) dengan Mantri polisi yang amoral (I Gusti Made Tusan). Pada paparan Darma Putra inilah terlihat jelas fokus pembicaaan potret wanita Bali dalam sastra.
Perlu juga disebut dua tulisan tentang biografi Panji Tisna, yaitu yang disusun oleh seorang sejarawan dari Australia Ian Celdwell (1085) berjudul ”Anak Agung Panji Tisna, Balinese Raja and Indonesia Novelist, 1908-78” dan buku karya seorang guru besar ekonomi sekaligus budayawan Bali, I Gusti Ngurah Gorda (2005) berjudul Biografi Anak Agung Pandji Tisna. Keduanya memberikan informasi yang cukup detil atas kisah hidup Panji Tisna, termasuk beberapa poin tentang hubungan dan pandangan Panji Tisna tentang perempuan dan nilai-nilai budaya Bali.
Di tengah ”keraguan” sebagai orang akan eksistensi Panji Tisna sebagai manusia kultural (akibat perpindahan agama dari Hindu ke Kristen), Artawan (1993) menemukan kentalnya sensibilitas Panji Tisna terhadap budaya Bali sebagaimana terefleksi dalam ketiga novelnya: Sukreni Gadis Bali, Ni Rawit Ceti Penjual Orang, dan I Swasta Setahun di Bedahulu. Pergulatan secara kultural yang intens dilakukan Panji Tisna sebagai masyarakat biasa dengan lingkungannya mampu terekonstruksinya teks dengan muatan sosiokultural. Kontribusinya bagi wacana pemahaman sosiokultural suatu etnis tidak saja bertolak dari teks nonfiksi — sebagaimana lazimnya — tetapi melalui teks fiksipun sebuah perjalanan dan kandungan material sebuah kultural dapat dirunut.
Panji Tisna: Feminis dan Humanis
Seringkali sebuah peringatan suatu peristiwa atau tokoh ”berhenti” pada euforia yang setelah itu tak ada gemanya dan miskin pengendapan terhadap substansi mengapa kita memperingati peristiwa atau tokoh. Peringatan satu abad Panji Tisna tentu saja dilandasi muatan misi untuk menempatkan kapasitas sang Pujangga secara proporsional sebagai milik publik sastra yang sejatinya harus dipahami secara komprehensif bahwa keberadaan Panji Tisna dalam jagat sastra khususnya di Bali merupakan kebanggaan dan spirit yang memiliki ”roh” untuk menciptakan atmosfir bagi tumbuh dan berkembangnya kehidupan bersastra di masyarakat. Panji Tisna tidaklah semata-mata sebuah fenomena masa lalu yang berhenti pada peristiwa yang menomental bahwa ada putra Bali yang menorehkan catatan emas dalam blantika perjalanan sastra Indonesia sebagai salah satu tokoh Pujangga Baru.
Feminis. Panji Tisna adalah fenomena yang secara terus menerus menunjukkan interelasi dengan zaman. Ia menjadi inspirasi dan motivasi kreatif bagi pengarang selanjutnya di Bali khususnya pengarang novel. Pembicaraan terhadap Panji Tisna terkadang luput untuk melihat bahwa Panji Tisna adalah seorang feminis yang merekonstruksi tokoh-tokoh wanitanya melakukan perjuangan kultural dengan cara yang lain. Sesudah zamannya Panji Tisna — era Putu Wijaya, Oka Rusmini misalnya –, tokoh-tokoh wanita melakukan perjuangan kultural secara reaktif berupa pemberontakan dan perlawanan budaya, khususnya soal adanya upaya mensubordinasikan peran wanita, kasta, peran domestik, dan bahkan upaya marginalisasi eksistensi wanita. Ketika tokoh Sukreni tidak melakukan perlawanan terhadap perlakuan biadab yang dilakukan oleh Tokoh Gusti Made Tusan yang telah memperkosanya akibat upaya persekongkolan tokoh-tokoh lain, Panji Tisna dicurigai melakukan tindakan penistaan terhadap wanita. Namun ketika ada upaya memahami teks secara menyeluruh, khususnya ketika Panji Tisna menyusupkan konsep Karma Phala dalam konstruksi tematisnya, sesungguhnya keberpihakan Panji Tisna kepada wanita sangat jelas. Panji Tisna melalui tokoh novelnya telah melakukan sebuah perjuangan kultural untuk mematahkan dominasi paham patriarki yang dalam beberapa hal banyak mengeliminasi peran wanita bahkan mencabik-cabiknya.
Karya-karya Panji Tisna mendapat tempat di hati masyarakat, salah satu Sukreni Gadis Bali (yang telah disinetronkan dan diadopsi menjadi pertunjukan Arja Doyong). Pilihan mengangkat novel ini karena Panji Tisna mengkronstuksi tokoh wanitanya bernama Sukreni sebagai sosok korban kecongkakan kaum laki-laki. Sesungguhnya rasa simpati kepada nasib Sukreni ini secara kreatif mampu dibangun oleh Panji Tisna dalam alur yang mengalir amat memikat. Panji Tisna tidak sekadar memberi kesaksian bahwa ada kaum hawa yang termarginalisasi dan diposisikan tersubordinat dari peran laki-laki, tetapi melalui kerangka konsep Karma Phala akhirnya pelaku kekerasan seksual dan kroninya mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Sebagai feminis, sesungguhnya Panji Tisna memberi kesaksian atas realita nasib wanita ketika karya itu diciptakan, bahkan masih ada wujud marginalisasi dan kekerasan terhadap wanita sampai kini. Di sisi lain, Panji Tisna dalam penaruh simpati pada nasib wanita tidak saja terkonstruksi melalui tokoh Sukreni, tetapi juga pada tokoh Ida Gde Swamba, pacar Sukreni yang mau menerima Sukreni apa adanya sekalipun sudah menjadi korban pemerkosaan. Hal ini terlihat dalam dialog:
”Ah, Aseman! Boleh jadi begitu kata perempuan itu, tetapi engkau tidak boleh bersembunyi-sembunyi kepadaku. Ingat, kalau ia mendapat sengsara, siapa yang akan menolong dia? Aku kira, aku patut sekali… Sebab itu hendaklah engkau tunjukkan, dimana dia sekarang. Aseman. Walaupun ia telah… rusak, tidak berbeda padaku sekarang dengan dahulu. Sudah nasibnya demikian, tidak dapat disalahkan kepadanya. Jika ia tahu apa yang akan terjadi atas dirinya pada malam celaka itu…” kata Ide Gde. (Sukreni, 1965: 112).
Humanis. Dengan spirit kasih; salah satu bagian dari sikap humanis, tokoh laki-laki dalam novel Sukreni Gadis Bali tersebut di atas, Panji Tisna ingin menggambarkan interelasi yang teramat personal dari dua manusia berlainan jenis. Demikian juga terefleksi dari sikap Sukreni pasca pemerkosaan atas dirinya ditunjukkan dengan kearifan tanpa perlawanan yang reaksioner. Di beberapa novelnya, filosofi kasih diembuskan Panji Tisna melalui konstruksi tokoh-tokoh cerita novelnya. Hal ini menunjukkan eksistensi manusia sebagai mahluk ilahi memang sepantasnya dihargai secara proporsional dalam kondisi dan level apapun.
Sebagai manusia personal, Panji Tisna merupakan fenomena yang mengajarkan komunitas sesudah eranya untuk bersikap sederhana dan berani mengambil sikap dengan segala konsekuensinya. Ke luar dari ruang puri kemudian hidup dalam komunitas ”jelata” bernama kawasan Tukad Cebol 10 km dari kota Singaraja yang sekarang dikenal dengan nama Lovina merupakan pilihan hidup yang lahir dari pertimbangan intelektualitas humanisme seorang Panji Tisna. Dalam konstruksi teks sastra Panji Tisna menampilkan wajah kejelatan masyarakat sekitarnya, dan menyindir secara sateris kaum ningrat (terkonstruksi melalui tokoh Gusti Made Tusan) menistakan kejelataan dengan arogansi melakukan pemerkosaan terhadap Sukreni. Dan Panji Tisna mengkonstruksi tokoh Ni Rawit yang memainkan peranan antagonik di ruang geria dengan permainannya sebagai ceti mendeskonstruksi kemapanan dengan strategi kejelataannya.
Panji Tisna yang ningrat memilih hidup sebagai sastrawan dan memilih hidup dalam komunitas masyarakat kebanyakan merupakan fenomena yang sangat inspiratif bagi komunitas yang terkadang secara instan ingin mencapai kualitas hidup pada tataran lebel atau status sosial tertentu. Dalam perspektif kekinian sang Pujangga tidak saja menorehkan catatan keteladanan dalam konteks kesastraan, tetapi dalam kerangka mendesain personal untuk menjadi manusia kultural secara sederhana.
Bertolak dari fakta real tentang sosok sang pujangga dalam blantika jagat sastra Indonesia, sebagai ”mutiara” yang dimiliki Bali, sebaiknya kita perlu merekonstruksi persepsi dan sensibilitas kita terhadap Panji Tisna sebagai salah satu simbol kebanggaan milik kita yang sepantasnya tidak saja diwarisi karya dan semangat kulturalnya, tetapi bagaimana mendesain daya impresi kita untuk menghargai Sang Pujangga secara proporsional.