Toto Sudarto Bachtiar

Terbaring Selamanya, Bukan Tidur Sayang?

Matdon
sinarharapan.co.id

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Larik sajak di atas berjudul “Pahlawan Tak Dikenal”, merupakan sajak terkenal yang ditulis sastrawan Toto Sudarto Bachtiar pada tahun 1955. Sajak itu menjadi penting bagi perkembangan sastra di Indonesia?khususnya pada tahun 1950-an. Sajak itu pun seperti tak mudah hilang dari ingatan kita ketika menjadi sajak wajib pada setiap perlombaan baca puisi tingkat sekolah.

Tepat 52 tahun kemudian, tepatnya Selasa (9/10) kemarin, pukul 5.50 WIB, penulis sajak itu meninggal dunia. Toto wafat di usianya yang ke-78 tahun, di Desa Cipaga, Kota Banjar, Jawa Barat.

“Bapak meninggal beberapa saat sebelum berangkat ke Bandung. Sudah seminggu Bapak di Banjar menengok anak cucu,” ujar Ny Zainar Toto kepada penulis saat melayat jenazahnya di rumah duka Kompleks Geologi Jl Situ Batu Noor 6 Bandung. Usia Toto memang sudah tidak muda lagi, penyakit sesak yang dideritanya tiba-tiba muncul beberapa menit saat ia sudah naik mobil dari Banjar menuju Bandung. Nyawanya tak tertolong dalam perjalanan menuju rumah sakit terdekat. Toto memang jadi pulang ke Bandung, meski hanya jasadnya.

Toto dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat, 12 Oktober 1929. Penyair yang dikenal dengan dua kumpulan puisinya: Suara (1956; memenangkan Hadiah Sastra BMKN 1957) dan Etsa (1958) ini, juga dikenal sebagai penerjemah yang produktif. Karya-karya terjemahannya, antara lain Pelacur (1954; Jean Paul Sartre), Sulaiman yang Agung (1958; Harold Lamb), Bunglon (1965; Anton Chekov, et.al.), Bayangan Memudar (1975; Breton de Nijs, diterjemahkan bersama Sugiarta Sriwibawa), Pertempuran Penghabisan (1976; Ernest Hemingway), dan Sanyasi (1979; Rabindranath Tagore).

Ia merupakan catatan sejarah sastra tahun 1950-an, yang pada zamannya penuh perjuangan, sehingga karya-karya Toto selalu berisi perjuangan dan perlawanan melawan penjajah, seperti sajak “Pahlawan Tak Dikenal”, “Gadis Peminta-minta”, “Ibukota Senja”, “Kemerdekaan, Ode I”, “Ode II”, “Tentang Kemerdekaan”. Sajak Toto Sudarto Bachtiar berjudul “Ibu Kota Senja”, menggambarkan situasi batiniah perjuangan menaklukkan Kota Jakarta. Ia menggambarkan Jakarta tanpa kompleks sebagai pendatang. Hingga kini, menurut pengamat sastra Agus R Sardjono, belum ada lagi sajak semesra dan seindah itu mengenai Jakarta. Hampir tidak bisa dibayangkan bahwa penulisnya adalah orang Jawa Barat dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di Jawa.

Sastra memang selalu dilahirkan dan juga melahirkan lingkungannya. Habitat sastrawan berpengaruh besar pada hasil sastra. Indonesia, saat Toto dewasa, tengah menjalani periode penjajahan, bersama penyair lainnya seperti Asrul Sani, Ajip Rosidi, Rendra, Ramadhan KH, Dt Aman Modjoindo dan Tjalie Robinson. Saat itu Indoneia melahirkan jenis sastrawan dan karya sastra perjuangan. Sekilas saja.

Secara urutan waktu maka sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan, yakni Pujangga Lama, Sastra “Melayu Lama”, Angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan ’45, Angkatan 50-an, Angkatan 66-70-an, Dasawarsa 80-an, Angkatan Reformasi hingga kini.

Sastrawan angkatan 50-an pernah membuat buku Jakarta-Berlin Dalam Cermin Puisi. Karya-karya tersebut adalah karya puisi antara tahun 1929 hingga 1961. Dalam buku ini karya sastra terbaik para pujangga termashyur dari ke dua negara berhasil digabungkan menjadi satu. Dari Indonesia, tampil menghiasi halaman buku ini nama-nama Toto Sudarto Bachtiar, Rendra, Goenawan Muhammad, Emha Ainun Najib, Ajip Rosadi, Abdul Hadi WM, dan Hamid Jabbar. Sedangkan pujangga dari Jerman, di antaranya nama besar seperti Ernst Schur, Christian Morgenstern, Karl Willy Straub, Wolf Biermann, dan Joachim Ringelnatz.

Tentang Ramadhan KH, Rendra dan Toto Sudarto, Sapardi Joko Damono pernah mengatakan, ketiganya sebagai salah satu tonggak sastra Indonesia pada periode 1950-an dengan ciri masing-masing. Namun nama Toto Sudarto Bachtiar kemudian seolah-olah “terlupakan” sejarah. “Saya sangat kehilangan dia, tapi mengapa orang-orang seolah-olah melupakannya,” ujar Moh Sunjaya, aktor teater yang juga masih keluarga dekat almarhum dari ayahnya.

Namun bagaimanapun juga, Toto telah menorehkan sejarah bagi sastra Indonesia, dan sastra Indonesia telah menorehkan sejarah pada Toto. Pun ketika jasad tua itu pelan-pelan ditelan tanah merah di pemakaman keluarga, di bawah tatapan Ny Zainar istrinya, didampingi anak semata sewayangnya, Sri Adilah Perikasih, dua cucunya dan ratusan pelayat lainnya.

Wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda
Hari itu 9 Oktober 2007, hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya

Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata : aku sangat muda

(Pahlawan Tak Dikenal /Toto Sudarto Bachtiar/ 1955)

*) Penulis adalah penyair, tinggal di Bandung.

Leave a Reply

Bahasa ยป