Umar Kayam
Pewawancara: I G.G. Maha Adi, Wicaksono, Hermien Y. Kleden,
majalah.tempointeraktif.com
Umar Kayam adalah gambar multidimensi. Dilihat sepintas, boleh jadi menarik, dipandang lama-lama, yang lebih menarik ternyata ada di bawah permukaan. Di dalam diri pria ini, yang sedang menyongsong hari jadinya yang ke-67, berpadu berlapis-lapis matra yang kualitasnya telah teruji oleh waktu, pengalaman, dan juga, mestinya, kematangan.
Kayam adalah novelis, penulis cerpen, akademisi, birokrat, budayawan, sastrawan, dan tak lupa, bintang film. Pada masa-masa fisiknya masih lebih sehat, ia juga populer sebagai “seminaris” -julukan untuk orang yang laris menjadi juru ceramah di seminar. Toh, tetap saja sulit menentukan sisi yang lebih menonjol dari doktor keluaran Cornell University ini.
“Saya sendiri enggak ngerti. Wong, saya cuma ingat saya ini Umar Kayam,” ujarnya sembari tertawa lebar saat memberikan wawancara kepada wartawan TEMPO I G.G. Maha Adi, Wicaksono, Hermien Y. Kleden, serta fotografer Gatot Sri Widodo, pekan lalu.
Kayam datang dari keluarga besar. Ia lahir nomor satu, disusul sembilan orang adik. Kedua orang tuanya guru. “Mbah saya juga guru. Menjadi guru itu sudah keturunan di keluarga kami,” katanya. Ia tumbuh dewasa dalam sebuah keluarga “sangat Jawa”, yang mementingkan harmoni dan religi?kendati ia sendiri tak fasih untuk sekadar membaca Surat Al Alaq dalam Alquran. Guru besar Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) ini justru mengenal Alquran lewat buku berbahasa Belanda seperti De Heilige Qur’an. Ia mahir berbahasa Belanda dan Inggris serta hampir sempurna menguasai idiom-idiom Jawa.
Kumpulan kolomnya di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta?kemudian terbit sebagai trilogi Mangan Ora Mangan, Sugih Tanpa Banda, dan Madhep Ngalor Sugih-Madhep Ngidul Sugih?melukiskan betapa “Jawa”-nya sosok Pak Ageng, sang tokoh utama, yang oleh banyak orang diyakini sebagai personifikasi Umar Kayam sendiri. Personifikasi seorang priayi ageng yang dekat dengan wong cilik tanpa perlu kehilangan perbawa, sarkastis terhadap diri sendiri, tapi secara tak langsung “mengangkat” diri dengan sikap tersebut, berusaha menjaga harmoni di tengah keragaman hidup, dan tak canggung manakala harus “melompat” dari gaya hidup sederhana di sebuah kota pedalaman ke ibu kota negara yang serba kosmopolitan.
Ketiga buku itu melukiskan dengan ringan (dan kaya) cara Umar Kayam?jika sang pengarang boleh diyakini sebagai tokoh utama cerita?menjalani setiap dimensi hidupnya dengan nikmat dan prasaja (bersahaja).
Ayah dua putri ini juga tak mungkin dipisahkan dari dunia sastra dan budaya, tempat ia meninggalkan jejak-jejak panjang. Salah satu cerpennya, Seribu Kunang-Kunang di Manhattan (1972), memenangkan cerpen terbaik majalah sastra Horison pada 1968. Ia juga melahirkan novelet Bawuk (ditulisnya semasa ia menjadi Dirjen RTF pada awal Orde Baru), Sri Sumarah, serta novel Kimono Biru, yang ditulisnya di Hawaii.
Pada 1987, terbit karyanya berjudul Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya, yang merupakan hasil kerja sama dengan juru foto Harri Peccitoni. Novel terbarunya adalah Para Priyayi, yang ditulisnya di Amerika, terbit pertama kali pada 1992 dan telah mengalami cetak ulang lima kali. Lima tahun kemudian, Kayam pergi ke Kyoto, Jepang, selama enam bulan untuk meneruskan Para Priyayi (bagian kedua), yang masih dia benahi dengan berbagai sentuhan akhir.
Wawancara TEMPO dengan Kayam berlangsung dalam suasana santai, diramaikan dengan gelak tawa serta meja penuh makanan dan kudapan. Ia sendiri mengaku senang diwawancarai dalam suasana riang. “Saya suka gugup manakala wartawan memberondong pertanyaan serius sembari menyodorkan tape recorder di depan hidung,” katanya. Kayam juga mudah dibahagiakan dengan makanan enak. Ia memang gastronom sejati, yang kini harus sering-sering menahan diri selepas menginap 11 hari di rumah sakit, pertengahan Februari lalu. Kesehatannya belum pulih betul tapi ia lancar-lancar saja menjawab pertanyaan TEMPO selama hampir tiga jam. Petikannya.
Apa saja yang Anda lakukan sejak pamit pensiun pada 1997?
Wah, inilah enaknya jadi pensiunan. Bangun tidur baca koran semau hati. Kalau ada cucu, saya main-main dengan mereka. Lalu menulis. Setelah itu duduk-duduk di beranda depan, menyapa dan mengobrol dengan kenalan yang kebetulan lewat. Dulu, sewaktu perut masih baik, setiap penjaja makanan saya panggil masuk dan mencoba makanannya.
Rupanya kegemaran Anda makan tidak hilang karena sakit?
Kegemarannya tidak hilang. Hanya selera yang belum pulih betul. Kalau pas ke Yogya, ya, masih tetap seperti dulu, keluar bersama kawan-kawan cari mi atau makanan lain. Kebetulan pemilik warung mi langganan kami itu sepupunya Harry Tjan Silalahi (salah satu tokoh CSIS). Jadi, saya selalu mendapat pelayanan istimewa. Soal makan, almarhum Romo Mangun (Y.B. Mangunwijaya) selalu bilang, “Si Kayam itu lidahnya cerdas betul.” Edan si Romo itu, yang dia anggap cerdas itu lidah saya, bukan otak.
Tentu Anda sangat kehilangan Romo….
Itulah. Saya ini agak “marah” sama Tuhan. Banyak sahabat saya meninggal tanpa saya sempat melayat atau mengantarkannya ke pemakaman. Romo adalah teman yang amat baik. Semasa hidupnya, jika kami membicarakan novel atau sastra, dia sering saya ejek, “Romo kok menulis novel percintaan. Apa punya pengalaman?”
Anda sendiri masih terus menulis novel?
Tahun kemarin, enam bulan saya habiskan di Kyoto untuk melanjutkan novel Para Priyayi. Isinya masih kelanjutan peristiwa lengser keprabon itu. Novel itu sekarang sedang saya bongkar lagi di sana-sini, untuk diselesaikan. Saya juga sedang menyiapkan sebuah antimemoar, yang inginnya, sih, diluncurkan sama-sama dengan novel baru itu.
Wah, kok seperti Andre Malreaux, menulis antimemoar. Apa saja isinya?
Pura-puranya saja seperti Malreaux. Isinya? Ya, bukan memoar…, misalnya “Pertemuan Saya dengan Mao Tse Tung di Beijing” dan “Perjalanan Saya dengan Sudjono Hoemardani ke Washington.” Ya, ndobos yang begitu-begitu.
Kisah dengan Hoemardani itu tentunya waktu Anda masih menjadi pejabat zaman Orde Baru, yakni sebagai Dirjen RTF?
Benar. Pada waktu itu saya dianggap ahli Amerika. Barangkali karena yang ngerti Amerika belum banyak. Suatu ketika kami naik pesawat dari Hawaii ke New York. Pesawat bagian depan sudah ditempah (di-booking) oleh rombongan John Rockfeller, jutawan dan gubernur Negara Bagian New York.
Pak Soejono bertanya, “Siapa itu? Kamu kenal enggak?” Saya bilang ya karena enggak enak kalau bilang tidak kenal. Eh, Pak Soejono bilang lagi, “Kalau begitu, kenalkan, dong.” Saya lalu nekat mendatangi kabin Rockfeller bersama Pak Soejono lalu mengenalkannya: “Tuan Rockfeller, kenalkan, Kolonel Hoemardani, pembantu Presiden Soeharto dari Indonesia.” Ada-ada saja, mentang-mentang dianggap ahli Amerika.
Kok, seperti dagelan?
Lo, sebenarnya waktu jadi dirjen saya sudah merasa menjadi bagian dari dagelan. Orang Jawa kan senang dagelan. Waktu di Amerika, saya sangat suka memutar kaset Basiyo, Tukang Becak, yang isinya dagelan. Orang yang bisa mendagel itu hebat karena dia bisa menangkap hal yang menurut kita tidak lucu padahal lucu.
Dan soal jadi dirjen, waktu itu, kita semua naiknya jip, termasuk Pak Harto. Beras dari pengusaha untuk pejabat saja saya tolak. Juga wakil saya di RTF, Syumanjaya. Kalau sekarang kan lain. Pejabat tinggal nggebuki orang Cina. Buk, keluar uang, buk, keluar mobil, buk, keluar hotel.
Jadi Anda bersyukur karena tidak jadi pejabat pada “masa serba buk” itu?
Di dunia ini kan tidak ada yang gratis. Saya bersyukur Tuhan tidak mengizinkan saya menjadi kaya karena jadi pejabat. Dan setelah tidak jadi pejabat juga tetap tidak kaya.
Kembali ke soal tulis-menulis. Sebagian cerpen terbaik Anda lahir di Amerika atau Jepang. Apakah proses kreatif Anda harus banyak ditunjang suasana yang nyaman?
Untuk menulis saya hanya butuh dua hal. Konsentrasi dan waktu. Di sini (di Indonesia/Jakarta) waktu ada, tapi konsentrasi tidak ada. Atau saat ada konsentrasi, kita kehabisan waktu. Di luar, seperti di Kyoto, udaranya bersih, makanannya sehat dan teratur, ke mana-mana jalan kaki (jadi lebih sehat lagi), dan kita tidak memikirkan macam-macam. Cuma menulis. Enam bulan saya di Kyoto tak pernah sakit sekali pun. Begitu pulang, langsung sakit. Dan memang ada teman-teman yang mengatakan, tulisan saya yang terbaik adalah waktu di Amerika.
Di Indonesia Anda memikirkan apa saja sampai kehabisan waktu dan konsentrasi?
Macam-macam. Negara ini saja sudah bikin pusing. Tugas-tugas saya juga bikin pusing. Karena itu saya minta pensiun pada usia 65 tahun. Mengajar pun bikin pusing. Saya ini guru dan sudah lama mengajar, toh tetap saja sulit sekali untuk mengajarkan sesuatu yang agak lain.
Sesulit apa, misalnya?
Suatu ketika saya mengajarkan mata kuliah perubahan sosial dan budaya. Saya tidak ingin masuk kelas lalu menerangkan definisi “perubahan sosial adalah…” atau “perubahan budaya adalah….”
Saya minta, siapa yang mengenal nama lengkap pembantunya, dari mana mereka berasal, dan alasan mereka bekerja, tolong acungkan tangan. Hasilnya? Tak seorang pun mengacungkan tangan. Di lain hari, saya menyuruh mereka membuat esai ringan. Banyak yang bilang sulit. Tak ada yang bisa selesai dalam satu hari. Tentu saja, ada satu-dua mahasiswa yang the light faced, pintar sekali. Tapi lapisan terbesar adalah the grey faced.
Kok, bisa? Apa begitu sulit menemukan mahasiswa yang pintar?
Sebabnya macam-macam. Tapi, yang jelas, anak-anak yang pintar itu umumnya mandiri dan gemar membaca. Orang seperti ini biasanya lebih berhasil. Nah, yang bermuka kelabu itu asal lulus saja, dan sudah pasti lulus. Wong, di universitas kita itu tidak ada mahasiswa yang tidak lulus.
Tolong beri usul agar jumlah golongan pintar di sekolah dan peguruan tinggi kita bisa meningkat.
Bongkar. Sistem pendidikannya harus dibongkar, terutama di sekolah umum. Humaniora harus dijadikan dasar (pelajaran), sehingga orang yang menjadi insinyur, dokter, atau apa saja, tahu dan gemar membaca novel. Ini bukan karena saya pengarang novel, tapi karena novel yang baik pasti menyajikan bermacam-macam manusia, yang dapat memperkaya dan memberikan pengalaman batin.
Novel Saman, karangan Ayu Utami, menurut Anda apa termasuk yang bisa memperkaya batin?
Pengarang Saman adalah anak muda yang mungkin bercerita tentang realitas zamannya. Buat orang tua, itu novel yang membingungkan. Itu cara bercerita yang tidak teratur, keluar dari pakem-pakem konvensional. Bahasanya juga macam-macam, Jawa, Indonesia, Inggris. Ceritanya banyak yang tidak me-mudeng-kan (dimengerti). Novel ini bagus. Saya akan lihat apakah novelnya yang kedua akan tetap sama bagusnya. Pengarang Saman adalah contoh anak muda yang the light faced….
Masih tentang sastra, kenapa pengarang kita belum ada yang mendapat Nobel? Ini semata-mata soal kualitas yang “belum sampai” atau ada faktor lain seperti bahasa? Para sastrawan India, misalnya, terlatih berpikir serta menulis dalam bahasa Inggris dengan baik. Mereka memenangkan Nobel.
Wah, bagaimana harus membandingkan negara muda seperti Indonesia dengan India? Membicarakan India berarti membicarakan sebuah peradaban yang tua dan panjang. Sebelum Asia Tenggara tahu apa-apa, India sudah menciptakan karya sastra yang dahsyat seperti Mahabarata dan Ramayana. Pendek kata, Asia Tenggara ini di bawah cengkeraman kultur India. Tidak mengherankan, dari peradaban seperti ini lahir pengarang-pengarang yang hebat.
Tentang keributan dan perpecahan antaretnis di Indonesia beberapa bulan terakhir. Menurut Anda, hal ini terjadi karena semata-mata soal politik atau banyak kaitannya dengan masalah budaya?
Politis tentu ada. Tapi saya kira karena masalah ini ditutup-tutupi dan ABRI dipakai untuk meredamnya. Pokoknya, dor. Kalau soal budaya, saya tidak melihatnya sebagai kata benda (noun) tapi lebih sebagai proses. Kebudayaan adalah hasil dialektika sistem-sistem. Dari dialektika akan timbul kesesuaian, yang untuk sementara akan ditantang suatu tesis dan antitesis yang melahirkan sintesa. Revolusi kita seharusnya antitesa yang hebat untuk melahirkan sintesa Indonesia yang hebat.
Tapi sudah dua orde lewat kita toh tampaknya tak mampu melakukan hal itu….
Sayang seribu sayang, kita tidak mampu. Sebab, kita mau jadi bangsa modern tapi tidak boleh baca, TEMPO dibredel. Berargumentasi dianggap kurang ajar karena menurut Soeharto itu sikap tak mau mengalah. Tidak ada dialog terbuka. Negara yang dulu menjadi murid-murid kita kini semua menghina kita.
Jadi ini kegagalan proses dialektika atau apa?
Kegagalan dalam pengertian kita sebagai pelaku tidak mungkin melahirkan antitesis. Politisi kita terlalu dikekang oleh kekuasaan, yang juga merupakan warisan dari masa dulu.
Keragaman etnis dan budaya kita, menurut Anda, lebih menyumbang pada persatuan atau justru menjadi titik rawan perpecahan?
Tergantung perubahan konsep kita tentang kekuasaan. Mulai dari presiden sampai hansip. Karena gemar kekuasaan, seorang pemain Gatotkaca yang kurus dan berpanu menganggap dirinya benar-benar bisa terbang hanya karena berpakaian Gatotkaca. Orang harus sadar, kekuasaan adalah masalah pengurusan ramai-ramai, bukan pada satu orang, entah presiden atau siapa pun.
Omong-omong soal presiden, jadi ingat Bung Karno, yang pernah dua kali Anda perankan dalam film. Kenapa tertarik main film?
Sutradaranya teman. Jadi enggak enak menolak. Ada juga yang bilang begini, “Kamu, kok, mau main di film G30S-PKI?” Mereka tidak tahu bahwa saya mendapat banyak “privilese” karena memerankan Bung Karno.
Anda bercanda?
Serius. Saya bisa merasakan tidur di tempat tidur Bung Karno di Istana Bogor, naik jipnya. Edannya, para jongos di Istana Bogor juga sungguh-sungguh menganggap saya Bung Karno. Sewaktu adegan perpisahan dari Bogor ke Wisma Yaso, semuanya menangis. Ada lagi cerita lain. Suatu ketika, di Bandara Sekarno-Hatta. Saya baru pulang dari luar negeri. Ada antrean panjang di depan imigrasi. Tiba-tiba, petugas, dengan wajah serius, memanggil dari depan: “Silakan, Bung Karno duluan,” ujarnya menunjuk saya. Giliran tas saya mau diperiksa, bosnya mencegah: “Masak, tas Bung Karno mau digeledah?” Ha-ha-ha…
***