(Tanggapan terhadap Tulisan Orang-Orang yang Berbudaya Antikritik)
Mahmud Jauhari Ali
radarbanjarmasin.com
“salam kenal
saya selalu membaca tulisan-tulusan Anda saya salut dengan tulisan Anda, tetapi akhir-akhir ini saya kecewa dengan tulisan Anda yang seakan-akan selalu memojokkan pusat bahasa,dan balai bahasa,apalagi pada tulisan Anda pada hari minggu tanggal 8 Febuari seakan Anda sok pintar dan sok mengurui. Padahal sepengetahuan Saya Anda dulu pada tulisan-tulisan Anda selalu mengaku sebagai peneliti pusat bahasa, tetapi kenapa akhir-akhir ini Anda selalu memojokan pusat bahasa, Apakah Anda orang yang frustasi atau tidak punya kerjaan, sehingga kerjaanya hanya menjelekkan orang saja dan sok pintar. Cepatlah bercermin siapa diri Anda.“
Tulisan di atas adalah isi dari salah satu pos-el yang ditujukan kepada saya pada tanggal 11 Februari 2009. Ya, tanggal sebelas. Tanggal yang mengingatkan saya dengan runtuhnya gedung kembar di Amerika Serikat. Dalam tulisan ini saya tidak bermaksud berkeluh kesah karena tulisan di atas. Akan tetapi, tulisan tersebut membuktikan kepada kita semua bahwa di alam Kalimantan Selatan masih kental dengan budaya antikritik. Budaya yang membelenggu akal manusia dalam berpikir. Budaya itu pulalah yang saya bahas dalam tulisan ini. Sebelumnya, seorang sastrawan muda Kalimantan Selatan, Harie Insani Putra, juga pernah menerima tulisan semacam itu di lamannya. Sastrawan muda itu menerimanya setelah ia menulis sebuah kritik membangun dalam lamannya berjudul Ensiklopedia Sastra Kalsel Versi Balai Bahasa Banjarmasin.
Ah, sungguh terkebelakangnya orang-orang ini dalam memandang sebuah kritik yang membangun. Padahal, selama sesuatu itu dibuat oleh manusia seperti buku Ensiklopedia Sastra Kalsel dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tentulah masih perlu direvisi. Sebenarnya kritik terhadap karya Pusat Bahasa bukan saya saja yang melakukannya. Salah satu contoh, bacalah buku besrjudul Bahasa Menunjukkan Bangsa karangan Alif Danya Munsyi yang isinya mengkritik hasil karya Pusat Bahasa, salah satunya KBBI. Ingatlah bahwa Pusat Bahasa dan Balai Bahasa Banjarmasin bukanlah Tuhan yang selalu benar. Kita sama, memiliki kelemahan dan harus saling meluruskan. Jadi, tepatlah penyataan, “Tak ada gading yang tak retak” Saya berkata yang sebenarnya dan bukan kata-kata bohong atau mengada-ada.
Untuk kepentingan tersebut di atas, mau tidak mau, kritik sangat diperlukan. Kritik tidak lain adalah tindakan meluruskan sesuatu yang salah. Lebih ringannya, kritik diartikan “mengingatkan” agar selamat. Jika kesalahan dibiarkan terus menerus tanpa kritik, dunia akan menjadi kacau balau dan binasa. Jadi, kata memojokkan yang dielu-elukan oleh pengirim pesan tersebut sangat tidak tepat. Bahkan, sebenarnya orang-orang yang menuliskan pesan-pesan tak bertanggung jawab ini telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan orang lain, yakni saya dan Harie I.P. Mereka juga telah melakukan kejahatan elektronik di internet yang seharusnya kita hindari sejauh-jauhnya.
Penulis pesan itu mengaku bernama Nur Janah Janah (nama yang tak lazim) dengan alamat pos-el di janahnurjanah39@yahoo.co.id. Entahlah, apakah itu nama aslinya atau bukan? Namun yang jelas, ia adalah orang yang fanatik kepada instansi yang dibelanya. Ia juga tidak berani mengirimkan tulisan itu di laman saya karena takut saya ketahui alamat IP Address-nya. Kemungkinan ia memanfaatkan IP Address kantor. Ternyata ia tidak tahu jika dari pos-el pun dapat diketahui IP Address yang digunakan seseorang (baca: pengirim). Setelah dicari kebenarannya, IP Adress yang digunakannya adalah 118.98.219.109. IP Address tersebut adalah IP Address Balai Bahasa Banjarmasin. Masya Allah! Inikah wajah Balai Bahasa Banjarmasin yang sesungguhnya? Lalu, Siapakah dia?
Siapa dia, tidak penting bagi kita. Hal yang menurut saya penting adalah sikapnya menanggapi kritikan. Yakni sikap yang menginginkan kritik ditiadakan. Ah, sangat lucu. Kritik sebenarnya merupakan sebuah pemikiran yang lahir dari akal yang sehat. Isi kritik tidak lain adalah sebuah pengetahuan yang lebih rasional dan cerdas. Jika kritik ditiadakan, itu artinya memadamkan cahaya pengetahuan yang lebih rasional dan cerdas dengan budaya antikritik. Dengan kata lain, Nur Janah Janah menginginkan kesalahan terus-menerus ada di masyarakat. Jika demikian halnya, kesalahan akan merajalela di Kalimantan Selatan. Wahai saudariku, sadarlah dan segerlah insyaf sebelum pintu tobat ditutup-Nya.
Jujur, dulu saya memang kerap menulis di media massa dengan mencantumkan embel-embel, yakni Peneliti pada Pusat Bahasa di bawah nama saya. Hal itu wajar karena pekerjaan saya adalah meneliti bahasa di bawah Pusat Bahasa. Isi tulisan saya dulu juga seputar bahasa dan sastra, seperti tulisan saya akhir-akhir ini yang dimuat di Radar Banjarmasin. Lalu apa yang berubah dengan isinya? Jawabnnya tidak ada. Mengapa demikian? Karena, dari dulu hingga sekarang, saya masih ikut berusaha memajukan bahasa dan sastra di Kalimantan Selatan lewat media massa. Jika menurut Nur Janah Janah tulisan saya tentang “Honorarium Sastrawan”, “Ensiklopedia Sastra Kalsel”, “Gerakan Cinta Bahasa Indonesia”, dan juga tentang “makna lema sastrawan dalam KBBI” merupakan tindakan memojokkan Pusat Bahasa dan Balai Bahasa Banjarmasin, itu salah besar. Mengapa? Karena dalam kritikan saya tersebut, saya berusaha untuk meluruskan kesalahan yang ada, misalnya saja kesalahan penggunaan bahasa Indonesia dalam buku Ensiklopedia Sastra Kalimantan Selatan. Ngomong-ngomong, bagaimana ya kabarya buku Ensiklopedia Sastra Kalsel itu saat ini? Apakah sudah diobati, atau entahlah? Saran saya, segeralah diobati sebelum bukunya wafat. Sebenarnya, juga tidak perlu adanya ESKS tandingan yang pernah diusulkan Tajuddin Noor Ganie dalam kotak pesan di laman Sandi Firli. Cukuplah satu, tapi benar. Bukankah yang berlebih-lebihan itu tidak baik? Setuju?
Mengenai makna-makna lema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan hal-hal yang dihasilkan oleh siapa pun, kita sebaiknya tidak mengikuti begitu saja. Hal ini karena kita memiliki potensi untuk menyeleksi mana yang benar dan mana yang salah. Sebagai ilustrasi, seseorang membeli kue dan memakannya tanpa memperhatikan baik buruknya kue tersebut. Akhirnya, orang tersebut meninggal dunia karena kue tersebut (ini kisah nyata). Begitu pula dengan produk bahasa dan sastra. Jika kita langsung mengikuti pengetahuan bahasa dan sastra tanpa memperhatikan benar dan salahnya, kita juga harus siap-siap menelan kesalahan berbahasa dan bersastra. Contohnya, jika kita turuti saja pengetahuan berupa jumlah sastrawan Kalsel seperti yang ada dalam buku Ensiklopedia Sastra Kalsel, kita tentu akan salah dalam pengetahuan mengenai jumlah sastrawan di provinsi ini.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah perbuatan saya dalam usaha memanjukan bahasa dan sastra di Kalimantan Selatan termasuk tindakan sok pintar dan menjelekkan Pusat Bahasa dan Balai Bahasa Banjarmasin? Silakan Anda jawab dengan hati nurani yang objektif memandang suatu perkara. Saya katakan dengan objektif karena Nur Janah Janah tidak secara objektif memandang perkara yang dilemparkannya itu. Jika ia objektif, ia akan membela pihak yang benar dan bukannya membenar-benarkan pihak yang salah. Fanatik seharusnya kita hindari karena fanatik akan melahirkan hal yang tidak sebenarnya. Hal yang sebenarnya adalah bahwa ada kesalahan sehingga ada kritik. Tetapi, disangkal Nur Janah Janah bahwa tidak ada yang salah dan tukang kritik kerjanya hanya memojokkan, menjelek-jelekkan, sok pintar, dan sok menggurui. Kalau seperti ini keadaannya, apa kata dunia?
Di akhir tulisannya, Nur Janah Janah menyuruh saya untuk bercermin siapa diri saya. Kata-katanya itu mengandung maksud bahwa dirinya lebih pintar, lebih jago, lebih segalanya daripada saya. Saya sudah mencermini diri saya sejak dulu. Saya hanyalah makhluk yang memiliki segudang kesalahan. Karena itulah saya tidak ingin orang lain melakukan kesalahan-kesalahan sehingga seperti saya. Bagaimana caranya, yakni dengan kritik yang membangun. Dengan kata lain, saya berusaha meluruskan kesalahan dengan jalur tulisan. Lalu apakah dengan itu saya sok pintar? Kalau demikian halnya, lalu apakah rasulullah yang meluruskan kesalahan kaum Jahiliah juga sok pintar? Meluruskan hal salah bukan perbuatan sok pintar, melainkan kewajiban setiap manusia terhadap sesamanya. Perhatikan ilustrasi ini. Seseorang melihat temannya tidak salat. Lalu seseorang itu cuek saja. Ia tidak peduli dengan temanya itu. Kemudian datang seorang ustad menyeru temannya itu agar mengerjakan salat dan akhirnya ustad itu berhasil sehingga temannya itu salat. Pertanyaannya, apakah ustad itu sok pintar? Tentu jawabnnya adalah tidak sok pintar. Lalu apakah seseorang yang cuek dengan temannya itu benar? Tentulah ia salah karena tidak mengkritik hal yang salah. Seseoarang itu membiarkan temannya terjerumus ke jurang hitam.
Dari paparan tersebut, jika kita, termasuk saya tidak mengkritik Ensiklopedia Sastra Kalsel misalnya, tentulah kita telah membiarkan orang-orang terjerumus dalam kesalahan. Mengenai menggurui, sebenarnya meluruskan kesalahan orang lain bukanlah menggurui. Jadi, sebaiknya jangan berprasangka buruk dulu kepada orang lain dengan mengatakai orang lain menggurui. Ingatlah, hakikatnya hidup kita saat ini adalah kita sedang berjalan di jalan setapak yang belubang-lubang. Jika kita tidak behati-hati dan tidak saling meluruskan, kita akan terjerembab dalam lubang-lubang itu. Karena itulah, kita harus berhati-hati dengan berpegang pada pedoman dari Tuhan plus sunah rasul dan harus saling meluruskan dalam segala hal untuk menggapai ridha-Nya.
Akhirnya, saya mencoba memahami keadaan alam kita saat ini. Indonesia, mengapa tidak semaju bangsa lainnya? Ya, salah satunya adalah masih adanya budaya antikritik di negara kita tercinta ini. Pada intinya, budaya antikritik hanya akan memadamkan cahaya pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu. Karena itulah, jangan memandang seseorang termasuk kritikus dengan tatapan yang sinis. Tataplah dengan pandangan yang baik dalam kehangatan persaudaraan. Terbukalah untuk menerima teman dari luar lingkup kita. Teman tentu bukanlah lawan yang harus dimusuhi, melainkan kita rangkul untuk melangkah bersama menuju kemajuan. Bagaimana menurut Anda?
***