R Toto Sugiharto *
kr.co.id
BUNG Sultan yang dimaksud dalam tulisan ini bukan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X), melainkan ayahanda beliau, mendiang Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX. Penyebutan “bung” untuk kalangan aristokrat, seperti juga untuk Sultan HB IX, bukannya tanpa sebab. Panggilan “bung” untuk aristokrat adalah akibat dari revolusi sosial pada 1946 di Surakarta (Kedaulatan Rakjat, 17 Djanuari 1946). Pemanggilan itu sebagai tuntutan kesetaraan dan demokratisasi dari kelompok radikal yang menghendaki pemusnahan feodalisme yang berakar dari kalangan bangsawan yang berpusat di Keraton Surakarta: Kasunanan dan Mangkunegaran. Tuntutan lainnya adalah peleburan sistem pemerintahan istimewa di daerah (khususnya Surakarta) agar bergabung dengan pemerintah Republik Indonesia.
Prosesnya adalah kebetulan, bila saya mendapatkan tulisan tentang peran Sultan HB IX semasa menjabat Menteri Pertahanan dalam pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 1950-an yang berhasil meredam konflik di beberapa daerah di wilayah Indonesia Timur. Tulisan ini saya temukan dalam salah satu esai pada manuskrip karya mendiang Raden Panji Anom (RPA) Suryanto Sastroatmodjo, budayawan dan mantan jurnalis yang mengisahkan perihal eratnya persahabatan antara Suryanto kecil (putra seorang bupati Bojonegoro) dengan Sultan HB IX yang bertahta sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Esai obituari tentang Sultan HB IX itu ditulis Suryanto pada 29 November 1998, sebulan setelah Sultan HB IX wafat pada 8 Oktober 1988. Kebetulan pula saya yang menyunting buku RPA Suryanto Sastroatmodjo, Bung Sultan: Bunga Rampai Esai tentang Lelaku Priyayi Jawa (Adiwacana, Juni 2008).
Diilustrasikan dalam esai itu, tetua Samin yang bergelar Kyai Lunggadung dari Nagaran – di perbatasan Bojonegoro – Blora – meyakini Sultan HB IX sebagai Ratu Amisani, raja terakhir di tanah Jawa, seperti diramalkan Raja Kediri, Jayabaya. Beberapa sifat yang menandainya, antara lain menurut Suryanto: kepribadian yang merakyat, keberhasilan meredam konflik di sejumlah wilayah “federal” dari kekuasaan RIS, dan keberhasilan merangkul dua peradaban Timur dengan Barat.
Di masa sekarang, Ratu Adil atau Mesiah hanya tinggal sebongkah mitos. Sebagai penyunting naskah, saya tidak tahu pasti apakah Suryanto juga meyakini sesuatu yang menjadi keyakinan Kyai Lunggadung itu. Semasa hidupnya, meski saya pernah sekantor dengannya, Suryanto juga tidak pernah bercerita perihal manuskripnya itu. Saya pikir, Suryanto lebih mengedepankan perannya sebagai jurnalis saat itu dengan menulis laporan apa adanya. Yang pasti, sebagai mitos, Sultan HB IX – apabila memang diyakini sebagai Ratu Adil – toh, sudah menunaikan tugasnya dengan baik. Apakah kemudian paparan tersebut mengisyaratkan bahwa tanda berakhirnya mitos Ratu Adil?
Sejarawan Suhartono W Pranoto dalam bukunya, Serpihan Budaya Feodal (2001) mengilustrasikan, mitos perihal Ratu Adil atau Mesiah merupakan aliran yang meyakini kedatangan seorang mesias atau utusan Tuhan yang mampu menyelamatkan keadaan sosial menjadi lebih ideal. Ratu Adil diyakini memiliki kekuatan supranatural, misalnya dapat mempercepat proses tercapainya zaman keemasan yang adil, tertib, serta murah sandang dan pangan. Wacana tentang kemungkinan datangnya mesias biasanya karena dirindukan oleh masyarakat tertentu yang tengah menghadapi kesulitan hidup dan tekanan keadaan. Wacana itu kemudian dikontekstualisasikan sesuai masa dan kelompok masyarakatnya, antara lain untuk pemenuhan pada profil atau sosok pemimpin daerah yang jujur, adil, dan memperjuangkan serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sejarawan mencatat gerakan mesianistik merebak pada abad XIX – XX.
Sepuluh tahun silam – setelah bebas dari rezim Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun – kita merindukan pemimpin yang benar-benar adil yang mampu membawa negara kepada situasi aman, damai, adil, dan makmur. Kita sama-sama mengantongi asa dan optimisme pasca lengsernya Soeharto. Tetapi, apa yang terjadi kemudian? Hingga sepuluh tahun era reformasi berjalan, keadaan justru semakin menyusahkan. Moralitas elite politisi semakin korup dan menjengkelkan. Kebijakan pemerintah tidak memihak rakyat. Beban hidup pun semakin berat.
Adakah harapan akan datangnya Ratu Adil masih relevan ditanam di benak kita? Bukankah mitos tidak lebih sebagai proses pencitraan? Pencitraan sebongkah mitos memerlukan legitimasi dari sejumlah kekuatan sinergis yang mendukungnya. Sementara sebagai sebuah paham, mesianistis semestinya memenuhi sejumlah karakteristik institusional. Tidak hanya fisik yang memenuhi kriteria ideal, seorang Mesiah – menurut sejarawan Suhartono – semestinya juga memiliki karakter kepemimpinan, ideologi, dan massa pendukung.
Boleh jadi, implementasinya di era reformasi untuk isu Ratu Adil juga memerlukan strategi dan siasat tertentu. Secara institusional mungkin bisa melalui partai politik atau koalisi antarparpol yang meminangnya. Tetapi, tentu saja konsepsi Ratu Adil di era keterbukaan dan demokratis sudah tereduksi tatkala mewujud atau termanifes pada sosok calon pemimpin yang dipilih melalui mekanisme pengambilan suara rakyat. Karena, pada akhirnya meskipun calon terpilih menghadapi “mitologisasi” dari kelompok sinergis yang melegitimatimasinya, pada saat bersamaan ia juga mengalami desakralisasi dari kubu oposan yang mengkritisinya. Maka, siapa pun yang menjadi pemimpin, keadaan negara pun nyaris tiada perubahan berarti.
Walhasil, impian untuk meraih hidup sejahtera, adil, dan makmur – di bawah kepemimpinan sosok berwibawa dan benar-benar adil – masih jauh panggang dari api. Seusai pesta demokrasi, rakyat kembali menghadapi kenyataan hidup yang semakin pahit. Lebih-lebih Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah wanti-wanti masih adanya kemungkinan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) lagi. Tarulah kita sudah memiliki nama-nama yang diasumsikan akan mencalonkan diri dalam Pemilihan Presiden 2009 mendatang. Mereka adalah Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarnoputri, Sri Sultan HB X, Hidayat Nur Wahid, Amien Rais, Sutiyoso, Wiranto, Abdurrahman Wahid, dan Jusuf Kalla. Nama-nama tersebut saya kutip dari hasil survei Setara Institute dan Lembaga Survei Nasional yang telah dipublikasikan di media. Tentu saja peringkat popularitas yang diperolehnya masih akan fluktuatif hingga batas waktu dilaksanakannya Pemilihan Presiden 2009. Maka, akan semakin terlihat jelas, bahwa kemunculan nama-nama tersebut tidak dilatarbelakangi dari mitos. Pun, seandainya, muncul nama kandidat baru di luar nama-nama yang sudah ada selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Lembaga survei ataupun kelompok sinergis serta media informasi akan mengambil peran sebagai pembuat legitimasi dalam proses pencitraan masing-masing nama tersebut.
Baiklah, kita tunggu saja hari-hari menuju pertaruhan eksistensi diri di ajang Pemilihan Presiden 2009 mendatang. Masih adakah parpol yang mengemas jagonya ke dalam mitologi mesianistis? Seandainya masih ada, dari kalangan pemilih pemula pasti akan mengolok-olok, “takhayul banget…!”. q – s. (4001-2008).
***
*) Deputi Lembaga Kajian Pendidikan dan Humaniora Indonesia.