PENOLAK ATAU PENGUNDANG BALA

Samsudin Adlawi

Pada 26 Desember 2004, Aceh digulung tsunami. Sedikitnya 126.000 orang tewas dan ribuan yang lain hilang. Lima puluh persen bangunan di Banda Aceh luluh lantak. Peristiwa tersebut meninggalkan duka mendalam bagi bangsa Indonesia. Secara spontan, baik sendiri maupun berjamaah, semua anak bangsa ini berdoa semoga “kiamat kecil” itu menjadi bencana yang terakhir di tanah air.

Ada yang beranggapan dan meyakini bahwa bencana alam terbesar sepanjang sejarah berdirinya Indonesia itu sebagai keniscayaan. Sebagai tumbal kekuasaan SBY-JK, menurut mereka, tsunami itu memang harus terjadi. Namun, seiring bergulirnya waktu, keyakinan itu gugur dengan sendirinya. Bencana yang terjadi di awal pemerintahan SBY-JK tersebut sepertinya malah menjadi awal dari rentetan bencana demi bencana. Bencana terjadi silih berganti. Susul menyusul. Daratan, laut, dan udara Indonesia semakin akrab dengan bencana. Sudah tak terhitung nyawa yang melayang karenanya.

Selama lima tahun berjalan ini, korban manusia terus berjatuhan. Sudah tak terhitung pesawat terbang (komersial dan militer) yang jatuh dan tergelincir di landasan pacu. Bahkan, dalam kurun empat bulan terakhir tercatat tujuh pesawat militer Indonesia celaka. Paling mutakhir, pesawat Hercules milik TNI AU yang mengangkut 96 prajurit jatuh di Magetan, Jawa Timur pada 20 Mei 2009 silam. Tidak sampai sebulan, tepatnya pada 12 Juni kemarin, giliran Helikopter Puma H-3306 milik TNI AU jatuh di sekitar Lanud Atang Sendjaja, Bogor, Jawa Barat.

Selama empat tahun terakhir, laut kita tak kalah ganasnya. Beberapa kapal laut telah ditelannya berikut ratusan penumpang di dalamnya. Tercatat sedikitnya 12 kecelakaan laut dalam rentang waktu tersebut. Dimulai pada 8 Juli 2005, KM (Kapal Motor) Digoel celaka di Laut Arafura dan menelan korban tewas hampir seratus orang. Tiga kecelakaan laut mewarnai tahun 2006. Yakni, pada 28 Desember 2006 KM Tristar I tenggelam di Selat Bangka. Dua hari berikutnya (30 Desember) giliran KMP Senopati Nusantara yang mengangkut 500 penumpang dan 25 ABK. Masih pada tanggal yang sama, kapal jenis RoRo (roll on roll off) milik PT Prima Fiesta hilang di sebelah utara pulau Mundanika, Kalimatan Selatan.

Tahun 2007 laut kita lebih ganas lagi. Kali ini, empat kapal yang celaka. Pada 22 Februari 2007, sedikitnya 25 penumpang KM Levina I jurusan Tanjung Priok-Pangkal Balam, Bangka tewas. Kapal yang mengangkut 291 penumpang itu terbakar di Selat Sunda. Bahkan, empat anggota tim investigasi tewas saat bangkai kapal tersebut tenggelam pada 25 Februari 2007. Selanjutnya, pada 11 Juli ganti KM Wahai Star yang mengangkut sekitar 100 penumpang dan ribuan ton hasil bumi dari Leksula tujuan Ambon tenggelam di peraiaran antara Pulau Buru dan Ambon. Pada tanggal yang sama KM Sinar Madinah juga tenggelam di perairan Laut Selatan Desa Hu’u, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Terakhir, 18 Oktober 2007 KM Asita III tenggelam di perairan Selat Kadatua, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Sedikitnya 31 penumpang tewas dan 35 yang lain hilang.

Sepanjang 2008 tercatat tiga kecelakaan laut. Yakni, kapal RoRo Dharma Kencana dari Semarang menuju Sampait pada 18 Mei terbakar di tengah laut. Berikutnya, pada 28 Agustus giliran kapal RoRo Dharma Ferry 3 yang bertolak dari Makssar (Sulawesi Selatan) menju Balikpapan (Kalimantan Timur) terbakar saat hendak merapat di dermaga Pelabuhan Semayang. Dan, pada 11 Januari 2009 KM Teratai Prima tenggelam di Tanjung Baturoro, Sendana, Majene, Sulawei Barat. KM Teratai Prima membawa sekitar 250 penumpang dan 17 anak buah kapal diterpa gelombang laut disertai angin kencang dan hujan deras saat melakukan perjalanan dari Kota Pare-Pare, Provinsi Sulawesi Selatan menuju Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur.

Pada Mei 2009 KM Sabahat Sejati celaka di sekitar pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, melengkapi kecelakaan sebelumnya. Yakni tabrakan dua kapa kontainer Tanto Niaga dan Mitra Ocean di sekitar terminal peti kemas Surabaya. Hingga pertengahan tahun 2009, samudra kita masih menunjukkan keganasannya.

Sementara itu, transportasi darat seperti kereta api, mobil, dan motor juga meminta banyak korban jiwa di daratan Indonesia. Sudah tak terhitung jumlah nyawa yang melayang di jalanan. Angka korban tewas di darat bertambah akibat letusan gunung berapi, banjir, dan longsor. Musibah terakhir adalah tewasnya 33 orang akibat ledakan di tambang batu bara Bukit Bual, Kecamatan Talawi, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat.

Sebagai orang beriman, kita meyakini Tuhan pasti mendengar doa yang dimanjatkan umatnya. Tapi, pertanyaannya, kenapa kecelakaan demi kecelakaan masih saja terjadi di darat, laut, dan udara Indonesia. Ada baiknya kita mulai introspeksi, menerungi kejadian demi kejadian. Sudahkah sikap dan laku kita sesuai dengan norma dan ajaran agama. Selama ini setiap kali terjadi musibah, selalu saja alam dan alat yang dijadikan kambing hitam. Padahal, alam dan alat itu di bawah kendali manusia. Rusaknya kelestarian alam sangat bergantung kepada kearifan manusia. Demikian pula dengan rusaknya alat.

Modal Kampanye

Dikisahkan dalam hadis riwayat Imam at-Turmudzi dan Ahmad, pada saat Allah menciptakan bumi, bumi bergetar. Lalu Allah ciptakan gunung. Berkat kekuatan yang diberikan Allah kepada gunung, bumi pun terdiam. Karena merasa heran menyaksikan penciptaan gunung tersebut, para malaikat bertanya, “Wahai Tuhan kami, apakah ada ciptaanMu yang lain yang lebih kuat daripada gunung?” Allah menjawab, “Ada, yaitu besi!” Mereka bertanya lagi, “Wahai Tuhan kami, apakah ada ciptaanMu yang lain yang lebih kuat daripada besi?” Allah menjawab, “Ada, yaitu api!” Kemudian mereka bertanya lagi, “Wahai Tuhan kami, apakah ada ciptaanMu yang lain yang lebih kuat daripada api?” Allah menjawab, “Ada, yaitu air!” Para Malaikat kembali bertanya, “Wahai Tuhan kami, apakah ada ciptaanMu yang lain yang lebih kuat daripada air?” “Ada, yaitu angin!” jawab Allah.

Tapi, mereka bertanya lagi, “Wahai Tuhan kami, apakah ada ciptaanMu yang lain yang lebih kuat daripada itu semua?” Allah menjawab, “Ada, yaitu amal anak Adam, yang tangan kanannya mengeluarkan sedekah sedangkan tangan kirinya tidak tahu!”

Subhanallah. Gunung, besi, api, air, dan angin ternyata kalah kuat dibandingkan amal sedekah manusia. Di akhirat kelak, kekuatan amal dapat menyelamatkan manusia dari panasnya api neraka, dari hujaman besi-besi yang menyiksa, dari sangkakala dan tiupan angin puting beliung di hari kiamat. Sedangkan di dunia, amal baik berupa harta dan kebajikan akan menyelamatkan manusia dari bala berupa bencana yang diakibatkan oleh gunung, besi, api, dan air.

Musim kampanye seperti sekarang sebenarnya merupakan momentum yang tepat untuk menolak bala dan mara bahaya yang bermuasal dari unsur gunung, besi, api, dan air. Seperti diketahui, total dana kampanye capres yang tercatat di KPU mencapai Rp 45 miliar. Ditambah yang tidak tercatat di KPU jumlahnya bisa mencapai ratusan miliar lebih. Andai saja dana berlimpah itu oleh para capres-cawapres dan timnya diniatkan untuk amal dan sedekah kepada rakyat yang tidak mampu, niscaya akan menjadi senjata pemungkas untuk menolak bala. Sebaliknya, jika penggunaan dana yang berjibun tersebut diniatkan semata untuk menarik simpati rakyat agar memilihnya pada 8 Juli nanti, tinggal menunggu saja datangnya bencana-bencana susulan yang akan menimpa negara ini.

Masih ada waktu bagi capres-cawapres untuk kembali menata hati dalam membantu rakyat kecil seperti yang dipertontonkan di media. Masih ada kesempatan untuk meluruskan niat dalam menebar janji-janji kampanye. Bantuan capres-cawapres yang diberikan dengan ikhlas dan tanpa reserve, sebagaimana hadis yang penulis nukil di atas, akan menghalau bencana, insyaAllah. Bahkan, dengan kekuasaan Allah, akan memuluskan langkah menuju kursi R1dan R2. Wallahu a’lam bi al-shawab.

***

Leave a Reply

Bahasa ยป