Menghadap Barat ‘Nungging’ Timur
IBM Dharma Palguna
balipost.com
MENGHUBUNGKAN gambar peta pulau Bali dengan ayam jago, dengan bebek, dengan dolong, atau dengan apa saja yang sejenisnya, bagi saya itu boleh-boleh saja. Bahkan boleh juga ditambahkan bahwa Nusa Penida itu seperti sebutir telornya. Itu kreatif dan imajinatif namanya.
Sebagai orang yang punya hubungan dengan Pulau Bali, saya masih lebih senang bentuk pulau ini digambarkan seperti ayam jago daripada digambarkan seperti keong, atau kakul, atau bekicot yang sedang mengeluarkan mulutnya. Memang belum ada orang yang menggambarkannya seperti itu. Tapi penggambaran seperti itu kelak bukan hal yang mustahil. Karena bukankah seperti sudah sering kita bicarakan, orang cenderung melihat apa yang dipikirkan dan dibayangkannya.
Seekor ayam jago yang kecil tapi sedikit angkuh! Tentu ada konsekwensi dari gambar seperti itu. Salah satu konsekwensinya, ayam jago itu mau harus dilihat sedang menghadap ke arah Barat. Dan akan ada banyak konskwensi lainnya bila kita semua sepakat bahwa pulau yang satu ini dikatakan memandang ke arah barat. Karena barat yang dipandang maka Barat yang akan nampak. Demikian pula akan muncul banyak konskwensi bila kita setuju bahwa ayam jago ini punya pantat, dan pantai itu nungging ke arah Timur.
Tentang tungging-menungging, saya jadi teringat cerita rakyat Bali tentang kisah ‘Manusia Separo’ (I Sibakan) yang lahir dengan tubuh serba separo. Manusia Separo itu lahir dari kandungan seorang perempuan yang dikutuk oleh Dewa Matahari, karena perempuan lugu itu pernah nungging, atau sengaja menghadapkan pantatnya ke arah Matahari. Orang-orang di desa asal perempuan itu sangat percaya bahwa nungging ke arah Matahari adalah kesalahan fatal. Akibatnya bisa dikutuk oleh Dewa. Dan seperti umumnya hukum yang berlaku, kesalahan orang tua akan ditanggung oleh anak-anak mereka. Begitulah salah satu pasal dari hukum alam tempat asal perempuan itu keturunan dianggap berhutang kepada pendahulunya. Hutang itu harus dibayar.
Anak yang lahir dengan tubuh serba separo itu akhirnya harus menebus kesalahan ibunya dengan rentetan panjang upacara penebusan. Upacara panjang itu diilustrasikan dengan penyucian diri dengan cara mandi tiga puluh tiga buah pancuran. Artinya, memohon pembersihan dari semua Dewa. Karena dewa-dewa dalam agama Hindu umumnya dikelompokkan menjadi tiga puluh tiga dewa utama. Syukurlah upacara panjang Manusia Separo itu berjalan tepat guna dan tepat sasaran. Sehingga tidak sia-sia umur dan pikiran yang dititipkan Sang Hyang Widhi kepada Manusia Separo itu. Si Manusia Separo akhirnya menjadi Manusia Utuh.
Begitulah leluhur orang Bali mengajarkan bahwa tidak boleh nungging ke arah matahari, apalagi tepat pada saat matahari terbit. Karena matahari adalah Dewa. Sedangkan pantat manusia jelas tidak berhubungan sama sekali dengan simbul-simbul kedewaan. Walaupun tidak disebutkan secara eksplisit, nungging ke arah matahari tenggelam juga tidak dibenarkan. Karena matahari tetap matahari. Dewa tetap dewa. Terbit atau tenggelam itu masalah lain.
Jadi ‘pantat’ pulau Bali ini nungging ke arah Matahari Terbit? Pertanyaan seperti itulah salah satu konsekwensi yang saya maksudkan di atas. Terlebih lagi bila pertanyaan itu dibungkus dengan cerita yang berisi kutuk-mengutuk seperti kisah Manusia Separo itu, tentu akan membuat yang sederhana menjadi kompleks. Sebuah kelahiran ditebus dengan upacara yang tak putus-putus. Pada mulanya hal tebus-menebus itu terjadi dalam cerita, tapi pada akhirnya memang betul dilakukan dalam realita.
Nungging ke Timur dan menengadah ke barat. Begitulah gambar ayam jago kita. Ada apa di barat? Ada Jawa, atau Jaba (fonem w = b). Jawa atau berarti ‘luar’ Ayam jago yang memandang ke Jawa (Jaba) berarti memandang ke luar. Konsekwensinya, ayam itu tidak memandang ke dalam. Atau dalam idiom Bali, tidak nyiksik bulu (introspeksi) atau tidak sedang memandang ke dalam dirinya.
Tapi barat bukan hanya dimaknai apa yang ada di luar. Barat juga dimaknai arah matahari tenggelam. Arah dari mana datangnya malam yang ciri utamanya adalah gelap. Oleh karena ciri itu, barat juga dimaknai dari mana datangnya terang buatan, atau sinar sejuta lampu.
Begitulah contoh konsekwensi dari memahami gambar Pulau Bali sebagai ayam jago nungging ke Timur dan menghadap ke Barat. Konsekwensi seperti contoh di atas bukanlah mengada-ada. Karena bukankah semuanya bermula dari pikiran. Dan itu baru salah satu konsekwensi. Masih banyak lagi dampak psikologis yang bisa dimunculkan dari penggambaran seperti itu.
Gambar ayam jago itu adalah buah pikiran. Cerita Manusia Separo adalah bunga pikiran. Pemaknaan pada Barat adalah juga ampas kerja pikiran. Apa yang terjadi pada kenyataan, baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi, adalah sesuatu yang terlebih dahulu rampung dalam pikiran, disadari maupun tidak.
Gilimanuk secara harfiah memang berarti pulau kecil (gili) yang menyerupai ayam jago (manuk). Sebagai nama Gilimanuk memang menunjuk pada satu desa di ujung Bali Barat. Tapi sebagai kata, gili-manuk menunjuk pada Pulau Bali keseluruhan.
Dan entah ‘kebetulan’ entah sengaja, di Pulau inilah ada ajaran bahwa seorang Bebotoh (penyabung ayam) dengan berbekal sehelai bulu ayam jagonya akhirnya bisa ‘bertemu’ dengan Dewa Shiwa. Ajaran itu terbungkus dalam cerita rakyat Bali berjudul Bagus Diarsa.
Tentang cerita dan ajaran itu lain kali saja kita bicarakan. Untuk kali ini kita berhenti sejenak pada ketertegunan bahwa pulau ini ternyata sejak zaman dahulu sudah sangat berhubungan dengan ayam jago, bebotoh, upacara, ceceran darah ayam aduan, rontokan bulu ayam.
Kita tertegun bukan hanya oleh itu semua, tapi juga karena semua itu ternyata punya dewanya masing-masing.
***