Sitok Srengenge
majalah.tempointeraktif.com
NGEH
Naskah dan sutradara: Putu Wijaya
Tempat: Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki 11-12 Oktober 1998
Menepis kata dan mengais citra. Itu strategi panggung Putu Wijaya yang terbaru. Sebuah forum kesenian dengan klaim internasional, ternyata, punya pengaruh langsung pada kreativitas seorang Putu Wijaya. Ketegangan antara hasrat menggarap tema aktual dan keinginan menawarkan pola yang universal rupanya telah mendesakkan inspirasi untuk menempuh sebuah keputusan: mengubah strategi pemanggungan. Caranya dengan menepis kata karena Putu tak perlu lagi repot mencari metode atau paradigma baru. Ia telah cukup punya modal sejak penggaliannya dalam repertoar Yel, tujuh tahun lalu. Modal itu adalah idiom bayang-bayang–suatu bentuk citra yang kita temukan pada pergelaran wayang.
Hasilnya adalah pameran visual sepanjang 75 menit berjudul Ngeh (kurang lebih berarti “sadar” atau “paham”), sebagai salah satu acara Art Summit Indonesia II 1998, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, 11-12 Oktober silam. Memang, tak ada alur cerita di sana. Hanya selembar layar putih membentang seluas ruang permainan. Di baliknya, cahaya memancarkan aneka warna, membiaskan bayang-bayang manusia, binatang, dan benda-benda. Sesekali ada kain hitam merojol dari bagian tengah atau bawah layar putih itu, sesaat menyorongkan berbagai bentuk ganjil berselubung misteri, untuk kemudian surut dan lenyap kembali.
Layar yang dimainkan secara amat kreatif itu, tak pelak, menggendam beragam asosiasi. Entakan suara-suara riuh itu–jerit ketakutan dan rintih kesakitan, gedebam pukulan dan berondongan senapan, bahkan sunyi yang menghampar sesekali–seakan terasa bagai ketajaman yang menyayat kulit, merajam daging, dan mencabik-cabik hati. Rentetan gerak hiruk-pikuk yang membayang itu menggambarkan perilaku pemerkosaan massal, penyiksaan brutal, bahkan adegan aktivitas para tentara–memburu dan membantai korban atau menonton pemerkosaan sambil satu tangannya bermasturbasi dan tangan lainnya mengacungkan senjata–dipadu dengan citra binatang buas yang melahap mangsanya, niscaya melengkapkan rasa giris dan geram. Segala gambaran yang mencekam silih berganti berkecamuk, menebar debar, seperti mimpi buruk meruyak dari alam bawah sadar.
Pertunjukan itu memang dimaksudkan sebagai sebentuk refleksi atas keadaan sosial kita yang penuh tragedi dan ironi. Sebuah kesaksian, renungan, serta sikap tentang kondisi (di Indonesia), tepatnya fenomena Mei 1998 yang rusuh yang mengguratkan luka lepuh. Kendati begitu, Putu tak lantas mengemas gagasannya menjadi sajian realistis. Ia melambungkannya ke tingkat yang lebih tinggi melalui imaji-imaji surealistis yang mengusik kesadaran transendental. Sebagaimana yang diisyaratkan judulnya, Ngeh, tebersit semacam keinginan agar penonton jadi mafhum bahwa seluruh fenomena itu sengaja diangkat ke tataran kemanusiaan secara umum. Target pertunjukan itu adalah teror mental. Pengertiannya tentu tidak identik dengan teror yang melimbur kehidupan masyarakat kita selama ini. Teror yang ditebar Putu Wijaya bersama Teater Mandiri, sebagaimana dalam banyak pementasannya, adalah teror secara spiritual. Teror itu menggedor kesadaran penonton untuk waspada, mengkaji dan menguji ulang segala kesimpulan yang telah mati. Dalam konteks itu, menurut Putu, kesangsian itu menjadi suci.
Dominasi bayang-bayang dalam pertunjukan itu juga menyarankan bahwa untuk memahaminya tak cukup hanya berpijak dari yang kasatmata. Ia tidak semata mempertontonkan seperangkat kaidah estetika yang memenuhi sensasi indrawi, tapi sekaligus mengusung ke panggung esensi realitas yang selama ini diartikan secara kategoris sebagai fakta, nilai, dan peristiwa. Di sana, realitas tidak lagi dipahami secara faktual. Ia telah diabstraksikan sampai pada arti yang substansial.
Dalam pendekatan spekulatif, realitas merupakan misteri di balik kenyataan konkret sehari-hari. Makna realitas bukan ditentukan oleh kehadiran yang konkret, melainkan bergantung pada ide atau imajinasi yang menciptakan konstruksi realitas itu. Jika diibaratkan benda, substansinya tidak terletak pada wujudnya yang nyata, yang wadag, tapi berada di balik strukturnya. Sedangkan struktur itu tersusun atas sejumlah unsur, dan setiap unsur terdiri atas elemen yang lebih kecil. Begitu seterusnya sehingga segala ke-“nyata”-an, jika terus diusut dan diurai, akan mencapai “wujud”-nya yang paling final, yakni simbol.
Melalui pertunjukan ini, Putu nyaris mencapai target teror ataupun upaya visualisasi gagasan. Dari segi bentuk dan citra, efek dari permainan layar dan kain jauh lebih optimal dibandingkan dengan beberapa pementasan sebelumnya. Juga, bayangan gerak-gerik yang gaduh dan saling piuh terasa lebih karikatural dan kadang mencapai bentuk-bentuk ekstrem yang merangsang imajinasi, menegaskan asosiasi, dan sekaligus menajamkan kontradiksi. Pencapaian artistik itu tak hanya mengabarkan detail penyutradaraan, tapi juga kepiawaian para pemain mengeksplorasi tubuh dan menghidupkan properti. Para pemain terlatih dalam corporeal mime, bertolak dari improvisasi tapi sadar harmoni.
Tata artistik yang dikerjakan Roedjito serta musik garapan Harry Roeli & DKSB memberikan aksentuasi pada setiap imaji. Bahkan, boleh dibilang, paduan musik Harry kali ini melebihi seluruh keterlibatannya dalam beberapa produksi Teater Mandiri. Sayang, seluruh jalinan imaji yang membangun ketegangan dengan impresi kekerasan itu mendadak ambyar pada 15 menit menjelang akhir pertunjukan. Saat itu, sesosok tubuh tambun yang amat gede tapi lunglai muncul secara perlahan. Tiba-tiba terdengar suara Harry Roesli mengalunkan lagu kematian.
Bayang-bayang di layar tak tampak lagi, diganti kelebat gambar slide tentang aksi reformasi, lengkap dengan kepalan tangan, slogan, dan kekerasan. Lalu terdengar suara Harry menyanyikan lagu Jangan Menangis Indonesia (saat itu saya justru ingin menangis), dan, dari arah penonton, segerombolan anak-anak menghambur ke panggung. Kali ini yang terjadi adalah optimisme yang klise: di tengah puing kehancuran senantiasa tumbuh harapan, sebab anak-anak adalah masa depan! Sementara itu, di layar, wajah para tokoh–Soeharto, Soekarno, Prabowo Subianto, Amien Rais, dan Megawati Soekarnoputri–muncul silih berganti.
Penonton pun melontarkan pelbagai reaksi atas kemunculan para tokoh tadi. Kata-kata yang sejak awal pertunjukan ditepiskan justru menegaskan kehadirannya lewat tayangan gambar spanduk dan ingar-bingar celetuk. Dengan seluruh kekenesan itu, agaknya, Putu dan Harry ingin memberi indikasi perihal teks dan konteks pertunjukan–suatu pilihan yang kurang selektif dan berkesan berlebihan. Akhirnya, tontonan yang dijanjikan bakal fantastis ini hanya tersaji sebagai teror setengah matang.
***