http://www.kompas.com/
Anakku dan Lautnya yang Tak Bertepi
-DA-
anakku memelihara lautan di sekitar matanya
dilingkupi gegunungan yang senantiasa menyimpan matahari
pada salahsatu bahu rindang yang teduhnya nun tak bertepi
: bunda
dilingkupi bebukitan yang karang
tempat hinggap dari segala sepi
: yanda
pada salah satu riaknya terdapat begitu banyak
apa ini dan apa itu, ingin ini dan ingin itu,
raih ini dan raih itu, gigit ini dan gigit itu
di atas gegunungan aku merajut satupersatu jawab
mendaurnya ulang hingga sehalus bedak
biar nyata jadi seindah mimpi
pada ombak ia cipta tangis
pada semesta kucipta pelukan tak berbatas
jagat yang menggantung di atasnya
punya banyak domba putih yang menghalau silau
hingga berjalan di pantai adalah memahami setiap
liku dari anugerah yang ia bawa dari syurga
: yang memasir
sesekali aku membawakan kail untuk dilempar ke lautan
yang dalamnya serupa lubang hitam di angkasa
: pekat tak berensiklopedi
; masa depan
kali lain, busur adalah hadiahku untuknya
berharap dia nyaman ketika kulesatkan menuju muara
dengan busur itu
bahwa ia berkarib dengan angin adalah mozaik
dan aku akan siapkan landasan berumput tebal
dengan remahremah kenangan yang memantulkan cahaya
hingga kapanpun ia lelah melesat dan ingin menepi
ia tahu dimana setapak menuju lautnya
Jakarta, 22 Mei 2009
Wajah Selepas Hujan
-DA-
: Lentera
wajahnya adalah rangkuman damai selepas subuh
yang menghantar dingin menyapu tanah
yang menjadikan titik air bergantung di pepucukan
yang menyulap kerumunan kartu di pos ronda menjadi lelap
tak peduli subuh pelan menguap
yang mengantar pulang demit dan ririwa
: hanya ada dengkur halus dan harum nafasnya
dan aku akan menghirup wajah itu penuh
membiarkannya menyesaki dada pada setiap sudut
dan berbekal aroma masam lepas boboknya
untuk santap siang yang begitu merindu
demi wajahnya yang serupa sunyi
aku akan meredam semua bebunyian
menyembunyikan helaan nafas
melangkah dengan ibujari
dan menutup pintu kamar mandi rapatrapat
agar sirna riak, hingga hilang gemeretak
: jatah boboknya masih lama, hingga dhuha nanti
wajahnya adalah rangkuman sejuk hari selepas hujan
yang membuatmu bebas bernafas tanpa polutan
yang membuatmu merapatkan baju hangat
lalu menarik hidung dalamdalam
aku akan menghamparkan selimut hangat untuknya
menutupi tubuh mungil itu hingga setengah dada
dan jika beruntung, aku akan mendapati dia menelisik nyaman
menikmati kehangatan
lalu aku dan kamu hanya akan berbincang pelan
tentang khadimat yang baru saja kita andalkan
tentang tetangga yang belum juga melunasi gamisnya
tentang betapa bahagianya kita
sesekali akan kutengok lentera yang lelap hingga bulan penuh mengangkasa
tengah malam nanti lentera pasti menyala dan mencari ketiakmu
Jakarta, 09 Juni 2009
Gedung BKPM Selepas Hujan
*) lahir di Jakarta, 11 November 1982. Tumbuh dan besar di Bogor. Tidak mempunyai riwayat kepenyairan dalam bantuk apapun, melahirkan puisi hanya sesekali ketika romantisme menyamarkan egonya. Pernah menjadi salahsatu pemenang dalam lomba puisi yang diadakan oleh golagong.com, menerbitkan secara indie dua buah novel: Aurora Pendar Cakrawala -2005, Dan Cintapun Rukuk -2007. Puisinya terdapat di Buku menggenggam Cahaya -SekolahKehidupan.com. Tulisannya yang bertema long distance love masuk dalam Antologi bersama dengan judul yang sama -LPPH 2009. Saat ini bekerja di sebuah perusahaan IT di Jakarta, aktif di berbagai milis kepenulisan, menulis di blog, dan berusaha menjadi warga negara yang baik dengan mengikuti pemilihan umum.
www.sekolah-kehidupan.com , www.catatankecil.multiply.com