SISA PERTANYAAN AKAN KENANGAN
Bulan jingga setengah rentah
menyapa degub hati gelisa
hanyut dalam kesepian malam purna
Berserat-serat tarian dedaunan
memuja kelam
pada kejinggan dalam keterjagaan
Gegunungan memandang,
menunduk – berderet
Baris-baris lampu kota
hiasan mata memandang
Jauh lanskap petunjuk malam
pesona perbukitan, dimana kota menjadi kenangan
Seperti kemarin
dari jauh penuh harap
kau memandang
Kini ku dapati
kau menyelinap dibalik semak-semak, entah kemana?
harapan tertinggal sia
meranggas seperti jati di musim kemarau
kau pertanyakan perihal cinta, kepadaku?
mengejar
menyergap
terdesak
tertinggal keyakinan
tak mampu berkata-kata
Rembulan remang bercampur bintang
penghias malam serta petunjuk nelayan
Aku terperangkap dalam lembah-lembah, malam pekat
tak sadar lalu hilang,
bagai ashabul kaffi
mata terbuka dengan kebaruan
(Dimana ku temui percakapan panjang para filosof
tentang kebenaran cinta: sehabis aku tertidur didalamnya).
Malang, November 2008
MENGENALMU
;nt
Biarkan aku mengenalmu. Lewat tubuhmu dari ujung rambut hingga ujung lentik jemari kakimu. Belai panjang rambutmu temukan serpihan fikirmu, inspirasikan jalan terjal. kehidupan pengembala peradaban.
Kecup kening-cium bibirmu, temukan keindahan bahasa kemanusiaan lewat air liur yang menetes kendalikan nafsuku,
merajut nilai-nilai suci
Pelukkan tubuhmu mengajak pergi jauh temui lorong-lorong panjang kemunafikan, terhentikan seketika saat kenikmatan kuasai semu surga janjimu.
Dan kukenal pertikaian dari balik sikap tubuh acuh-bergumul, dengan laras senapan tak pernah berhenti menekan pelatuknya, ambisi kepuasan selaput tipis menurunkan derajatmu.
Kau mulai melepas sutra yang menempel ditubuh, membuat lupa siapa diriku? hatiku mati seketika bersama ledakan meriam-meriam tak pernah henti.
Harapku: kembalikan ranum bibir manis-bertabur senyum kemanusiaan, hentikan dangkal fikir-hidupkan luka hati
Mulai kenalkan kaki, langkah tegap menuju surga-surga tak berujung
Malang, 10 Januari 2008
KENANG PURNAMA
Pada malam purnama
Terbawa dalam satu asa
Bergelimpangan kesadaran
Terbang bersama ilusi
Temui gemintang berdegup kencang
Perjalanan seorang putri penjaga mimpi
Satu luka mengelupas dibawah bayangan bulan
Menginjak satu petanda zaman
Dua dinding hati membuka
Air tumpah
Di pelipis mata rindu
Lama tersimpan duka
Berjalan lambat
Mengikat pada satu langkah
Sakral tertumpah dalam peluk jiwa
Malang, Februarai 2009
DI PINTU MALAM
Terbuka sudah
Rahasia surga
Mengintip tanah tak rata
Kening menjadi saksi mata
Berduan larik sajak
Ketuk pintu ditiga baitnya
Malang, Februari 2009
MENJELANG PAGI
Seorang putri
Memamah payu darahnya
Terayu dahaga
Embun jatuh ditubuhnya
Tak sempat basah
Sudah tergugah
Bergeleparan mata terjaga
Berlarian rasa terjajah
Sembunyi di bilik dosa
Malang, Februari 2009
SEPEREMPAT MUSIM
Seperempat musim meretas nasib. Melahirkan aku yang kalah menyiasati waktu. Berlinangan darah mrembes ke dada, seketika berdegup kencang. Tanah-tanah tak lagi basah bahkan melebihinya. Ratusan mulut menganga: kedinginan tanpa tirai kehangatan.
Papan-papan kayu berlarian terus berputar. Serupa hantu tanpa waktu memenjarakan aku yang beranjak sembunyi?seakan tak mau tau. Kalimat suciku runtuh berlinangan air mata. Tak sanggup menahan haru.
Sedang segerombol orang menyelam tak sampai dasar tanah, lalu banyak bicara sembari tertawa tergelak-gelak tanpa pelatuk lucu. Aku kembali runtuh tak mampu mengadu. Di seperempat musim aku mati kutu.
Lamongan, Februari 2009
NYANYIAN PEZIARAH
Semburat aroma dupa
wewangian kembang tujuh rupa
masuk mata memicu mantra-mantra
do?a menjadi sedekah
Langit menangis
mukanya pekat-lebam
disertai teriakan petir
menjilat-jilat pepohonan
ranting patah
tanah-basah
Dalam ragu
orang-orang meminta keselamatan
menukar dengan dupa
kembang tujuh rupa
Langitpun tersenyum
dalam nada sakral para peziarah
petikkan melodi ingatan beku
kembang dupa mekar wangi
naiki langit
dinada akhir lagu merdu
Gunung Kawi, 3 Januari 2009
MERINDUMU
;kawan lama
Terkadang ada setumpuk rindu
dan lewat begitu saja.
(menyerangi nafas perjalanan)
Harapan adalah kesaksian akan masa depan
dan hanya beku di akal
hati pun enggan membakar.
Dulu-kini-esok
hanyalah waktu
berlagu merdu.
Berubahkah kalimat-kalimat suci itu
janji di ruang tunggu
menanti pintu-pintu
rumah: dimana kita berawal.
(saat-saat ingin bertemu).
Sesobek kesadaran menganga
dari kilatan pedang muasal rindu
beringsut dalam tanya; untuk apa?
(menatap wajahmu dengan ragu)
Malang, Februari 2009