“mendulang sesyair”
Jika merajang sesyair puisi pertanyakan berjawaban
Semestinya ditengok langkah sehidup menggenggam bekalan
Jika melerai sesyair bersebrangan pertanyakan searah tujuan
Semestinya ditengok latar sehidup mengurai riak adaban
Tangan jangkau pikir mengulah hati merekah?
Atau akal menggigil rasa melengah pedang pun menjengah?
Adakah tertanya lubuk menyirat menggaduh kecamuk memucuk?
Atau hanya searah ingin dimaksud merujuk peluk semabuk?
Air pun memancar melenggok semua arah melantun alam
Menggenggam bumi memetak tanah menebar semi membuncah polah
Pun membecek hati meluap samudera mengamuk sepanjang kelam
Masih dipersoalkan dulangan sajak kepakan kalap angin menggubah?
Jika Dia hanya pentas cenderung terasi dan mengakuNya
Di mana onggokan sampah romantisme gila mencari pemilikNya!
Semestinya lagi direlakan tangan sesyair menjulur menggerayang alam!
jul 09’08, sby
“sudut tua Surabaya kini”
Potret tua itu
Hingga gambaranmu kini
Melayang kenang terjejak haru
Tersisa isak tergerus nadi
Kokoh anggunmu menepi
Sombong jaman menyeruak sontak
Melayar cadar terkandas basi
Tertera dera terlecut keranda
Tatapmu goyah cendawan yang kau singgahi
Sepagimu sesak menahan remuk bergemuruh
Pijakmu terserak roda melengas kau terburai
Sesenja mengiba merebak kisah berkeluh
Lalu sayu senyummu menyapaku oleng
Selaksa halilintar mencekam kau gamang
Perlahan pasti…
Sampai kapan kuat bertahan?
may 05’08, sby
“hadirmu”
Ku tersundut dalam riang
Menata sunyi lukisan sebaris mayang
Hingga remang kau menyisip
: sesaji lalu, yang mengetuk pintu ; ku mati
Ku tergugah sepenuh diam
Selibat sayu antara rayu terperam
Hingga lenggang kau coba kunci mata
batin yang melata
: selarik kenang, yang memeluk hening ; ku jaga
Sayup meronta berdesir letih
Tepis gurat rajah seraut buih
Lalu sapa kau hembus menerpa
dahaga ku yang jelaga
Hingga lambai pun melingkar luap
: selayang angan, yang mengiang kerjap ; ku kais
Kini ku genggam dian, disela hitam-putih berkejaran
bersulur, menangkup serpih-serpih
: sampai nanti, luka ku bersyair selembut pagi ; dirimu
jan 17’09, sby
“TakSadar tergugukTersadar”
Sebodoh aku-an aku tupai meloncat
Sejatuh berdebam mengais-ngais akhirnya
Tak sadar kata ku melompat menampar
Tertutup kisi-kisi menyalak sesumbar
Tersadar saat ku di batas yang ambang
Terguguk tercenung kerisauan terkenang
Seolah kutuk seisi alam mengarahku
Bergetar geragap telah lukai sepanduku
Jika palu godam seberat hati semesta berayun
Selayak kias itu melabrak menjambak ku disayat
Berpongah mengurung terlena mencabik-cabik
Sungguh senja ku berbalut tawa cadas mengusik
Andai racun ku terlontar tak sudi-mu berbagi penawar
Karna harga sumbang tak mungkin terbayar
Maka hunjaman tajam ini
adalah tera bagi telisik ku memetik dawai senar
may 22’08, sby
“tampar jelagaku”
Kuduk menelikung, bongkok merajuk-rajuk rusuk
Huuu, tak bosan berenang, hulu batur setia ditarik-tarik
Diri ditunjuk-tunjuk, terlepaslah piaraan punguk
Mbok ya terbang saja, mengintai lantas menukik
Lho, hanya mengerik seperti jangkrik?
Krik-krik-krik! Krik!
Cuma parkir, disambi menjaja kripik
Weleh-weleh, kok gak kapok-kapok!
Sudah, sudahi berpeluk tepuk!
Periuk sudah mau retak tuh
dipanggang menerus tanpa lauk pauk
Sesekali, seterusnyalah!
Nyalakan obor, sulut jalan menganga di depan
Minyak sudah penuh, bahkan sampai luber
: silahkan ditiriskan
Hmm…
Kata, membuka selangka, raup setatap matamata
Kaki, langkah membentang cakra, menjerat bening
Mata, meliuk kusyuk, menyengat paruh belantara
Batin, kosa menyemat pekat, menyimpul nadi beling
Karuan meremang jelaga, menina bobok, meremas-remas belaka
Tinggal telaga, melebah rambah, mencecap utas-utas niaga
Terbanglah terbang!
Tak perlu merayap-rayap, menjuling, menjinjing, apalagi memaling
Hanya menilik, memantik, mengutak-atik, menjalin benang keling
: pucat pasi hanya sejenak, bias-bias beranda kan jejaki kunang
jul 19’08, sby
“hasrat terkalut mimpi”
Sejajak serupa pautan membelenggu kala
Terderak meringkik menyambut kelopak bala
Terburai mengacak serabut tarik tali pedati
Sebeku kutub hati tertekuk rajakan petian kaji
Semudah itu insan memaku diri dalam hasrat
Takkan pudar jejaknya meluntur dalam lautan masa
Setia melentur ikuti gerak nadi naungi jiwa sepi
Seusia hayat kan menuntun arah panggilan diri
Begitu nyenyak bertabur mimpi memasung hari
Takkan usai hingga tabir mimpi tergambar pasti
Adakah terbersit tanya kala senja jiwa berkabut?
Takkan mudah terurai segala tajuk terlanjur kusut
Seakan gayung bersambut semakin membusa tersaput kalut
Semesta hamba tak henti saling carut berebut marut
Hanya satu harap yang tertutup hijap kelam kabut
Yang senantiasa hanya pajangan di dinding kalbu
Hanya terucap bagi pemanis kata tertinggal makna
Seakan terlepas resah dalam kias membuminya bias
Seberkas harap dari jiwa-jiwa terlunta tanya
Senantiasa mencari keteduhan Sang Kala tuk akhiri semua
may 13’08, sby
“meredam ngiang”
Sarat melekat erat di kalbu menjingkat-jingkat!
Hingga sembilu tergugah gundah menyemat rekat!
Menyenjang, ku terawang kata beradu jenjang
Meremang paruh berparut, merunutmu tikam rajang
Sekilas majas berutas talas, menggigil ku terpahat penat
Tak sadar cadar berujar, mengguman cawanmu bersekat pekat
Tak tertembus, andai kelebatnya meradang panggang
Berkarat, andai sejengkal pun tak jua melekang gamang
Sudut ku terenggut, mengais pahit terekam manis
Memucuk punguk, mencecar mahar terperam perih
Semburat, sungguh mahkotamu telah beruban sinis
Mengoyak, menyalak dan melabrak pedih!
Ahh, biarlah masa itu lintang pukang merajuk-rajuk
Ku tak peduli lagi wajah usang hari-hari semasyuk!
Usai sudah gelap itu kangkangi kuduk meruntuk!
nov 21’08, sby
“berarak diri(Nya)”
Di mana engkau si kelana kalam?
Ahh, rupanya sedang mencengkerama senja
Tak habiskah penatmu membasuh kaki langit?
Wah, juga serupa itu senja engkau kini
Kapan hari, kulihat kaupahat pagi?
Hingga kukira sepagi itu dirimu terpatri?
Siang mendaki pun, tak ubahnya sepuja terik!
Lantas bagaimana kujumpa sebenar dirimu?
Kau jawab, tanyalah mereka tlah merangkaikanku
Hahahaha, malang rupanya mereka lacur bersahut hasut
Ya! Lantas, kau pertaruh di mana mukamu itu?
Lalu kulepas kau tenggelam ke dasar malam
Katamu,tanyalah pada-Nya, ada padamu kan?
may 19’08, sby
“jejaK gundah”
Merebak menangis menangkis
menghunjam menata menampik
Senja apa yang kunaung kini?
Mengkikis mencabik mengurai
Tercerabut tak daya
semesta merambah mengiba
Ku terdiam kenang
Mencoba angan ke depan
Mengikat selibat kalang
Andai ku mampu bertahan
Akan kah ini kan ku akhiri?
Hanya tanya tak mampu ku jawab
Sayang, beribu umpama melebah jalan
Tak satu pun mampu menghalang
Hingga gemanya mengembara
dalam linang berpeluh kesah
Biarlah ini kan ku tanam
dalam dendang memanjat malam
Mengais malang berebut gundah
memanjat doa mendayu-dayu
may 26’08, sby
“terhuyung apung”
Kutuk meruntuk, sepah menyerapah
Langkah menjengah, rapuh melepuh
Polah meranggas, akal beringas
Sanak menanjak, ranahku memanas
Teguh jatuh, rantas tertumpas hempas
Lemah bernanah, parah bersusah-susah
Keranda siap meminang perang
Tendang kanan tangkap kiri tajuk menggelandang
Gelang bergulung mengapung sepayung
Runtang-runtung menanggung beliung
Clung clung, pulung-pulung meliuk mendayung
Pentung bersambut gayung mengurung huyung
Duyun-duyun memasung sungsang mengganyang
Tindak menandak kelebat bebat menggoyang
Du rung dung dung, aku terhuyung-huyung
Kesandung tudung payung bergulung-gulung
Terkuras emosi, melepuh meranggas beringas
Takkan habis hingga tuntas menandas batas
Semat-menyemat, jagat menyengat kumat meruwat
Rehat merangkak, jinjing merinding memucat keramat
belum habis umpat menjingkat kesumat!
jul 13’08, sby