Sajak-Sajak Eimond Esya

Short Story

Semakin jauh lagi, aku berjalan. Menempuh kilometer
penciuman hidung tajam, bibir tajam, tipis tebal rindu
yang ingin kupasrahkan di atas mayat buku tulis
yang terlentang. Halaman kebudayaan yang kosong

Seperti orang yang mengejar kematiannya lebih dini.
Setiap saat ia dituliskan. Ujung penaku berulangkali
disumbat katarak. Selaput tambur gendang telingaku
menjadi buta. Dan lambungku terbata-bata meremas
kotoran padat bubur semiotika, atau derita tuntutan
akan akhir yang bahagia.

Tapi, O betapa
cerita itu adalah seluruh hidupku. Semua huruf kususun
dengan kuas nafas. Seperti pelukis mematungkan
perempuan murung dalam kanvas. Paras agung kalimat
yang akan terus kucatat hingga alis matanya itu
akan ku buatkan epitaf dari tinta bulu rusa.

Itulah kenapa aku akan terus tinggal di sini. Di tempat
aku pernah pergi. Ketika pertamakali dulu kutemukan
seorang kekasih dalam kalimat yang berkhianat dari
arti hakikat, di atas sumpah hidup hingga lumat
dalam timbunan paragraf , dialog dan tumpukan derita
akibat,

Ah! duhai para pembacaku-
Adakah cara lain untuk menuliskannya dengan cara
yang lebih singkat selain dengan:

Karena aku begitu mencintainya?
__________________________
E.E, 2009

IBAH

Kuhikmati setangkai sunyi. Diselipkan
dengkur bulan ke telinga ranting. Dalam jari
kabut yang turun menjangkauku. Seperti
janggut beringin menyentuh pusat kelam
Kudengar Kecipak insang di dasar sungai.
Dan letupan embun yang melepaskan diri
dari pori-pori kayu.

Kubayangkan kau sembahyang: Berkibar.
Mengangkat dupa. Cawan batu, genang
emas, taburan melati. Dalam sunyi yang
kalap. Mukamu berkilauan. Tatkala kau cium
tangan ibumu. Telah kau hisap tandas
susunya.Buah sejarah yang tergantung itu.
Kini Menjelma tunas muda, sebuah cula.

Ketika itulah kemudian, di kejauhan, Bukit-bukit
mulai ditabuh. Gong bergema dan ribuan jari
serentak menari mematahkan terali Pura.
Menggelepar-gelepar dalam irama. Matahari
menerobos langit malam dan bulan membelalak
sebelum terkulai oleh arak.

Alkisah, demikianlah yang kudengar bagaimana
kau telah membuat waktu hanya sekedar tamu.
Dan mataharimu yang memberiku puncak malam,
membuatku telanjang lebih tinggi, lebih sunyi.
Lalu ketika peri-peri bertelanjang dada,
mencelupkan kaki di sungai tempatmu mandi,
tubuhku menjelma sabun cahaya

Aku menjadi demikian mutlak dan licin,
lepas dari genggaman peradaban
Tergelincir dan jatuh ke kedalaman

perkusi jacuzi
____________________________________
E.E, 2009, Kepada: Tjokorda Raka Kerthyasa

INFEKSI

Kau mestinya akan mati

dalam sepotong roti isi:
Racun tapioka
keju biru,
salad pestisida,
kacang dalam cangkang.
Mati kekal.
Seperti boneka
yang ditekan dadanya.
Kau bahkan tak akan
mampu merintih,
meski terus dipompa angin,
lambung baja
kompresor oranye tua.
Hanya perlahan
tubuhmu akan sebengkak
gusi rusak yang mengigit granit
sampai retak.
Dan menghasilkan
Uap 100 CC valium
di lobang gerahammu yang panas.
Sedikit lebih panas dari gulai
yang sedang memisahkan
gliserin dari daging has,
pahit dari empedu,
dan cacing dari cakar traktor
di ladang-ladang bunga matahari
nun jauh di sana di puing-puing
sisa savana yang beraroma
bubuk sari dan ompol bunga
Seperti pispot menampung
juluran testikel bengkak
sampah medik rantai kanker yang
menjahitmu dengan metode
tikam jejak
tusuk silang, klim hecter
dan resleting nilon
yang menutup tengkorak ibuku
dengan lempengan titanium
lalu digunakannya untuk
menyembahmu Tuhan
dalam tahajud ganda

Salvo!

Pada ruh, pada setengah ruh
Yang mengerang sebelum
menjadi
Mayat duri dalam nirvana

Kuburan magenta
______________
E.E, 2009

Batu Waktu

Desember lenyap di topi Sang Pesulap.
Aku sesat, langkahku tersaruk.
Benam sepatu busuk.
Membuat setiap jejak sesunyi bangkai.

Mestinya kupahami sejak dulu,
ia ternyata hanya membius
pada jarak yang telah ia atur.

Aku pun harus terukur.
Dalam meter waktu
bergerak menuju diam batu,
menunggu
_____________
New Year, 2004

BELUDRU

Kau cium pipiku kuberikan padamu bulan dan bintang
di pusat huruf X. Outer limit, mestinya itu puisi patah hati
Namun, bagaimana mampu kutindihkan nafsu di pinggulmu
yang padat, jika temanmu, musisi itu telah menjadikannya
akordion?

Di teras balkon, dua kelingking kami berpegangan.
Aku dan permaisuriku. Sedangkan kau, Astaga! Bukankah
Itu subversif? Kau nikahi seorang pemilik galeri, lalu lahir
anakmu yang bernama Padi. Demikianlah kita bertarung
agar tetap waras. Membendung ciuman, juga desakan tinja
di dubur tube cat murahan.

Gelap beludru, gelitik gatal dalam syaraf ngilu,
masturbasi di jok Taxi , dan kita yang gila karena bisu.
Ya, Itulah seni, Sayang. Dan kita adalah pancaran seksual
sebatang lidi yang tak tercabut dari tanah Gambut
Kini kuingatkan lagi padamu,
ada tiga kenikmatan ganjil di lidi itu

Ilusi,
Konstruksi,
Konstelasi

____________
E.E, April 2009

Leave a Reply

Bahasa ยป