Stro Bertanya: Siapa Lebih Cantik di Antara Kami

Yetti A.KA *
jawapos.com

Sebelum tidur, Stro, istriku, kembali bertanya: jadi siapa yang lebih cantik di antara kami. Aku meliriknya dan secepat itu pula ia membenamkan wajah ke bantal. Ia tersengut, setengah ditahan. Aku tahu sesungguhnya ia tidak menginginkan jawaban dariku seperti biasa ibunya berkata ”kamu lebih cantik” setiap Stro bertanya pada sebuah cermin, meniru adegan sebuah dongeng anak-anak sebelum ia lulus SMP. Aku paham apa yang mesti kulakukan, keluar dari kamar sampai Stro tertidur. Sama seperti malam-malam sebelumnya.

Pagi harinya Stro tidak membuat segelas kopi dan beberapa tangkup roti bakar, menu makanan pagi kami. Aku bertanya lewat tatapan mataku. Ia bilang: aku capek sekali. Maaf ya kali ini tidak ada hidangan di meja makan. Sekali-sekali kau sarapan di luar, apa salahnya. Aku berkata, ”ada apa denganmu, Stro?”

Stro tertawa, memasang muka terheran-heran sembari menyipitkan matanya, ”memangnya ada apa denganku?”

”Kau tidak seperti biasa.”

”Jadi kau lebih suka aku tetap seperti biasa?”

”Stro…”

”Dengan kata lain kau tidak senang kalau aku mulai tidak membuatkanmu kopi dan roti bakar?”

”Bukan itu maksudku.”

”Oh, jadi apa maksudmu.”

”Kenapa harus emosional.”

”Oh, jadi kau juga tidak senang kalau aku emosional?”

”Kau membuatku bingung.”

”Kau bahkan membuatku sinting!” pekik Stro tajam.

Aku terpana. Juga Stro. Ia jarang berteriak sekeras itu. Ia kikuk dan menjauh tiga langkah dariku. Kemudian sudah dipastikan, air merebak dari kedua matanya. Stro memang mudah menangis. Dulu aku menyukainya karena ia bisa menangis terisak-isak di hadapanku bagai gadis kecil berusia dua belas tahun yang lupa diundang pada pesta ulang tahun teman sekelasnya padahal ia sudah menyiapkan sepotong gaun baru, di minggu pertama kami pacaran.

Aku mendekat pada Stro, mengelus punggungnya sampai ia dapat mengendalikan diri.

”Aku bertemu dengannya lima hari lalu,” ujarnya pelan. ”Dia tambah cantik,” tubuh Stro gemetar. ”Sungguh, ia cantik sekali.”

”Lalu kenapa kalau ia cantik?” tanyaku.

Mata Stro kembali menyala. ”Aku terluka.”

Stro cemburu. Aku agak lucu menyadarinya. Ini mengenai perempuan itu. Stro salah kalau bertanya siapa yang lebih cantik di antara mereka. Perempuan itu bukan cantik tapi cerdas. Sementara Stro jelas tidak cerdas tapi cukup cantik. Dan kalaupun ia kelihatan lebih cantik di mata Stro, aku yakin perempuan itu sama sekali tidak peduli. Lalu apa yang melukai Stro.

”Kau tidak melihat aku tambah gemuk sekarang?” Wajah Stro layu, umpama bunga yang tidak disiram berhari-hari. Hampir-hampir mengenaskan.

Benar. Setahun ini tubuh Stro berlemak di sana sini meski ia belum sekalipun melahirkan. Pelan-pelan ia menjadi perempuan menikah kebanyakan. Ia tidak secantik dulu saat rajin ke salon atau merawat tubuhnya dengan ramuan mangir, setidaknya satu kali sebulan. Belakangan ia juga malas mengenakan krem malam atau memberi vitamin pada rambutnya. Aku justru suka Stro yang begini. Simpel dan tidak seribut dulu. Dan terpenting, seperti kukatakan padanya, ia justru lebih menggoda saat rambutnya bau keringat sehabis membersihkan sepetak kebun anggrek ketimbang saat ia menata wajahnya hingga sedemikian cantik tapi palsu.

Namun aku merasa kasihan padanya. Aku memeluknya dan membesarkan hatinya dengan berbisik: Kau lebih cantik.

Kupikir aku akan melihat Stro lega dan tersenyum lagi.

Aku keliru, Stro malah bilang: kau bohong.

Aku menatap sedih: Stro…

Ia berkata: kenapa kau mengira bisa membohongi aku.

Aku tergugu. Stro senderut. Kulihat matanya perlahan lengas, tapi ia tidak bersuara. Aku tidak tahu benar sejak kapan ia dapat menangis dengan diam. Bahunya terguncang. Stro bertahan seakan mau menunjukkan ia berbeda dari dia yang dulu –perempuan yang kusukai karena tangisnya yang ekspresif.
***

Sore hari seusai bekerja aku telah berada di pinggir lapangan yang sekarang kosong. Karena musim hujan, lapangan ini tidak dipakai anak-anak bermain bola. Biasanya di sini ramai, terutama sore.

Rumput lebih hijau. Cuaca tidak terlalu buruk, tapi jelas tidak cerah. Kuperkirakan hujan akan turun nanti malam. Atau paling cepat saat senja. Aku tentu pula sudah berada di rumah ketika itu. Hubunganku dengan Stro sedang tidak bagus, pulang terlambat akan menambah buruk keadaan.

Seseorang berada tidak jauh dariku. Ah, bukan satu orang, tapi berdua. Mereka baru datang, kukira, mengingat tadi aku tidak melihat siapa-siapa di sini. Seorang perempuan dan anak lelaki. Perempuannya masih cantik dan langsing. Modis. Rambutnya berpotongan bob. Ia tersenyum padaku. Aku mengangguk. Ini pertama kalinya aku melihat mereka di sini.

Anak lelaki itu segera berlari ke tengah lapangan. Kudengar perempuan itu berkata pada anak lelaki: jangan lepas sandalnya, kau masih ingat kan rumput yang ada durinya itu.

Aku tahu jenis rumput yang dimaksud perempuan itu. Putri malu. Dan tumbuhnya hanya di pinggir lapangan, itu pun sedikit sekali. Di tengah lapangan hampir tidak mungkin ditemukan karena biasa dipakai latihan bola kaki, juga tempat anak-anak sekolah latihan berbaris atau upacara tujuh belasan tingkat kecamatan. Ingin sekali kusampaikan pendapatku ini pada perempuan itu agar dia tidak terlalu cemas.

”Cemas? Kau melihatku tampak begitu? Bahkan tidak satu orang pun percaya kalau aku mencintai anak itu, meski aku mengatakannya sampai berteriak,” ujar perempuan itu masygul.

Aku berharap hujan turun tiba-tiba. Dan aku akan berlari kecil meninggalkannya sebagaimana orang yang tidak punya kaitan apa-apa. Tapi kini aku benar-benar telanjur berada di depannya, menyaksikan dia yang sekuat tenaga menahan perasaan, sementara hujan ternyata tidak turun untuk menyelamatkan aku dari situasi melodrama ini.

”Aku lancang rupanya.” Aku tidak terlalu yakin apa yang mesti kukatakan.

”Kau cuma mengejutkanku,” ia menarik napas dan mengeluarkannya perlahan.

Aku lega perempuan itu dapat lebih santai. Matanya ternyata indah sekali. Cara menatapnya fokus, menunjukkan ia perempuan yang mesra dan menghargai lawan bicara.

”Aku Sang.” Perempuan itu memberi tahu namanya dan tidak bertanya siapa namaku.

Sang. Nama yang bagus dan cocok untuknya. Memberi kesan kalau ia perempuan kuat dan mandiri. ”Ah, tidak juga begitu.” Ia mengibaskan tangannya saat kukatakan demikian. ”Kau sering ke sini?”

Aku tersenyum, ”Setiap aku bertengkar dengan istriku, aku akan berada di sini. Lapangan terbuka bagus untuk pikiran yang sedang kusut. Sejak kecil aku suka duduk-duduk di pinggir lapangan. Kadang sampai seharian.”

”Bagaimana rasanya menikah?”

Kupandang Sang, sedikit serius.

”Dia anakku dengan mantan pacar.”

”Kau ditingalkan?” tanyaku bersimpati.

”Tidak juga. Aku yang meninggalkannya. Ia mau menikahiku karena aku hamil, bukan karena ia mencintaiku.”

Pernyataan yang terlampau berani.

”Sebelumnya pasti ia mencintaimu.”

”Mungkin. Tapi kemudian dia cepat bosan.”

Sang menunjuk anak itu. ”Kau bisa melihat kalau ia amat kesepian?”

Mataku mengikuti telunjuk Sang. Pemandangan di tengah lapang serta merta menyihirku. Sejak kapankah ratusan capung bermacam warna –kebanyakan merah dan kuning– mulai berdatangan ke lapangan ini, rasanya, setengah jam lalu masih begitu kosong, hanya rumput hijau. Dan capung-capung itu terbang sangat rendah, tepat di atas kepala anak itu, seolah capung-capung itu tengah menghibur seorang anak yang kesepian. Ya. Anak itu kesepian. Dapat ditebak dari sikapnya yang canggung.

Aku menoleh pada Sang. Ia mencabut beberapa batang rumput, dikumpulkannya jadi satu dan memain-mainkannya. Ia berusaha tidak gelisah.

”Waktu hamil dia, aku bersikeras ingin membuangnya. Entah kenapa ia bertahan.”

Aku melihat lagi ke arah anak itu. Ratusan capung masih berada di atas kepalanya. Terbang ke sana kemari. Kadang mereka bergerak searah, lalu berbalik lagi. Mirip pesawat tempur dalam film perang yang berhamburan di bawah langit. Anak itu mulai berlari-lari. Seolah mengejar capung, namun juga tidak sepenuhnya demikian. Anak itu justru memerankan salah satu dari capung itu. Mereka tengah membuat permainan, hanya mereka sendiri yang memahaminya. Ah, sekawanan capung dan anak lelaki di lapangan berumput hijau. Aku merasakan suasana magis saat menatap mereka. Sebelum ini aku belum pernah melihat capung berkumpul sebanyak itu.

”Pemandangan yang memukau,” akhirnya aku bergumam.

”Hanya capung.” Rupanya Sang memerhatikan juga capung-capung itu.

”Suasana yang mereka ciptakan, sangat magis. Mendalam.”

”Aku tidak merasakannya.”

Aku menentang Sang. Sungguh. Matanya indah sekali. Dengan mata seindah itu harusnya ia lebih peka menangkap hal-hal kecil yang menggugah.

”Kenapa kalian bertengkar?” Sang beralih ke topik lain.

”Aku tidak tahu apa cukup pantas membicarakannya dengan orang yang baru saja kutemui, belum satu jam berlalu.”

”Aku malah terbiasa membicarakan masalah pribadi pada orang yang tidak kukenal. Aku tidak percaya pada teman. Mereka tidak benar-benar bisa menyimpan rahasia meski sebelumnya kita meminta mereka ”jangan bilang siapa-siapa ya” sampai berkali-kali. Apa kau tahu mereka juga akan berkata yang sama saat bercerita tentang kita pada orang lain ”jangan bilang siapa-siapa ya” hingga kita telah menjadi bahan gosip.”

”Kau unik,” selorohku.

”Beberapa orang bilang begitu.”

”Istriku cemburu pada satu-satunya mantan pacarku. Perempuan itu sedikit mirip denganmu, unik.”

”Sudah kuduga. Pasti soal perempuan lain.”

”Tidak sejauh itu. Kami jarang berhubungan. Dia perempuan yang cukup sibuk. Istriku cemburu karena belakangan merasa perempuan itu lebih cantik darinya. Padahal perempuan itu bukan cantik, tapi cerdas.”

Kupikir Sang akan mengatakan sesuatu tentang istriku, namun ia malah mendongak ke langit, ”Awan tambah tebal!” Ia berseru. Dilepasnya sepatu bersol datar. Ia berdiri. Siap bergabung ke tengah lapang, ”Asal kau tahu, ini pertama kali aku mengajaknya pergi keluar rumah, berdua saja. Semacam date ibu dan seorang anak lelaki. Ternyata ia senang sekali saat kami menemukan lapangan ini. Aku baru akan mencoba menjadi seorang ibu yang ia impikan. Well, aku tidak berharap kita bertemu lagi setelah ini.”

”Boleh kuminta nomormu?”

Ia menggeleng dan segera menjauh dariku.

Benar. Awan makin tebal. Ini lebih cepat dari perkiraanku. Aku bergegas meninggalkan lapangan. Saat hujan benar-benar turun, aku sempat membalikkan badan. Perempuan dan anak itu berpegangan tangan, berputar-putar. Ada keinginan yang kuat untuk bergabung bersama mereka. Cepat kubuang pikiran itu. Aku bergerak lebih cepat. Hujan turun dalam volume tambah besar. Aku berteduh di sebuah warung. Aku penasaran apa perempuan itu sudah mengajak anak lelakinya berteduh. Saat aku melihat ke tengah lapangan, aku tidak lagi menemukan mereka. Hanya saja sangat tidak masuk akal capung-capung itu justru masih di sana. Warna mereka berkilau-kilau di bawah titik hujan. Bagaimana mungkin mereka terbang melawan hujan?
***

Kuputuskan pulang tanpa menunggu hujan reda. Stro tidak terlalu suka sendirian ketika hujan. ”Hujan membuatku takut,” ujarnya suatu hari. Pernyataan yang terdengar kering. Ia memang tidak bisa dikatakan romantis.

Sepanjang perjalanan aku mengkhawatirkannya. Atau semacam rindu yang beranjak berat.
***

Di depan pagar, aku berhenti. Tanganku ragu membuka gembok yang dapat kujangkau dari luar. Aku merayang. Di halaman. Di bawah hujan. Stro tengah bermain bersama ratusan capung bermacam warna –tentu lebih banyak merah dan kuning. Stro tertawa meriah. Sementara capung-capung itu –aku tetap tak habis pikir bagaimana mungkin mereka terbang melawan hujan–berkerumun di atas kepala Stro. Kadang berpusar.

”Stro…” Suaraku tersekat.

Stro melambaikan tangan, ia menyeringai, gigi-giginya menghitam, dan kalimatnya mengancam: jadi siapa yang lebih cantik di antara kami.

Seandainya ada yang ingin kuajak bicara saat ini, tentu hanya perempuan itu, Sang. Sayang sekali aku tidak mendapatkan nomornya.
***

Jalan Enam Mei, Februari 2009.

*) Bergiat di Komunitas Daun, Padang. Tinggal di Sumatera Barat.

Leave a Reply

Bahasa ยป