S.W. Teofani
http://www.lampungpost.com/
AKU menuju Firdaus. Sebuah taman yang dijanjikan Tuhan bagi jiwa-jiwa tenang. Tuhan memanggil jiwa-jiwa itu lebih lembut dari desau angin. “Hai jiwa-jiwa tenang, datanglah kepada Tuhanmu dengan kegembiraan dan ridho-Nya. Masuklah pada barisan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke surgaku.”
Hatiku berdegup kencang. Mangeja; termasukah aku salah satu jiwa yang dipanggil semesra malam pengantin. Air mataku meleleh, manelaah, mungkinkah panggilan itu pantas untuk jiwa-jiwa gelisah, seperti jiwaku.
Tapi Tuhan pun mengutuk hambanya jika tidak punya kepercayaan diri untuk berusaha sampai di taman itu. Aku terngiang syair Abu Nawas. Penyair yang mashyur dengan kekocakannya, tapi serius ketika membahasakan Firdaus. Illahilas tulil Firdausi ahla. Wala akwa ala narril jahimi. Wahabbi taubatan, waghfir zunubi. Ya…Tuhanku, aku tidak pantas masuk ke Firdaus-Mu yang Agung. Tapi aku pun tak sanggup terbenam di jahanam-Mu. Maka terimalah taubatku dan ampunilah dosaku.
Seberapa lamakah jiwaku setenang saat penuh harap di antara ketidak berdayaan. Bukankah lebih banyak untuk terlena dengan sendau gurau dunia.
Beberapa masa aku mabuk pada tawaran sebuah taman lain yang dipersembahkan kafanaan. Taman yang sangat indah, memesona, bahkan saat itu aku tak yakin Firdaus lebih indah dari itu. Aku pun ingin menetap di taman itu lebih lama, bahkan kekal di dalamnya. Melupakan Firdaus yang dijanjikan Tuhan.
File-file hatiku mengeja, aku telah sampai di Firdaus. Ternyata Firdaus sangat dekat. Dan aku tak menginginkan Firdaus yang jauh, entah di mana. Aku menikmati hari-hariku dengan tersenyum, hatiku selalu bahagia, mengikuti mekarnya bunga-bunga. Setiap pagi jiwaku sejuk, dibasahi bening embun kearifan. Kulihat matahari bersinar sempurna, dia menerangi, tanpa terik yang membakar. Senja begitu anggun dengan kepakan sayap bangau meninggalkan padang gembala.
Aku membatin, mengapa taman ini begitu indah, adakah taman yang melebihinya, mungkinkan Firdaus seindah ini, kalau lebih indah dari ini, sanggupkan aku memasukinya.
Suatu ketika aku lelah dengan semua tanya. Aku lupakan tentang Firdaus yang agung, karena taman ini telah memberikan segalanya. Kenyamanan, kebahagiaan, keindahan, ketenangan. Di taman ini, api menerangi, tapi tak memercikan bara. Mawar sempurna dengan duri, tapi tak melukai. Gelap malam menjadi nyayian syahdu, tak ada kengerian, apa lagi duka. Lara melebur dengan seluruh yang disebut kebahagiaan.
Di sebuah pagi yang elok, seekor elang bertengger di dahan kanigara. Melati menghiasi taman dengan harumnya, aku tanyakan kepadamnya,
“Duhai elang, apa yang mmebuatmu betah di taman ini? Tidakkah kau ingin pergi jauh?”
“Apa yang akan kucari di tempat yang jauh, kalau taman ini telah mencukupkan hidupku.”
“Kau tahu elang, ini bukan taman Firdaus, tempat yang dijanjikan Tuhan sebagai tempat terindah. Bukankah Firdaus masih jauh.
“Kenapa kau tanyakan yang jauh, kalau ada yang menyenangkan di dekatmu. Manusia memang sering tidak mensyukuri yang dimilikinya.”
Seekor burung asing ikut bergabung, aku tak pernah melihatnya di negri mana pun.
“Hai manusia, kami memang cukup dengan apa yang ada di taman ini, tidak ada perhitungan bagi kami di akhirat nanti. Jadi kami bisa menikmati taman ini semau kami. Tapi bagi kalian, semua ini hanya persinggahan. Tak ada yang abadi di sini. Maka mengapa kau harus merasa nyaman di tempat ini?”
“Oh..kau, apakah kau keturunan hud-hud milik Raja Sulaiman?”
“Tak perlu kau tanyakan siapa aku, mungkin lebih baik kau renungkan ucapanku.”
Kemudian burung itu terbang, aku terpana. Kembali menikmati kepakan sayap elang yang perkasa. Melupakan kaliamat hud-hud seiring kepergiannya.
“Duhai burung raja-raja Swarna Dwipa, mengapa taman ini begitu indah, membuat kita menjadi betah?”
“Tanyakan pada dirimu wahai manusia, karena dirimu yang bisa membuat taman ini indah atau sekadar kumpulan benda yang tiada artinya.”
“Maksudmu?”
“Di tubuhmu ada benda ajaib yang bisa merubah apa saja. Dan hidupmu akan sangat dipengaruhinya. Taman ini bisa menjadi indah atau belukar tak berguna. Tegantung benda itu memaknainya.”
“Apakah itu hatiku?”
“Ya…Kau merasai taman ini indah sempurna karena hatimu berbunga, Tuhan menumbuhkan rasa istimewa di dalamnya, hingga duri kau kira mega, panas terik kau rasa senja.”
Aku memeriksa hatiku, kudapati mekar seindah surya. Seluruh yang masuk di dalamnya dipintal menjadi keindahan. Kebencian menjadi kedamaian, kejahatan menjadi kasih, kesengsaraan menjadi bumbu yang mengharu biru. Kamudian aku tengadah; Bila Tuhan mencabut semua, mungkin taman ini menjadi serpihan puing yang setiap sudutnya serupa luka.
Kuamati wajah-wajah di sudut lain, semua bersuka, semua tertawa, mereka memadu rindu dengan pasangannya. Aku pun menanti pangeran hati yang menuntunku ke taman ini. Dia sebentar lagi tiba, membawakan kumpulan mega yang selalu dipersembahkannya setiap senja. Benar kata elang, aku merasai sesuatu yang istimewa. Sebab itu semua nyaris sempurna.
Aku mulai gelisah, apakah senja nanti dia kembali, seperti senja-senja yang lalu? Tiba-tiba diri takut kehilangan, kehilangan sosoknya, kehilangan taman ini dengan seluruh keindahannya.
Setelah senja merona, aku memungut kuncup-kuncup teh kering. Jika dia datang di ambang petang, kuncup-kering itu kusedu dengan air panas, harumnya akan mamanggilnya memanjakanku. Lalu kami beradu pandang sambil melempar senyum bahagia. Dan kamilah sejoli penghuni abadi taman ini.
Matahari bersembunyi di balik mega merah saga, keriapnya tak juga menyapa. Aku mulai cemas, mengapa dia terlambat. Pada senja-senja yang lalu, di waktu yang sama, kami telah menghabiskan hampir seluruh teh di poci. Sambil saling bercerita, tentang setiap sudut taman yang tak pernah habis diurai. Kami selalu tergelak, memuji, dan menikmati depa sudut taman ini. Tak pernah kami risaukan jika esok atau nanti semua akan pergi. Yang kami ingini semua abadi, hingga keabadian cemburu dan memorak-porandakan angan kami.
Kutengok lagi pematang yang jauh, sosoknya tak juga ada. Kuteriaki, sia-sia. Hingga suaraku raib dalam gema pada lazuardi tertingi. Dia tak jua memberi jawab. Malam bertandang. Untuk pertama kalinya di taman ini aku mendapati cekam. Taman ini serupa kuburan tua tempat bersemayam vampir-vampir penasaran. Tak ada lagi kerik binatang malam menawarkan kedamaian. Diselingi semilir angin dan harum bunga sedap malam. Kini, auman srigala di kejauhan mendirikan bulu roma. Tertawa penyihir tua mengabarkan kengerian neraka. Aku tersedu sendirian, menangisi hilangmu, menyesali keindahan yang sirna umpama siluman. Segala lenyap ke bentala lain tak terjangkau. Aku lindap tergagap di antara sedan dan isak.
Perlahan ragaku beranjak, meninggalkan puing taman yang menyisakan mimpi. Kucari jejak Firdaus di antara kabut. Kutapaki ruas-ruas keabadian. Hud-hud yang pernah pergi, datang menyapa,
“Akankah kau sadar di mana Firdaus, jika kau nyaman di taman itu. Jangan pernah kau percaya dengan pesona seluruh keindahan sang fana, secepat kilat dia sirna ketika kau puja sempurna.”
“Hud-hud, jangan tinggalkan aku. Temani aku ke Firdaus yang agung.” Aku terisak mencincing gaun yang menyapu jalan.
“Tuhanku, Tuhan kita, tak memberiku amanah untuk menuntunmu menuju Firdaus. Sebagaimana Dia tidak menyuruhku menuju Firdaus. Sebab aku tak diberi kesempurnaan akal sepertimu. Pun aku tak dijadikannya pemimpin semesta raya. Maka pergilah seorang saja. Cari Firdausmu. Tak seorang pun bisa menuntunmu menujunya, kecuali atas kehendak Tuhanmu.”
“Hud-hud, aku mohon..jangan tinggalakan aku…aku rindu Firdaus..”
“Tanytakan kepada hatimu. Dia jujur yang paling jujur kepadamu; kau tidak merindukan Firdaus, tapi merindukan taman itu, merindukan kekasihmu…”
“Hud-hud…. ”
Hud-hud itu pergi. Aku terseok; menyusun serpihan hati; mengumpulkan kekuatan; melupakan keindahan taman; mencari jalan menuju Firdaus di antara semak dan dan hati yang remuk. Gaunku tercabik deduri, ujung-ujungnya tersangkut dahan-dahan kering. Kerikil tajam melukai kakiku yang telanjang. Kupandangi kucuran darah segar. Perjalanan masih jauh…aku tak tahu di mana ujung dan tempat pemberhentian.
Kutarik nafas. Ada yang harus kuganjal. Perutku lapar, sangat lapar..! Kutengok sekeliling. Hampa. Tak ada buah-buahan yang bisa menenangkanku. Aku teringat panggang burung dara yang kunikmati bersama kekasihku. Itu cengkerama terakhir.
Hatiku semakin ngilu. Kini semua dibalut kenang. Aku tersungkur. Perlahan bangun. Memandang, lalu membersihkan kucuran darah di kakiku, semakin lama semakin deras. Tak seorang pun kutemui. Terbayang wajah kekasihku, di manakan ia? Masihkah di atas dunia? Pernahkan ia mengingatiku, mengenang setiap percakapan dan cengkrama yang tak pernah bersisa?
Aku teringat Hawa yang terusir dari surga. Pasti lebih pedih dari yang kualami. Dipisahkan dengan kekasinya, terjerembab di tempat baru penuh sengsara. Hawa berdosa karena memakan buah terlarang. Aku melanjutkan dosanya, terlena pada taman kefanaan.
Aku merasa hawa di dekatku, menenangkanku, “Mari, Nak. Kuatkan hatimu. Basuh lukamu. Telusuri petunjuk-petunjuk Tuhan. Kita saling menguatkan. Mencari jalan ke Firdaus. Sebaik-baik tempat kembali. Dari sana aku berasal, dan ke sana jua aku dan anak cucuku seharusnya kembali.”
Bandar Lampung