Grathia Pitaloka
jurnalnasional.com
BERBICARA mengenai film Indonesia, tak genap rasanya bila tidak menyebut nama Salman Aristo. Betapa tidak, dua skenario film terlaris tahun 2008 yakni Laskar Pelangi dan Ayat-ayat Cinta lahir dari tangan dingin alumnus Fakultas Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung, ini.
Sejak masih kanak-kanak, Salman sudah jatuh cinta pada film. Namun, ia baru berkesempatan berkenalan lebih jauh tentang dunia film ketika duduk di bangku kuliah. Bersama teman-temannya yang rata-rata bergabung dalam Gelanggang Seni Sastra Teater Film (GSSTF), Salman mulai memproduksi film pendek.
Karier profesional Salman sebagai penulis skenario dimulai saat bergabung dalam tim cerita film 30 Hari Mencari Cinta. Kepiawaiannya menguntai kata-kata membuat kariernya melesat bak meteor. Berikut petikan obrolan Salman Aristo dengan Jurnal Nasional di STC Jakarta, beberapa waktu lalu.
1. Apa perbedaan menulis skenario dengan menulis cerpen atau puisi?
Skenario merupakan cetak biru dari sebuah film. Skenario dapat diterjemahkan sebagai cerita yang dikisahkan kembali lewat gambar bergerak. Bahasa yang digunakan dalam skenario merupakan bahasa visual dan dengan kesadaran film merupakan arena visual. Skenario memiliki bentuk khas, ada scene yang berisikan deskripsi ruang, waktu, gerakan, dan dialog. Hal itulah yang kemudian membedakan skenario dengan cerpen atau novel.
Lebih dari itu, menulis skenario lebih banyak melibatkan unsur emosi. Unsur emosi tersebut berkaitan dengan pembangunan karakter tokoh yang muncul dalam film karena tugas lain dari penulis skenario adalah pemberi stimulus kreatif pada aktor.
2. Dari mana Anda mendapat ide saat menulis skenario?
Mencari ide bukanlah hal yang sulit, ide bisa datang kapan saja dan di mana saja. Bagian yang sulit adalah bagaimana mengurainya menjadi sebuah cerita yang logis, tetapi tidak biasa. Saya sendiri belajar menulis skenario secara otodidak. Saya mendapatkan ilmu dari membaca buku serta menonton film. Maka, tak heran sampai saat ini saya memiliki sekitar 800-an koleksi film.
3. Di mana Anda menempatkan diri antara idealisme dan industri film?
Saya mencoba untuk menyeimbangkan antara keduanya. Saya selalu menulis sesuatu yang saya suka dan menurut saya itu sebuah idealisme. Di samping mengakomodasi selera pribadi, saya juga berusaha memasukkan selera penonton karena mereka merupakan stakeholder perfilman Indonesia.
Dalam kondisi seperti sekarang, saya berpikir bagaimana caranya idealisme dan industri bisa berjalan beriringan. Industri bisa tetap jalan dan pekerja film pun dapat menyuarakan pandangannya. Produser berhak untuk masukkan visinya, demikian pula dengan sutradara dan penulis naskah.
Oleh sebab itu, saya melihat seorang penulis skenario itu harus punya mental solusif. Di saat produser mau seperti ini, sutradara mau seperti itu, maka penulis skenario mencoba mencari jalan keluar di antara dua keinginan tadi. Sampai akhirnya penonton yang menentukan, penonton mengarahkan, mereka kepingin seperti apa dan mereka jenuh dengan yang seperti apa.
4. Apa tantangan terbesar yang dihadapi oleh seorang penulis skenario?
Untuk saya pribadi,sangat menyebalkan bila sedang mengerjakan satu naskah lalu mendapatkan ide lain yang lebih cemerlang. Bikin gregetan!. Biasanya untuk mengatasinya saya turutkan dulu hasrat untuk mengembangkan ide baru tersebut, setelah beberapa saat baru saya balik lagi ke naskah yang lama.
Tantangan lain yang harus dihadapi oleh penulis skenario adalah bergelut dengan deadline. Saya pribadi sering mengajukan tenggat waktu sendiri. Biasanya 4 sampai 5 bulan untuk satu skenario. Untuk skenario yang membutuhkan riset mendalam biasanya saya minta waktu lebih panjang.
5. Apakah profesi Anda sebelumnya sebagai wartawan memengaruhi profesi Anda saat ini sebagai penulis skenario?
Pasti. Pengalaman sebagai jurnalis memberikan sokongan besar pada perkembangan karier saya sekarang. Saya sering menulis skenario menggunakan pendekatan jurnalistik, misalnya saat mendekati orang, eksplorasi bahan, dan proses penulisan. Pengalaman sebagai jurnalis membuat saya menganggap setiap cerita yang saya tulis adalah feature. Seperti cerita tentang Catatan Akhir Sekolah, karena itu bercerita tentang anak sekolah zaman sekarang, ya saya mencoba bergaul sama anak SMA sekarang.
Sebuah pandangan yang saya pegang, tulislah apa yang kamu tahu untuk tahapan belajar. Sekarang saya masih pada tahap belajar, sehingga saya menulis apa yang saya tahu dan belum terlalu banyak riset. Pada tahap selanjutnya, baru tulis apa yang kamu peduli, karena dari situ kamu akan mencari tahu.
6. Apakah berprofesi sebagai penulis skenario cukup menjanjikan di Indonesia?
Secara ekonomi, bisa dibilang lumayan menjanjikan. Tetapi, masih ada hak-hak yang lain yang belum terakomodasi dengan baik. Persoalan lain, penulis skenario di Indonesia belum mempunyai asosiasi. Saya dan beberapa penulis lain sedang membuat asosiasi penulis skenario. Karena kami berhak mendapat jaminan kerja, asuransi, atau berhak meminta termin pembayaran yang yang diinginkan.
7. Bagaimana pendapat Anda mengenai originalitas cerita?
Sebagai generasi yang lahir belakangan, originalitas merupakan suatu hal yang sulit dicapai. Oleh sebab itu, saya memilih untuk mengganti originalitas dengan sesuatu yang khas.
8. Ide apa yang saat ini ingin Anda tulis?
Banyak sekali ide yang berkeliaran di kepala saya. Film adalah corong saya untuk mengutarakan sesuatu, sehingga ketika mau berbicara, mengkritik atau menyampaikan pendapat, pasti saya akan menggunakan film sebagai media.
Sebagai penulis skenario, posisi saya adalah adalah pencerita. Saya punya cerita yang ingin dibagi dengan orang lain dan pencapaian terbesar untuk saya adalah saat bisa menyentuh wilayah inspirasi penonton.
9. Apa pesan Anda untuk penulis pemula?
Pertama, yang jelas harus mencintai film. Kemudian sering-seringlah menonton film, cari informasi sebanyak-banyaknya, dan coba untuk bikin cerita asli, supaya terasa proses belajarnya.
***