Fahrudin Nasrulloh **
radarmojokerto.co.id
Ludruk biyen iku ngadek-ngadek dewe
Nek pancen saiki koyok ngene
Yo wis wayahe owah jamane
(Bayan Manan)
Bayan Manan dilahirkan di Desa Ketapangkuning, Kecamatan Ngusikan, Kabupaten Jombang, pada tahun 1942. Ia mulai menggemari kesenian ludruk di tahun 1974. Sebutan atau embel-embel “bayan” tersemat padanya ketika ia menjabat menjadi pamong desa di Ketapangkuning pada 1971. Masa jabatannya tersebut ia emban sampai 2003.
Ia bercerita, pada masa kecilnya ia masih sempat menikmati besutan Pak Tari dari Losari, Ploso, yang ditanggap warga dari kampung ke kampung. Besutan Pak Tari sering mendapat tanggapan warga. Kepercayaan masyarakat di tahun 1940-an itu terhadap ludruk penting dicatat bahwa alam pikiran sosial masih menaruh empati yang kukuh dalam aras keyakinan Jawa, bukan pada religiusitas Islam, sehingga muncul istilah “ludruk kaul” atau “ludruk ujar” di mana suatu keluarga “Jawa-Islam” meyakini suatu nadzar (semacam janji yang wajib dipenuhi2). Anggota besutan Pak Tari saat itu seperti Jaikuk atau Jaswadi (pemeran Man Gondo Jamino), Ngaimin (bapaknya Ngaidi Wibowo, sebagai Sumo Gambar), Sariyan (sebagai Rusmini), dan Pak Tari (sebagai Besut).
Bagi Bayan Manan ludruk merupakan kesenian hiburan rakyat yang murah juga istimewa. Satu-satunya hiburan jelata yang nyata benar menyesap di hati rakyat dan mewakili latar sosial dan dunia batin mereka. Karena itu ia memutuskan sikap untuk terjun ke dunia ludruk. Pertama kali ia masih sempat ikut grup Pak Tari ini sebagai tandak. Selain lakon besutan, grup Pak Tari ini pernah juga melakonkan legenda “Dadung Awuk Ketepeng Reges”. Di masa ini, menurut Ngaidi Wibowo (sebagaimana yang diceritakan Ngaimin kepadanya), sempat bercokol ludruk Jombang Timur dan ludruk Tatakriat.
Selanjutnya Bayan Manan ikut grup ludruk milik Lurah Tris dari Gedongombo, Ploso, di tahun 1958, yakni ludruk Sido Trisno. Ludruk Sido Tresno ini diserah-kelolakan oleh Lurah Tris pada Pardi Gito Sumarto dan Yadi Juri. Ludruk ini sudah bergaya lawakan, Tidak lagi besutan murni. Meski besutan masih dipertunjukkan yang ditambahi lawakan dan lakon. Istilah Ngaidi Wibowo: “ekstra besutan”. “Tapi lawakan jek morat-marit. Gampangane totolan iku jek awur-awuran,” tambah Bayan Manan.
Kemudian ia masuk ludruk Massa Baru pada 1968 sampai 1970 di masa pimpinannya dipegang oleh Akhmad Keple, masih zamannya Lurah Tris. Selain ngludruk, sejak muda, matapencahariannya ialah sebagai tukang pande besi yang melayani para pelanggannya untuk dibikinkan arit, glati, ganco, bendo, atau pacul. Tidaklah bisa seluruh kebutuhan keluarganya digantungkan semata-mata pada penghasilan meludruk. Di grup Massa Baru ini ia banyak mendulang pengalaman dan perjalanan dengan nobong mulai dari Kudu, Kabuh, Ngemplak, Dumpe, Sepanjang, dan Brangkal (Sumobito). Lakon-lakon ludruk yang banyak diminati masyarakat dari grup ini semisal “Rajino Kembar”, Putri Perisedy”, dan “Johar Manik”. Beberapa lakon ini juga dipentaskan ludruk Asmara Murni milik Jaikuk (sebelum diasuh Ali Markasa) di mana para pelawaknya antara lain seperti Wak Kantong dan Wakenu.
Kemudian pada tahun 1974, ia mendirikan grup ludruk Warna Jaya dengan dukungan kaum muda di Ketapangkuning. Grup ludruk ini terus bergerak melebarkan relasi tanggapannya ke berbagai wilayah. Hal terpokok dan yang menjadi ujung tombak sebuah grup ludruk, yang tak diragukan lagi, adalah sejauh mana pelawak-pelawaknya dapat menghibur penonton. Membikin ngakak, kangen, dan apatis mereka. Saat itu anggota pelawak Warna Jaya antara lain: Cak Satiman, Cak Bogel, Cak Tukiyar, Cak Onteng, dan Cak Bakri. Bayan Manan mempunyai 12 tandak: Sekar, Turi, Parto, Salamun, Jaed, Sahri, dan lain-lain. Anggota inti lainnya: Ngaidi Wibowo, Jani, Gopur, Gimo, Bodong Sutaman, Marlim, dan Masjuri.
Ketika di tahun 1980-an pemerintah menggulirkan program transmigrasi, ada beberapa personil Warna Jaya yang tertarik mengikuti program itu. Mereka adalah Cak Bogel, Cak Darsono, Cak Satiman, dan Cak Jani. Mereka pun diizinkan oleh sang ketua dan mereka pun berpamit padanya. Bayang Manan kemudian mencari pelawak pengganti dan mendapatkan Cak Sampirin, Cak Sampe, Cak Taji, dan Cak Inung. Total anggota grup ludruk ini berjumlah 55 orang. Grup ini semakin tenar dan berkembang di samping bahwa di tahun 1980 sampai 1991 merupakan masa ramai-ramainya tanggapan. Pernah pada 1980, Warna Jaya kebanjiran job. Hal ini senyatanya adalah sesuatu yang jamak yang dialami grup ludruk lain. Kala itu Warna Jaya mendapatkan “full job” nobong hampir setahun: di Kudu, Kabuh, Ngemplak, Kambangan (Lamongan), Butungan Kali Tengah (Lamongan) Dumpe Agung, Sepanjang (di stasiun ban sepur), Bakalan (Sumobito), dan Kabuh. Dan yang paling dapat dicatat adalah ketika mereka manggung di Ngusikan. Hampir sebulan penuh, rencananya dengan warga di sana hanya selama 20 hari, lantas disepakati dipuputkan (dituntaskan, digenapkan) hingga 30 hari.
Suatu waktu, di tahun 1980-an, Warna Jaya pernah ditanggap oleh masyarakat Medowo, Kendal Kemlagi, Mojokerto. Lalu Bayan Manan mendatangkan Anna Sanjaya, penyanyi dangdut dari Surabaya, tidak sekedar sebagai selingan ludrukan, tapi artis dangdut yang kesohor itu merupakan kejutan istimewa bagi warga, terlebih saat itu musik dangdut dan penyanyi dangdut seperti Rhoma Irama sedang jaya-jayanya. Namun sial tak dapat ditampik, dan tipu-daya susah dislidik. Order yang diterima Warna Jaya di situ terbilang cukup besar: 400 ribu. Bayan Manan pertama cuma dipanjeri 90 ribu. Warga Medowo sendiri yang mengatur karcis. Penonton membludak. Pintu tiket mengular dan berjubel-jubel. Pembatas tobongan yang berupa seng dan sebagiannya sesek itu doyong dan nyaris roboh.
Tampaknya beberapa gelintir panitia di kampung itu sudah sejak semula terbetik niat licik. Pasti ini tanggapan yang sangat-sangat menguntungkan bagi mereka. Setelah acara buyar, beberapa panitia yang berakal bulus itu ngacir dan tidak membayar sisa panjernya. Jadi Warna Jaya tekor 310 ribu. Bayan Manan dan kru ludruknya lemes. Hanya bisa mengelus-elus dada. Pulang dengan lidah pahit dan hati sakit.
Meski begitu, menurut Bayan Manan, masa-masa bersinarnya Warna Jaya ini cukup diperhitungkan kala beberapa grup ludruk besar mulai berontokan. Sebut saja, ludruk Baru Budi yang meludruk dan berdomisili di Surabaya, pimpinan Bandi asal Ketapang Lor, Jombang. Ludruk ini tutup terop di tahun 1987. Lalu Kartika Jaya, pimpinan Cak Bari Kabuh yang bisa dikatakan tidak mati tapi berhenti nerop sejak 1991. Kemudian Gema Budaya, pimpinan Pek Sukardi dari Mireng, Pacarpeluk, Megaluh, yang tutup umur pada 1981. Prestasi Warna Jaya yang patut dicatat adalah: tahun 1980-an, juara II, untuk kategori ngremo dan lawak di Taman Budaya Surabaya. Peremo yang menang saat itu adalah Cak Didik, dan pelawaknya adalah Cak Sampirin, dan kawan-kawan. Juga suatu tahun berikutnya di Festival Lawak se-Jombang, Warna Jaya memenangi juara I dan II, dengan pelawaknya Cak Sampirin dan kawan-kawan.
Saat itu Warna Jaya, di masa 1980-1991, merupakan gudangnya seniman ludruk Jombang, di mana setelah Bayan Manan mengerek bendera Warna Jaya pada 17 Agustus 1991, maka semua wayang (anggota-anggota)-nya kocar-kacir dan menyebar atau membentuk grup ludruk baru. Tentunya banyak alasan dan sebab-musabab grup ini menyurut. Selain, saingan antar grup ludruk yang mulai bertumbuhan dan berimpitan, konflik interen juga menjadi pemicu yang penting dicatat.
Barangkali hal yang mendasar yang layak disimak dan dipertanyakan adalah: kenapa Warna Jaya (khususnya bagi Bayan Manan sebagai pemiliknya), setelah banyak anggotanya yang mrotoli (berlepasan satu persatu), ia tak ingin menguatkan lagi grup ludruknya ini? Apakah ia benar-benar mengubur selamanya Warna Jaya pada 17 Agustus 1991? Ia begitu tegas menyebut titimangsa itu. Semacam telah terbit kemerdekaan diri dan keterbebasannya untuk berselamat tinggal dari jagat perludrukan, juga wajah-wajah orang ludruk. Tatkala saya tanyakan kenapa bisa demikian, ia dengan tatapan kosong tapi seolah terpancar rasa sumeleh di wajah dan di tubuh ringkihnya yang kian bungkuk itu, ia desah yang malas hanya menjawab, “Tak ada pikiran untuk ngludruk, polahe wis tuwek”. Ia memang kini sudah tua. Tapi tahun 1991, masihlah ia berusia 49 tahun. Dan di usia itu setidaknya semangat berkarya dan berjuang hidup bagi siapa pun, rata-rata, masih tetap bergelora. Mungkin tidak, atas nama ludruk, bagi Bayan Manan.
Dengan segala apa adanya, sekarang, Bayan Manan, masih tetap menggeluti api dan besi. Melayani para petani, atau siapa pun juga, dengan menyediakan alat-alat pertanian itu. Gelondongan pohon yang dijadikan bantalan palu pande yang terlalu rendah membuat Bayan Manan menjadi bungkuk, saking bertahun-tahunnya ia tak menyadarinya yang seharusnya bisa ia bikin penyangka lebih tinggi. “Pendekar Bungkuk dari Ketapangkuning”, seloroh Ngaidi saat berguyonan dengannya sembari mengenang masa meludruk mereka dahulu di Massa Baru dan Warna Jaya. Di samping itu, Bayan Manan juga beternak bibit lele yang dirintisnya sejak 1981 hingga sekarang bersama istrinya Sutrani, dan satu anaknya bernama Supanji dengan 3 cucunya.
Riwayat di kedalaman batin Bayan Manan rasanya takkan dapat diurai-babarkan sampai ke renik-reniknya. Wajahnya yang tampak kuyu dengan kerut-kerut di pelupuk matanya masih membentangkan gelora hidup pada masa-masa perjalanan ngludruknya dahulu. Sorot matanya malas saat bersitatap, membuat saya terpekur dan coba mengembarai jejak-jejak ingatannya yang sayup-sayup dikebutkan waktu. Selalu ada rasa yang tak tuntas kala mendengarkan cerita-ceritanya. Geliut asap rokok Gudang Garam Surya-nya melenyap perlahan oleh angin senja.
Mungkin ia tak perduli apapun akan nasib ludruk, setelah sekian lama ia meninggalkannya. Meski mungkin ada sepercik kenangan yang terus menyala sejak dulu hingga sekarang. Namun mustahil mengeduk habis separuh dari perjalanan hidupnya di dunia ludruk. Saya hanya teringat kembali pada kata-kata Pramoedya Ananta Toer dalam sebuah novelnya Bumi Manusia (119): “Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar penglihatannmu setajam elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput.” Meski kini ia tak mencari nafkah lagi lewat ludruk, dan karena itu, ia membuka tangan kepada siapapun yang ingin memesan alat-alat pertanian ataupun berkulak lele dan bibit lele kepadanya.
——
**) Ketua Tim Pelestarian dan perlindungan Seni-Budaya Jombang
*) Wawancara dengan Bayan Manan, pada Ahad, 19 April 2009, di Dusun Ketapang Kuning, Kecamatan Ngusikan, Kabupaten Jombang. Dan pada Ahad, 5 Juli 2009, di tempat yang sama, bersama Ngaidi Wibowo.