Binhad Nurrohmat*
http://www.jawapos.com/
Erotisme merupakan sebentuk cermin yang mutu nilainya terpendar dari imajinasi dan interpretasi yang dipantulkannya. Kepentingan luhur erotisme adalah merangsang kepekaan gairah terhadap keberadaan dan esensi tubuh serta rahasia yang bersemayam di dalamnya. Untuk apa? Tak lain, menangkap dan menyibak kesadaran yang bisa memperkaya makna keberadaan tubuh di dunia. Kenapa? Sebab tubuh tak henti mengalami pemerasan dan pengotoran makna lantaran kemurniannya dijarah atau dicemari tuntutan moralitas atau kuasa nilai-nilai kebenaran lain yang dipaksakan.
Erotisme yang mulia senantiasa hendak membebaskan tubuh demi menyingkap semesta makna yang dikandungnya. Tubuh merupakan fakta fisikal yang menyimpan banyak hal yang melampaui kefisikalannya ataupun yang bertahan sebagai kenyataan fisikal semata telah tak henti-hentinya mempertaruhkan keberadaan dan maknanya antara lain di dalam serta melalui erotisme. Eros membuat tubuh hidup, mengelaki kematian maknanya.
Sesungguhnya, erotisme tersembul dari lubuk hasrat manusia yang tak melulu libidinal. Libido semata merupakan erotisme yang belum lengkap. Penampakan tubuh yang libidinal hanya salah satu sisi dan raut luar dari cakrawala erotisme yang bisa dialami, dirasa, diindera oleh manusia secara fisikal. Lantaran erotisme merupakan akar hasrat manusia, maka masuk akal bila aneka khazanah mitos dari berbagai latar tradisi dan budaya kerap merengkuh erotisme yang tercetus di masa lampau dan terus hidup hingga di masa kini, misalnya dalam puisi modern Indonesia.
Puisi modern Indonesia sadar terhadap realitas tubuh erotis dan dijumput dari mitos serta merayakannya dengan beragam interpretasi. Misalnya puisi ”Asmaradana” milik Subagio Sastrowardoyo: Sita di tengah nyala api/tidak menyangkal/betapa indah cinta berahi/Raksasa yang melarikannya ke hutan/begitu lebat bulu jantannya/dan Sita menyerahkan diri//Dewa tak melindunginya dari neraka/tapi Sita tak merasa berlaku dosa
sekedar menurutkan naluri/Pada geliat sekarat terlompat doa/jangan juga hangus dalam api/sisa mimpi dari senggama//.
Sita, dalam puisi Subagio itu merupakan figur perempuan yang hadir sebagai perempuan yang tak pasrah, bahkan begitu aktif dan berdaya. Perempuan yang diculik Rahwana, raksasa laki-laki dari Kerajaan Alengka, itu ”tak menyangkal betapa indah cinta berahi”, dan meski ”dewa tak melindunginya dari neraka” perempuan itu ”pada geliat sekarat terlompat doa”. Dalam puisi Subagio itu, erotisme menyatu dengan spiritualisme.
Pengakuan adanya keindahan cinta berahi menjadi motif perempuan Sita menghadapi raksasa yang menculiknya untuk mengawininya serta bertemu sang dewa. Pengakuan erotis dan spiritual itu merupakan pemberontakan eksistensial yang elegan terhadap mitos tubuh perempuan yang serbapasrah-mengalah. Raksasa perkasa yang melarikan Sita ke hutan menjadi makhluk perantara yang membuat kelembutan tubuh Sita yang direbut dari suaminya, Sri Rama, terangkat dari bumi menuju langit, dari alam dunia ke alam dewa. Tubuh profan yang diculik raksasa itu tak terkotori dan justru menemukan jalan kesucian sakral setelah terjamah tangan Rahwana.
Ketakterkalahan perempuan kian mengukuh dalam puisi Subagio yang lain, misalnya ”Adam di Firdaus”: …Tuhan mematahkan/tulang dari iga kering dan menghembuskan/napas di bibir berembun. Dan/subuh aku habiskan sepiku pada tubuh bernapsu.//Ah, perempuan!/Sudah beratus kali kuhancurkan badanmu di ranjang/Tetapi kesepian ini, kesepian ini/datang berulang.//
Sedangkan dalam puisi ”Proteus Tiruan” Shinta Febriany, sosok dewa laki-laki separo ikan dalam mitologi Yunani itu berubah menjadi makhluk profan yang serupa objek yang bisa dipesan oleh perempuan: baru saja aku berpikir untuk menjadi penyanyi di klab-/klab malam. Atau lebih baik berbaring seumur/hidup di tempat tidur dengan setumpuk buku di/sampingku, dan berpuluh-puluh lelaki bermata sayu/yang setiap saat dapat kupesan melalui room service./ (carilah proteus itu – si anak kesayangan itu – katamu)//.
Dalam puisi-puisi itu, kisah Sita dan Proteus telah menyembulkan interpretasi berbeda, bahkan berkebalikan ekstrem dari asalnya. Raksasa laki-laki yang menculik Sita maupun Proteus yang juga laki-laki itu tak lagi serbakuasa terhadap perempuan dan tubuhnya, serupa kenyataan sosial perempuan abad mutakhir yang menegakkan nilai bagi tubuhnya sendiri dan menolak tindasan nilai patriarkis, demi otoritas eksistensialnya.
Menginterpretasi tubuh erotis dalam mitos merupakan strategi yang bisa menjamah dasar kesadaran dan nilai tentang tubuh dan erotisme yang cenderung berwajah maskulin itu. Sebab dalam mitos bersumber dan tertanam pegangan nilai manusia tentang dunia dan kenyataannya, yang dalam hal ini kenyataan tubuh erotis. Nilai-nilai bisa dianggap patut kerap berpegang kepada nilai yang tersemat dalam mitos, sehingga melalui mitos pula perubahan nilai bisa diupayakan, untuk meneguhkan, mengubah, atau meluruhkannya. Mitos merupakan arus kesadaran yang menguasai begitu kukuh dalam kesadaran atau naluri manusia, tersadari ataupun tidak.
Dengan upaya yang melibatkan mitos pula, keperkasaan erotisme maskulin bisa menjadi ”kepengecutan” belaka seperti kebrutalan yang sebatas dalam angan atau mimpi. Misalnya ”Sang Minotaur” Goenawan Mohamad ini: …tatkala hasrat menjulurkan lidah/yang merah//ke syahwat/yang membasah.//Setelah itu, siuman. Dan kematian//di arena di mana lembu jantan/mengais-ngaiskan kaki//di mana detik seperti gugur dari karat matahari,/di plasa tempat nasib menarik picu/pada rembang petang Sabtu.//Kemudian kamar jadi terang./Dan dari ranjang itu Sang Minotaur menghilang.//
Sang Minotaur, monster bertubuh manusia berkepala sapi itu, amat perkasa merasuki alam mimpi dan berkuasa dengan tindakan erotis namun lenyap ketika ”kamar jadi terang”. Sang Minotaur yang lahir dalam tradisi Barat sejak berabad lampau itu tak juga lenyap di masa kini, namun kehadirannya telah berubah nilainya dalam puisi Goenawan itu.
Mitos merupakan kenyataan dalam pikiran atau imajinasi. Mitos bukan ilusi kosong nilai. Banyak mitos bertahan dan dipertahankan melampaui waktu yang panjang dan menghuni naluri manusia hingga kini. Tak ada manusia hidup tanpa pegangan nilai. Dan tubuh erotis merupakan salah satu nilai yang diemban mitos, menyelinapkan pandangan dunia dan kearifan di dalamnya yang sulit tersangkal kefundamentalannya: eros, akar hasrat manusia terdalam yang kerap tak tersadari atau terkacaukan sebagaimana tubuh erotis disalahpahami serupa bayang di cermin yang tak dikehendaki lantaran dianggap tak patut atau a-moral oleh kuasa kebenaran nilai tertentu.
Mitos tubuh erotis membawa kuasa kebenaran nilai, merangsang tantangan nilai, dan juga melahirkan kejumudan interpretasi. Dalam dunia yang ramai dan tak bisa mengelaki kuasa-kuasa kebenaran nilai, tubuh erotis kerap berada dalam posisi serbapenuh risiko, rawan, dan bahaya. Dan puisi-puisi itu merayakan mitos tubuh erotis dengan imajinasi, interpresi, dan juga subversi sebagai suara tandingan terhadap kuasa kebenaran nilai yang teguh menista tubuh erotis. Puisi-puisi itu merintis tafsir tentang mitos dari dalam mitos itu sendiri, menyembulkan mitos di atas mitos…(*)
*) Penyair, tinggal di Jakarta.